Masih segar dalam ingatan saya saat saya menerima Ijazah Sarjana saya yang terbuat dari kertas daur ulang. Sebagai orang yang sedari dahulu prihatin dengan keadaan lingkungan, maka saya amat bangga akan hal tersebut.

Walau begitu setelah saya pikir kembali saat ini (dengan keilmuan saya saat ini) nampaknya itu terlalu berlebihan. Kertas yang terbuat dari pohon, sebuah sumberdaya terbarukan dan dengan ikatan emosional yang kuat dengan manusia yang menggunakannya, maka terlalu berlebihan jika kita mendaur ulang kertas menjadi kertas (untuk menulis dan menggambar).

Tidak masalah jika kita mendaur ulang kertas menjadi kardus, atau menjadi amplop, namun untuk menjadi kertas yang akan ditulis atau digambar oleh manusia, itu terlalu berlebihan dan menurut saya tidak perlu dilakukan.

Ikatan Emosional Kertas dan Manusia

Kertas dan manusia memiliki ikatan emosional yang sangat erat, hidup manusia sering diibaratkan sebagai kertas kosong, seorang bayi yang tidak berdosa sering diibaratkan dengan kertas putih. Padahal ada media lain untuk mencoret-coret, seperti kanvas misalnya, namun peribahasa jelas menuliskan kertas, mengapa?

Jelas bahwa kertas memiliki ikatan emosional dengan manusia, kita menulis sejarah kita di atas kertas. Kertas adalah sebuah medium hidup yang universal tidak ada peradaban manusia yang tidak mengenal kertas, akses manusia pada kertas sama seperti akses manusia pada api yang merupakan salah satu penemuan umat manusia yang menjadi dasar peradaban.

Sensasi kertas dalam hidup kita sering diabaikan, padahal peranannya tidak tergantikan, sensasinya dalam sentuhan, bau dan visual sebuah kertas putih polos itu tak dapat digambarkan dengan kata kata. Karena itu pemakaian kertas daur ulang untuk menulis atau menggambar menurut saya mengurangi keagungan kertas, respon kertas yang berwarna lebih kusam, kadang tercampur beberapa material, lalu respon terhadap pena ataupun pensil yang kita gunakan mengurangi ikatan emosional kita yang mendalam terhadap kertas putih dan kosong.

Dalam hal ini kertas putih dan kosong adalah lambang harapan, suatu awal dalam sebuah perjalanan, lambang kesucian. Mungkin anda menilai saya terlalu sentimentil, namun bagi saya penting untuk menjaga ikatan emosional dan bahkan spiritual antara manusia dengan kertas.

Manusia Rakus Kertas

Manusia begitu mencintai kertas sampai pada akhirnya, kertas menjadi candu bagi dunia, ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Sebagai seorang pemerhati lingkungan saya tau betul bagaimana kita sudah menggunakan kertas secara rakus, bagaimana kecintaan manusia terhadap kertas telah menjadi cinta yang posesif dan mengakibatkan kita menggunakan kertas secara berlebihan. Ini tentunya yang melahirkan ide tentang menggunakan kertas daur ulang sebagai usaha untuk mengatasi kerakusan manusia atas kertas.

Namun solusi kertas daur ulang bukanlah solusi cerdas dalam mengatasi kecanduan, ini sama saja dengan memasak kembali makanan yang sudah basi untuk dimakan kembali oleh si rakus. Solusi untuk kerakusan manusia atas kertas adalah diet kertas. Munculnya suatu masyarakat tanpa kertas (paperless society) juga bukan suatu solusi cerdas karena menggunakan kata tanpa, ini adalah suatu pemutusan hubungan manusia dengan kertas yang sudah terbangun ratusan bahkan ribuan tahun.

Diet meminta manusia mengurangi konsumsi (bukan tidak mengkonsumsi sama sekali), dan konsumsi yang dilakukan adalah suatu konsumsi berkualitas. Anggap saja anda sedang berpuasa, lalu berbuka puasa dengan makanan bekas yang dimasak kembali, betapa menyedihkan kehidupan anda.

Kita tentu boleh makan (konsumsi) tapi tidak boleh rakus, jika kita terus makan maka kita akan menjadi gemuk, dan sumber makanan akan menjadi habis, sehingga kita akhirnya dipaksa makan makanan basi yang digoreng kembali. Kegemukan kita akan kertas terlihat dari penggunaan kertas tisu untuk hal hal yang tidak perlu, ini tentu harus ditangani dengan diet ketat.

