Salah satu hal yang lazim kita lakukan saat lebaran adalah, kita menyesuaikan diri dengan apa yang dilakukan orang-orang di media sosial, yaitu menyampaikan permintaan maaf kepada entah siapa. Mungkin kepada teman-teman atau kenalan yang tidak kita sebutkan secara spesifik.
Dan saya tidak tahu harus meminta maaf kepada siapa, selain kepada Ayah dan Ibu saya. Juga tidak tahu siapa yang harus saya maafkan, selain Ayah dan Ibu saya.
Saya meminta maaf kepada mereka untuk dua hal: bahwa selama setahun belakangan sejak saya tinggal di Jakarta, saya jarang memberi mereka kabar atau membalas pesan dari mereka, dan satu hal lainnya adalah saya minta maaf bahwa saya tidak bisa mudik lebaran ke Tegal.
Saya menyampaikan kepada mereka permintaan maaf ini bukan melalui media sosial, tetapi melalui video call pada malam lebaran, dengan tenggorokan saya yang rasanya seperti tercekik, dan ingin menangis.
Dan ibu saya mengatakan sesuatu yang membuat saya akhirnya menangis. Katanya, "Nggak ada yang perlu dimaafkan, Nak. Tetapi maafkanlah ibumu ini, juga ayahmu, yang belum bisa menarik diri dari kehidupanmu. Kamu sudah selalu mandiri dan bebas. Tetapi sekali lagi maafkanlah ayah dan ibumu ini, yang belum benar-benar bisa hidup tanpamu."
Saya pergi dari rumah orang tua saya setahun yang lalu. Tentu saja bukan karena untuk berpaling dari mereka, tetapi karena saya mendapatkan pekerjaan di luar kota, dan mengharuskan saya untuk tinggal di kota tersebut.
Selain itu, saya merasa ada sesuatu yang mendesak dari dalam diri saya. Mungkin itu adalah jiwa saya—yang barangkali memiliki rencana tertentu untuk saya, yang mendorong saya untuk pergi meninggalkan rumah dan bekerja di luar kota. Saya merasa seperti ada pengalaman untuk saya di luar sana yang harus saya alami.
Dan meskipun orang tua saya bilang bahwa mereka belum benar-benar bisa hidup tanpa saya, saya tidak ingin mendefinisikan mereka sebagai orang tua yang tidak bisa tumbuh keluar dari menjadi orang tua. Seperti kata guru spiritual dari India Osho di dalam bukunya I Am That, pada bab enam di dalam buku tersebut yang berjudul Absolut Love, Absolut Freedom.
Menjadi orang tua bukanlah sesuatu yang harus kita genggam kuat selamanya, katanya. Ketika anak kita telah tumbuh menjadi orang dewasa, maka fungsi kita sebagai orang tua telah selesai. Ketika anak kita sudah bisa mandiri atau berdiri sendiri, kita harus bisa belajar bagaimana menarik diri dari kehidupan anak kita.
"Menjadi orang tua," kata Osho, "adalah satu seni yang hebat. Untuk melahirkan anak bukanlah apa-apa, hewan apa pun dapat melakukannya; itu adalah proses alami, biologis, naluriah. Untuk melahirkan seorang anak bukanlah hal yang luar biasa, tidak ada yang istimewa; ini sangat biasa. Tetapi menjadi orang tua adalah sesuatu yang luar biasa; sangat sedikit orang yang benar-benar mampu menjadi orang tua."
Kamu boleh sepakat dengan pernyataan orang itu dan boleh tidak. Kamu juga boleh cukup menikmatinya saja.
Dan kriteria dari menjadi orang tua yang sebenarnya adalah, menurut Osho, mereka akan memberi kita kebebasan. Mereka tidak akan memaksakan apa pun pada kita untuk mengikuti gagasan mereka, atau mereka tidak mengharuskan kita untuk menjadi seperti mereka.
Lima tahun lalu, ibu saya pernah menginginkan saya untuk menjadi seorang ahli logam seperti ayah saya, dan menginginkan saya untuk meneruskan usaha logam ayah saya di rumah. Ibu saya pernah terkesan memaksakan sekali, pada masa itu, agar saya mau meneruskan usaha ayah saya.
Tetapi saya tidak mau. Karena saya merasa, usaha itu tidak bermasa depan sama sekali untuk saya.
Ibu saya juga meminta maaf untuk soal ini, bahwa dia pernah punya ambisi untuk membuat saya menjadi seperti ayah saya.
"Nggak ada yang perlu dimaafkan, Bu," kata saya, menirunya
Dan mengenai apa yang dikatakan ibu saya kepada saya bahwa "tidak ada yang perlu dimaafkan", itu membuat saya jadi teringat pada seorang pekerja psikis Marylin Raffaele. Di dalam salah satu konten channeling-nya di situs webnya onenessofall.com, Marylin pernah membahas tentang memaafkan dalam arti yang paling sebenarnya.
Katanya, itu adalah kondisi kesadaran yang sudah dicapai seseorang yang menyadari bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan. Dan tidak semua orang bisa mencapai kondisi kesadaran yang seperti itu, atau tidak semua orang bisa memahami rasa memaafkan yang mendalam ini.
Ibu saya tidak pernah membaca Marylin Raffaele. Tetapi dari cara dia mengatakan bahwa "tidak ada yang perlu dimaafkan" itu betul-betul tulus, dan saya yakin dia sudah memahami rasa memaafkan yang menurut Raffaele adalah jenis memaafkan yang sangat mendalam ini.