Transformasi peradaban terkadang membutuhkan sebuah peristiwa kecil untuk memicu perubahan yang besar. Saat orang-orang Semit memutuskan bermigrasi dari lembah tandus jazirah Arab menyusuri semenanjung Sinai dan sungai nil, kita akhirnya mengenal peradaban awal di Mesir, Sumeria –Babilonia-, Phoenisia sampai puncaknya di Makkah dan Madinah.

Thales yang merupakan turunan dari migrasi orang-orang Yunani Daratan, di Miletos ia akhirnya memutuskan bertanya tentang asal mula semesta. Meski teorinya sudah usang, tapi pikiran kecilnya mendobrak para pemikir selanjutnya seperti Anaximandros, Anaximenes, Empedokles, Phytagoras sampai Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Hingga akhirnya, kita mengenal peradaban Barat yang megah.

Alexander the great, pada masanya membangun sebuah kota megah Iskandaria, di mana semua orang bisa hidup berdampingan dan memicu dialektika pengetahuan yang tiada tanding. Di sinilah berdiri perpustakaan terbesar yang menyimpan banyak koleksi pikiran-pikiran brilian, kita akhirnya mengenal Hypatia, Erastotenes, Dionisios dan tokoh-tokoh lain yang menyumbang kemajuan peradaban ummat manusia.

Tapi, bukan sejarah peradaban yang ingin saya ceritakan disini. Melainkan kenapa itu bisa terjadi? Apa yang menjadi penyebab utama munculnya sebuah peradaban megah? Dan darimana kita memulainya? Let’s see.

Arnold Toynbee menyebut, sebuah peradaban memang kerap bergerak karena peran orang-orang kreatif. Meski begitu, mereka tidak muncul dengan sendirinya di tengah zaman, tapi melalui proses panjang yang menguras waktu dan tenaga demi menghibahkan diri mereka untuk ummat manusia. Dari kajian beberapa literatur, saya menemukan, ada tiga orang yang berperan penting dalam proses kelahiran sebuah peradaban.

Smart People

Orang pertama yang berperan sangat penting untuk memunculkan sebuah peradaban adalah orang yang cerdas. Tentu, kita semua mengaamiini, baik peradaban Barat maupun Timur, semua dimulai dengan ilmu pengetahuan.

Dialektika ilmu pengetahuan pada setiap zaman, tumbuh sesuai dengan kondisi zamannya. Pada millenium ke-empat sebelum masehi, orang akhirnya menggunakan pengetahuan mereka untuk membuat alat berburu, rumah, tulis menulis, system irigasi bahkan menentukan pertanggalan waktu dan menyimpan cadangan makanan dengan baik. Pengetahuan itu kemudian kita warisi dengan menyebutnya sebagai sejarah.

Sejarah yang kita warisi kemudian di abadikan oleh beberapa orang dalam bentuk catatan-catatan kecil dan kelak menjadi bahan evaluasi untuk generasi setelahnya. Berbekal pengetahuan itulah, orang-orang mulai berpikir untuk membuat sesuatu yang lebih megah. Pengetahuan mereka kemudian di uji dalam bentuk experiment, maka gagasan dalam bentuk ide, menjelma menjadi materi yang bisa kita rasakan. Akhirnya, muncul listrik, komputer, sepeda, kereta, mobil, telepon genggam, kapal dan pesawat terbang.

Wajah peradaban mulai berubah semakin baik. Lalu muncul orang-orang yang pengetahuannya di atas rata-rata orang biasa, memahami celah yang belum tertutupi pada uji coba sains, maka mereka mengembangkan pikiran-pikiran itu dan akhirnya kita mengenal laptop, smartphone, media sosial, robotic, dan mendigitalisasi semua aspek-aspek kehidupan manusia.

Sekarangorang-orang masih terus menguji sains berdasarkan pengetahuan yang didapatkan. Pasca semuanya, apa lagi yang harus dilakukan oleh manusia? Ternyata, saat semua di rasa tercukupi, ada sekelompok kecil orang mulai mengalihkan perhatiannya pada manusia. Untuk menikmati peradaban lebih lama, mereka belajar cara bertahan hidup yang baik dan benar, akhirnya muncul obat-obatan, tips-tips hidup sehat dan hal-hal lain yang mengarah pada psychology manusia.

