Dialog Penjajah dan Si Naif Saratnusa
Apa yang bisa dibanggakan dari Saratnusa?
Tanah kami kaya
Sumber daya alam melimpah ruah
Sudah kami kuras sebagian besar
Ucap para penjajah diam-diam
Apa lagi yang bisa dibanggakan dari Saratnusa?
Masyarakat kami orangnya ramah-ramah
Sudah kami pekerjakan di pabrik-pabrik kami dengan upah murah
Ucap para penjajah kembali diam-diam
Mengapa upah mereka kau bayar murah?
Para penjajah diam sejenak
Memangnya kerja mereka tidak bagus?
Apakah mereka malas?
Para penjajah kemudian menjawab
Kerja mereka semua sebenarnya bagus
Mereka sangat rajin
Pergi pagi pulang malam
Tapi
Kami buat mereka menganggap dirinya malas
Kami buat mereka merasa kerjanya jelek
Hingga mereka terus bekerja tanpa henti
Layaknya Sisyphus yang selalu mendorong batu ke atas bukit terus menerus
Mereka juga terus memperbagus kerja
Tanpa minta kenaikan upah yang berarti
10, 20, 30% bagi kami belumlah begitu berarti
Jangan lupa
Boneka kami siap membantu jika ada di antara mereka yang berani protes keras
Tinggal dihajar sekali dua kali pukul
Lewat dunia maya maupun nyata
Kami buat mereka takut dan merasa bersalah dengan protes mereka itu
Boneka ini cuma tinggal dikasih sekerat roti dan sebutir emas
Girangnya sudah bukan main karenanya
Bagaimana mereka bisa hidup dengan upah murah?
Harga-harga tak pernah berhenti naik
Beli rumah tak bisa
Beli makan susah
Beli pakaian apa lagi
Kan ada kredit, tenang saja
Barang dan produk kami pasti akan habis dibeli oleh orang-orang Saratnusa
Semahal apapun harganya
Mereka bayar tiap bulan sepotong demi sepotong
Yang jika dikumpulkan akan lebih mahal dari harga tunai
Barang kelas satu yang beli para elit politik dan ekonomi yang jadi corong dan boneka kami
Barang kelas kambing ya dibeli rakyat Saratnusa
Hasil keringat mereka, yang tinggal kami kasih merek
Mereka pasti akan berlomba-lomba membelinya
Batam, 17 Mei 2018
Aku Paham
Aku paham kerinduanmu o kekasih
Pada kota itu dan orang-orangnya
Selalu menyapa kita dengan hangat
Walaupun dalam cuaca terdingin
Aku paham kerinduanmu o istriku
Pada kota itu dan semuanya
Jalanan dan manusia-manusia yang ramah
Semua orang dihargai sebagai manusia
Anak kita yang di atas kursi roda
Selalu disapa ramah
Dan tidak dijadikan warga kelas dua
Aku paham kesedihanmu di sini o kekasih
Mau nyebrang jalan saja
Susahnya minta ampun
Tak ada jalur kursi roda untuk menyebrang
Trotoar tak ramah untuk pejalan kaki dan pengguna kursi roda
Mau naik pesawat, harus yang paling belakangan
Yang diutamakan hanya mereka yang bisa berdiri dan berjalan saja
Mau berpergian harus punya kendaraan pribadi
Kursi roda tak mungkin naik bus
Tak ada jalan untuk kursi roda ke dalam bus
Naik kereta api juga sama saja
Aku paham isi hatimu o belahan jiwa
Di sini memang sulit bagi keluarga seperti kita
Memang hidup tak semahal di sana
Tapi hidup jauh lebih sulit
Manusia dan lingkungan di sini belum paham apa itu keadilan
Suatu tempat, 7 April 2018
Syarif jadi Jagabaya
Senyum Syarif mengembang
Dapat jabatan baru
Jagabaya desa merangkap tukang semir
Menyepuh kuasa berjelaga
Memoles keserakahan yang hina
Destarnya kekecilan
Kepalanya kebesaran
Wajahnya sumringah
Perutnya maju
Kemeja bagian perut longgar
Menutupi perutnya yang sudah maju
Sejak Kades baru menang pemilihan
Jagabaya Syarif
Pengalih kemarahan rakyat
Pelindung para penjarah
Tukang rias para garong
Seolah-olah pemenang pemilihan Jagabaya
Padahal semua sudah direka di rumah Kepala Desa
Syarif harus jadi Jagabaya
Dia yang bikin aku berkuasa
Itu yang kumau
Tak kurang
Tak lebih
Puja-puja ribuan penipu
Sejuta harapan palsu
Semua bilang dekat dengan si Syarif
Dulu aku teman ngopi
Dulu saya teman kos
Dulu sahaya yang bawa koper
Dulu eike bekas pacarnya
Dulu o dulu
Semua itu dulu
Saudara-saudara
Hanya dua orang yang menolak hina
Kenalan Syarif yang mulia
Satu si pertapa pahit lidah
Satu lagi peracik kopi penyaji hujan
Gerombolan tukang kritik
Jadi pemuja fanatik
Kami berharap padamu Syarif
Kami mendukungmu Syarif
Jangan lupakan kami
Bla bla bla
Tak terasa isi perut ini sudah keluar semua
Yogyakarta, 2 Januari 2016