Atau pemakaian kardus, tengoklah gudang anda, berapa banyak kardus yang masih anda simpan? Hal ini butuh penanganan, kegemukan kertas merupakan suatu masalah serius, namun solusi cerdas dari semua ini adalah diet kertas sebagai perubahan perilaku konsumsi kertas kita.

Konsumsi Kertas Berkelanjutan

Kertas adalah sebuah sumberdaya terbarukan dan tidak menentang ekosistem Indonesia. Ekosistem Indonesia adalah hutan hujan tropis karena itu pengusahaan tanah di Indonesia haruslah berupa ekosistem hutan.

Saat Belanda mengusahakan sumberdaya karet di Indonesia, yang diusahakan adalah perkebunan karet yang berupa hutan karet, agar sesuai dengan ekosistem Indonesia. Kertas merupakan sumberdaya yang tidak menentang ekosistem Indonesia, penyediaan sumberdaya kertas selama tidak digunakan secara berlebihan masih mampu ditopang oleh bumi Indonesia.

Sementara produksi sumberdaya kertas sudah berkelanjutan karena tidak menentang ekosistem Indonesia, sekarang tinggal masalah konsumsi kertas yang berkelanjutan yang harus diusahakan. Diet kertas harus diusahakan dengan cara mengurangi penggunaan kertas pada hal yang bisa digantikan dengan teknologi saat ini.

Sebagai contoh adalah formulir isian yang biasa digunakan dalam administrasi dapat digantikan dalam bentuk formulir elektronik, uang juga dapat digantikan dengan uang elektronik, buku dapat juga dijadikan bentuk elektronik. Namun hal ini bukan dalam usaha untuk meniadakan kertas, hal ini adalah usaha untuk mengangkat kertas menjadi lebih tinggi nilainya.

Masa Depan Kertas

Kertas masa depan adalah kertas yang langka, koleksi buku dari kertas merupakan koleksi yang berkelas dan jarang ditemui. Sensasi memegang buku dalam bentuk kertas menjadi pengalaman unik, menulis dengan pena atau pensil menjadi pengalaman intim dengan kertas. Biarkan orang menulis pengalamannya di atas kertas dalam buku harian misalnya, namun mengerjakan ujian sekolah di atas sebuah keyboard komputer.

Meskipun kita dapat menciptakan sertifikat elektronik, namun biarlah ijazah sekolah masih dibuat dari kertas, agar bisa dipajang menjadi koleksi di dinding rumah. Biarlah ikatan emosional manusia dengan kertas tetap terjalin sampai beribu-ribu tahun lagi.

Biarlah daur ulang kertas menjadi kertas tidak perlu ada lagi. Daur ulang yang ada yaitu kertas menjadi kerajinan tangan, seperti keranjang belanja, vas bunga, atau mungkin barang lainnya seperti tas.

Saya tentunya tidak anti terhadap daur ulang, hanya daur ulang yang dibuat hendaknya tidak melukai hubungan emosional manusia dengan kertas putih atau kertas kosong yang memiliki arti spiritual itu. Produk sampul buku tulis dari kertas daur ulang tentunya sangat baik, namun kertas yang akan ditulis hendaknya adalah kertas baru yang kilauannya saja dapat menggetarkan batin kita.

Manusia perlu diet kertas untuk mengatasi kerakusan dan kegemukan kertas, secara kuantitas kita harus mengurangi penggunaannya walau sumberdaya kertas itu berkelanjutan. Namun untuk menjaga ikatan emosional manusia dengan kertas, kualitas kertas menjadi yang utama, biarlah kertas baru yang bagus itu digunakan oleh pemikiran baru yang akan membawa sejarah manusia lebih maju lagi, biarlah konsep baru mengenai dunia tergambar di sana.

Biarlah generasi mendatang menjadi saksi bahwa hubungan manusia dengan kertas adalah hubungan yang harmonis dan terjaga sampai akhir masa. Sensasi kertas akan menjadi pengingat bahwa pohon telah banyak berkorban bagi manusia, maka sudah selayaknya jika manusia membalas dengan menjaga ekosistem pohon tersebut.