Mereka –orang-orang cerdas- membuat kita sadar, bahwa sebuah kemajuan, tidak melulu tentang kekayaan sumber daya alam, atau letak strategis sebuah wilayah, lebih dari itu adalah bangsa yang cerdas dan visioner.

Creative People

Pengetahuan memang menjadi core paling fundamental dalam peradaban, tapi apa jadinya, jika sebuah pengetahuan tidak dibarengi dengan kreatifitas berpikir? Pasti hambar-hambar saja menerima pengetahuan tersebut, tanpa mengujinya menjadi sesuatu yang berdampak besar buat ummat manusia.

Alasan itulah yang membuat saya sependapat dengan Einstein, bahwa ”Imagination is more important than knowledge”. 

Orang-orang kreatif berperan tak kalah penting dari orang yang berpengetahuan. Meski kita kemudian membuat pengakuan, keduanya harus beriringan. Dari orang-orang kreatif ini, kita diajarkan berpikir di luar cara berpikir orang biasa. Mereka mengimajinasikan makanan dan minuman yang di konsumsi hari ini, masih bisa dikonsumsi besok atau satu minggu setelahnya. Buah imajinasi itu kemudian dikreasikan menjadi sebuah alat penghangat dan pendingin makanan dan minuman yang kita kenal dengan sebutan display warmer dan refrigerator.

Mereka lalu membayangkan, bagaimana agar manusia bisa terbang seperti burung, bisa menyelam seperti ikan, menyebrangi lautan, memperpendek jarak dalam waktu sekejap, berbicara satu sama lain meski di pisahkan antar pulau atau Negara. Semua terkesan nyeleneh dan sangat sakti bagi sebagian orang. Tapi hari ini, kita semua percaya itu nyata.

Kita telah terbang tinggi di atas udara dengan pesawat, menyelami lautan dengan kapal selam, menyebrangi lautan dengan kapal pesiar, memperpendek jarak dengan kereta cepat, dan berbicara antar Negara dengan smartphone. Sebuah kemajuan tiada tanding dari hasil kreativitas sekelompok kecil manusia. Maka tidak ada salahnya, jika Harari menyebut kita sebagai Homo Deus.

Akhir dari kreativitas ini mengubah sepenuhnya pikiran manusia untuk tidak hanya tinggal di bumi, tapi di planet-planet lain yang kita tahu berdasarkan pengetahuan. Sekali lagi, itulah kekuatan imajinasi, gila sekaligus nyata.

Someone who wants to act

Puncaknya adalah tindakan, pengetahuan dan imajinasi hanya akan bersemayan di dalam kepala jika tidak ada yang mau melakukannya. Dilihat dari urut kemunculan sebuah peradaban, tentu bertindak adalah kuncinya.

Imajinasi hanya akan tetap menjadi imajinasi, sampai seseorang mau bertindak mewujudkannya. Jika Kasim, tidak bertindak mencatat jumlah gandum dan pasokan yang ada di Babilonia, tentu kita tidak tahu belajar akuntansi, Jika Edison, Tesla, Newton, Abbas, Bell dan beberapa penemu lainnya tidak bertindak, tentu kita tidak semaju sekarang. Jika Frederick Terman tidak bertindak mengelompokan orang-orang kreatif di Stanford, tentu kita tidak mengenal Iphone, Twitter, Google dan lain-lain.

Inilah point yang ingin saya sampaikanSemua aspek kehidupan kita berubah dari sebuah tindakan kecil yang dilakukan secara konsisten oleh sekelompok kecil orang yang berpengetahuan, kreatif, dan yang mau bertindak.

Fakta menarik yang ingin saya tuliskan di sini adalah mereka yang menjadi partisipan aktif mengubah sebuah peradaban merupakan anak-anak muda. Maka sudah semestinya, kita tidak terikat pada wacana kosong yang berakhir di perdebatan tanpa batas.

Sadar pada kemampuan, berbagi kreativitas dan bertindak bersama adalah kunci menciptakan peradaban. Pertanyaannya, apakah kita siap? Ask your self brotha!