Tik Tok dan segala kekonyolan yang diciptakannya belakangan menjadi bahan perbincangan banyak orang. Begitu riuh hingga sanggup mencuri perhatian orang-orang yang tengah masyuk dengan helatan Piala Dunia 2018.
Aplikasi yang berasal dari Tiongkok itu menjadi viral lantaran banyak penggunanya yang merasa gembira menggunakannya. Mereka dapat membuat video-video yang dianggap keren dan lucu, mengunggahnya, lalu menyebarkannya sembari berharap banyak orang akan menonton dan menyukai. Bila “beruntung”, mereka juga bisa menjadi terkenal layaknya selebriti.
Dalam hitungan beberapa bulan saja, Tik Tok meroket menjadi aplikasi yang paling banyak diunduh di Indonesia, mengalahkan beberapa aplikasi lain yang selama ini paling banyak digunakan, semisal WhatsApp, Instagram, dan Facebook.
Konon, aplikasi yang memiliki nama lain aplikasi goblok itu tidak hanya digemari oleh anak-anak kecil dan remaja kekinian, tapi juga digandrungi oleh orang dewasa yang merasa memerlukan hiburan.
Ketika tercium bau keviralan Tik Tok ini, berikut sesosok remaja SMP yang mendadak jadi selebriti dan menggelar jumpa fans dan dituhankan pula oleh para penggemarnya, sontak saya dan teman saya yang tengah asyik menonton laga antara Brasil versus Meksiko, menarik napas panjang, ngedumel sejadi-jadinya.
Bagaimana tidak, ini adalah fenomena keviralan sontoloyo yang entah keberapa dalam riwayat kehadiran media sosial di negara kita. Suatu kelanjutan dari karnaval perayaan akan hal-hal sampah sejak hidup kita didampingi oleh keberadaan Facebook, YouTube, dan lainnya.
Cermin Taraf Selera Masyarakat Kita
Tik-tok, bermanfaat atau tidak, baik atau tidak, barangkali memang tergantung pada penggunanya serta bagaimana para penonton video menikmatinya. Bahwa Tik Tok tidak selalu menyebabkan kegoblokan, sebagaimana pendapat banyak warganet, masih bisa diterima sebagai sebuah kebenaran, atau paling tidak masih dapat diperdebatkan.
Menganggapnya secara mutlak sebagai aplikasi penyebab kebodohan, sama dengan ingin menunjukkan kekuasaan akan tafsir yang tak mau diganggu-gugat. Berharap akan adanya pemblokiran dari pemerintah, sungguh akan semakin mengabsahkan ketergesaan dalam bersikap.
Apalagi di negara lain, seperti Korea Selatan dan Singapura, diketahui bahwa aplikasi ini tidak sampai membuat penggunanya ketagihan–alih-alih terobsesi menjadi selebriti. Artinya, jika pun penggunaan aplikasi tersebut dikonotasikan sebagai sebuah kebodohan, itu tak lain tak bukan adalah karena penggunanya, bukan aplikasinya.
Meski begitu, kegandrungan akan Tik Tok yang memaharaja ini secara sederhana mencerminkan berada di taraf mana selera masyarakat kita saat ini. Di saat orang-orang di negara lain mencuri-curi waktu demi dapat membaca buku, atau belajar memasak, atau sekadar berolahraga di tengah-tengah kesibukan mereka; masyarakat kita (baca: pengguna Tik Tok Indonesia) yang konon memiliki waktu senggang yang melimpah ruah, justru menghambur-hamburkannya dengan berjam-jam bermain aplikasi goblok itu.
Celakanya, sebagian dari pengguna Tik Tok itu, ada yang dengan pongah menganggap bahwa membuat video yang kemudian berhasil menyedot banyak penonton, adalah tindakan ‘berkarya’. Ya, berkarya! Itulah barangkali sebabnya mereka tak pernah merasa menyia-nyiakan waktu demi membuat video yang semenarik mungkin, demi eksistensi di dunia maya, dan demi ketenaran yang diharapkan bakal menyusul di belakangnya.
Banalitas Lelaku Media
Yang lebih menjadi persoalan adalah, kenapa kita tampaknya gemar sekali memviral-viralkan hal-hal remeh seperti ini? Maksud saya, mengapa setiap kali ada hal yang viral di media sosial, yang jelas-jelas bukan hal yang penting dan sama sekali tak berbobot, kita lantas latah menambah-nambah keviralannya dengan mewartakannya atau menyebarluaskannya?
Tentu saja keheranan ini terutama saya tujukan kepada para kru media massa, media massa daring khususnya, yang dalam kerja kesehari-hariannya dituntut akrab dengan media sosial. Sudah sering kali kita disuguhkan berita-berita macam begini, seakan tak ada lagi bahan berita yang bermutu, yang aktual, yang penting, dan mendidik yang dapat digarap.
Atau, apakah hal-hal semacam ini memang sengaja digarap, karena kemungkinannya menjadi berita yang laris-klik jauh lebih besar ketimbang berita-berita lain hasil liputan para wartawan di lapangan? Sedemikian banalnyakah lelaku media massa kita?
Kita barangkali tidak mungkin bisa mencegah perkara-perkara sampah menjadi viral di media sosial. Bahwa mereka menjadi viral, itu mau tak mau harus kita terima sebagai buah dari selera mayoritas masyarakat kita, yang sangat pelik dan rumit untuk diubah.
Namun, kita masih bisa mencegahnya dari kemungkinan bertambah viral, dengan tidak menyebarluaskannya, tidak memperbincangkannya, dan membiarkannya lenyap bersama waktu yang bergulir. Tentu saja, harapan itu terutama berada di tangan para kru media massa.
Dengan kesadaran bahwa masyarakat mayor kita masih berada di lingkaran agenda-setting audiens (khalayak yang manut saja dengan apa yang ditayangkan media), belum beranjak menjadi gratifications-audiens (khalayak yang menentukan sendiri materi tayangan yang ingin dinikmati), media massa diharapkan dapat menyingkirkan sampah-sampah terviralkan itu dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih bermutu, mendidik, dan penting. (Abul Muamar)