Ada berita lama, Januari tahun lalu, dari koran Inggris Daily Mail yang memancarkan inspirasi abadi tentang pendidikan. Perusahaan kereta api Hokkaido, di baratdaya Jepang, mendapat banyak pujian karena dengan konsisten mengantar-jemput seorang – hanya satu orang – murid SMA bernama Kana Harada.  

Kereta bahkan menyesuaikan jadwal singgah di stasiun Kami-Shirataki dengan jadwal sekolah Kana. Remaja itu setiap hari naik kereta tepat pukul 7.04 pagi untuk ke sekolahnya dan kembali menumpang pukul 5.18 sore. Jika sekolah Kana libur, kereta pun ikut libur – tidak berhenti di stasiun terpencil yang sunyi senyap itu.

Hokkaido Railways berencana menutup stasiun terpencil itu pada 2012, tapi membatalkan niat setelah tahu ada satu anak sekolah yang rutin menggunakan jasa kereta api itu untuk pergi-pulang sekolah.

Akhirnya pada 2013 manajemen memutuskan: kereta akan tetap melayani stasiun Kami-Shirataki sampai Maret 2016, saat Kana lulus dari sekolahnya.

Setelah Kana lulus dari sekolah yang berjarak puluhan kilometer dari rumahnya, manajemen perusahaan melaksanakan rencananya: menutup stasiun kosong itu.

Mengapa perusahaan kereta api tersebut mau melayani satu orang penumpang dalam waktu tiga tahun, yang berjarak 80 kilometer dari stasiun awalnya di Akinawara? Mengapa ia mau melakukan tindakan yang  menyalahi prinsip standar efisiensi?

Saya kira jawabannya adalah: di atas soal efisiensi, ada yang lebih penting, luhur, dan sesuai dengan filsafat dasar perusahaan, yaitu melayani semua orang. Tidak boleh ada seorang pun yang tertinggal.

Komitmen kokoh itu didasarkan pada landasan moral yang dianut luas oleh masyarakat Jepang: bahwa mereka menomorsatukan pendidikan di atas segalanya. Atas nama pendidikan, mereka bersedia melakukan apa saja. Kana, remaja SMA Hokkaido itu, mengalami pembuktian yang mengesankan atas prinsip ini.

Bangsa Jepang menganut keyakinan yang tak tergoyahkan tentang mutlak pentingnya pendidikan, terutama bagi anak-anak. Di seluruh pojok negeri itu, Anda akan biasa melihat iring-iringan anak taman kanak-kanak atau sekolah dasar yang menyeberangi jalan dengan santai. Para supir tidak akan membunyikan klakson atau menunjukkan sikap tak sabar terhadap anak-anak yang belum bisa berjalan cepat itu.

Di daerah Roppongi, Tokyo, misalnya, pernah setiap hari selama dua bulan saya menyaksikan pemandangan yang inspiratif itu: di tengah suasana yang ramai di kawasan ekspatriat tersebut, selalu ada empat atau lima anak TK yang berjalan di trotoar dengan gembira lalu menyeberangi jalan di zebra cross.

Tiada orang dewasa yang mengawal mereka. Tidak ada yang berani mengganggu bocah-bocah yang menggendong tas punggung itu.

Bangsa Jepang, seperti semua bangsa modern, tahu bahwa masa depan negara sepenuhnya ditentukan oleh kinerja anak-anak sekolah. Maka segala hal yang diperlukan bagi kemudahan dan kelancaran pendidikan, berikut apa saja perangkat dan kebijakan penunjangnya, akan diurus dengan sekuat daya oleh pemerintah dan swasta.

Tentu saja pemerintah dan masyarakat kita pun sejak dahulu kala memahami betapa pentingnya pendidikan generasi muda. Mungkin perbedaan kita dibanding Jepang hanya satu: kita cukup berhenti pada pengertian tentang kearifan itu.

Lalu hasil akhirnya: universitas-universitas kita yang terbaik pun tak pernah menempati peringkat yang membanggakan di tingkat Asia (bahkan ASEAN!), apalagi di tingkat global, menurut pemeringkatan oleh lembaga-lembaga terpercaya.

Yang lebih mengherankan: dengan reputasi yang memiriskan itu, hampir tidak ada pejabat relevan yang mengungkapkan keprihatinan lalu mengumumkan bahwa mereka akan melakukan sekian langkah tegas dan jelas untuk mengatasinya. Nyaris tak ada pula seorang pun akademisi yang menyuarakan betapa merisaukannya situasi pendidikan kita. Seakan segalanya baik dan beres belaka. Tiada yang perlu digelisahkan.

Sekolah keguruan (IKIP) pun dihapuskan, diganti menjadi universitas biasa.

Dengan semua gejala yang terlihat jelas itu, tidak ada yang perlu diherani atau membuat kita tersinggung jika ada yang menganggap kita tidak pernah sungguh-sungguh mengurus urusan penting yang menentukan masa depan bangsa ini.

Kita ingin sekali mendengar komentar atau elaborasi dari para pejabat yang berwenang tentang apa yang dilakukan perusahaan kereta api Hokkaido selama tiga tahun penuh terhadap Kana itu.