Tahun pertama saya kuliah, seorang senior berkata dengan redaksi kira-kira seperti ini, "Standar kebahagiaan kita terlalu tinggi, berbanding terbalik dengan standar kesedihan kita yang terlalu rendah.". Pernyataan itu dilengkapi dengan sebuah contoh yang sering terjadi di sekitar kita, bahkan mungkin oleh kita sendiri.
Ketika sedang asyik menikmati secangkir kopi, entah tersenggol atau dengan tidak sengaja tertendang sampai tumpah, hampir selalu kita mengumpat dalam hati, kesal, dongkol, dan pada kasus yang menimpa saya, itu akan ditambah mencak-mencak serta mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh.
"Bahkan kehilangan segelas kopi saja sudah kita tangisi!" lanjutnya sambil mengepulkan asap ke depan muka. Mengenaskan sekali, parameter kesedihan kita tak lebih tinggi dari segelas kopi. Itu belum ditambah dengan gelas yang pecah, terpeleset lantai yang licin, ketumpahan kecap, atau pakaian yang bolong karena terkena sundut rokok.
Sering kita merasa sedih dengan hal-hal kecil yang menimpa kita, bahkan atas kesalahan yang kita lakukan sendiri. Lalu mulai meracau tentang ujian dan cobaan dari Tuhan. Bahkan putus dari kekasih pun dikeluhkan sebagai rintangan yang mesti dihadapi. Tidak sama sekali terbersit, bahwa saat-saat menjalin hubungan itu sendiri sudah merupakan ujian.
Standar kesedihan yang terlalu rendah ini yang menciptakan generasi cengeng sosial. Orang-orang yang menganggap bahwa ia--seolah-olah--memikul seluruh penderitaan manusia di muka bumi. Generasi yang tidak segan menulis curahan hati pada pamflet yang akan dibaca oleh khalayak umum!
Lalu sialnya lagi, ini semua ditambah dengan miskin bahagia. Alias kekurangan dosis untuk mendapatkan kebahagiaan. Karena yang kita cari lebih sering terlalu tinggi, muluk-muluk, untuk hal yang sederhana sekali pun. Sesederhana berpakaian, kadang kita sudah dibuat pusing padahal baru tahap memilih. Mencari kecocokan, bercermin berulang kali. Lalu baru merasakan kebahagiaan memakai baju yang pas setelah kembali ke pilihan pertama. Ya, baru setelah melewati tahap seleksi yang rumit.
Pendeta William Ockham mencetuskan gagasan yang kemudian dikenal dengan hukum Occam's Razor, dalam bahasa Latin berbunyi, "Entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem.". Janganlah mengandalkan banyak hal daripada yang benar-benar perlu. Begitu terjemahan yang ditulis dalam novel Mark Haddon "Insiden Anjing di Tengah Malam Yang Bikin Penasaran".
Jadi begini, kita bisa menemukan solusi dari suatu masalah terkadang justru lewat hal-hal yang sederhana, dengan membuang sisanya yang rumit-rumit. Kita justru seringkali merekayasa problem-problem tersebut. Jawabannya sudah di genggaman tangan, namun kita sibuk mencari di kolong-kolong meja, bawah kasur dan mengorek-orek dapur.
Dalam mencari kebahagiaan, kita sering terjebak dalam negeri utopia yang rumit, kita anggap begitu luasnya namun sebenarnya sempit. Kita mulai merinci hal-hal yang akan dijadikan alasan kebahagiaan kita nanti. Hampir selalu berputar di kepemilikan materi, benda-benda yang mampu memuaskan hasrat, atau kekuasaan yang begitu tingginya untuk menengok ke bawah.
Hal-hal ini--walaupun tidak selalu--hampir pasti menjadi indikator kebahagiaan manusia. Ini manusiawi, namun terkadang sering membentur rambu-rambu kemanusiaan. Kita bisa jadi gelap mata, dan kebahagiaan yang hanya memuaskan hasrat semata akhirnya menjadi candu.
Candu ini kembali ke apa yang dikatakan senior saya, bahwa standar kebahagiaan kita terlalu tinggi. Cara menurunkan dosisnya tentu dengan merendahkan standar kebahagiaan terhadap diri sendiri. Jadi, ketika kopi yang belum sempat kita seruput tumpah, kita bahagia karena gelasnya tidak ikut pecah.
Jika gelasnya pecah, kita masih bisa bahagia karena pecahannya tak menggores kulit. Jika pecahannya sampai melukai, kita tetap bahagia karena lukanya masih bisa ditutup, dan tidak kekurangan darah terlalu banyak sampai harus dilarikan ke rumah sakit.
Begitu seterusnya, rangkaian "jika dan jika" ini selalu bisa menjadi sebab kita menemukan kebahagiaan, dari hal-hal yang normalnya kita ratapi. Untuk mengimbanginya, tentu perlu untuk ikut meninggikan standar kesedihan masing-masing. Sehingga kita bisa terus melangkah tidak peduli berapa pun kopi yang tumpah.Jika kita sudah menyatu dengan hakikat segala sesuatu yang akan kembali ke sisiNya, seharusnya kita bisa merelakan kehilangan-kehilangan yang sempat kita pinjam wujudnya.
Dalam sebuah studi kasus, rumusan tentang kebahagiaan diterbitkan. Setelah diselenggarakan uji coba, disimpulkan bahwa, "Ketidakseimbangan akan mengurangi kebahagiaan rata-rata, baik ketika orang mendapatkan lebih banyak atau ketika mereka mendapatkan kurang dari orang-orang yang ada di sekitar mereka," kata penulis penelitian Robb Rutledge, peneliti dari University College London. Menurut rumus matematika, banyak variabel yang dibutuhkan untuk menentukan kebahagiaan, termasuk imbalan, harapan dan apa yang terjadi kepada orang lain.
Kebahagiaan yang masuk ke dalam ranah hati, dan mesti dirumuskan dengan hati-hati, seperti halnya cinta dan kasih sayang, dicoba sedemikian rupa untuk dihitung dengan rumus matematika. Dan beberapa hal yang membuat Anda bahagia justru terkadang tidak masuk akal. Kebahagiaan kita bisa jadi sesuai dengan rumus atau bahkan berbeda sama sekali. Ini juga merupakan hasil dari kemungkinan yang tak terhingga.
Namun jika berkaca lewat rumus kemanusiaan, hasil bahagia yang didapatkan dari ketidakbahagiaan orang lain, merupakan sebuah nilai negatif. Sehingga muncul istilah, "Berbahagia di atas penderitaan orang lain.". Masyarakat kita sepakat menyebut jenis kebahagiaan seperti ini dengan persamaan, bahagia=jahat.
Jika kebahagiaan yang berdiri di atas ketidakbahagiaan orang lain ini cocok dengan rumus matematika, sebaiknya, atau bahkan semestinya kita lepaskan, lalu mulailah mencari rumus-rumus kebahagiaan sendiri, dengan variabel masing-masing.