Siang ini, suara gawai saya berbunyi berkali-kali, mengabarkan bahwa Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy ditangkap KPK. Ia tertangkap basah atau bahasa kerennya tangkap tangan. Entah kasus apa.

Saya segera menghubungi seseorang yang saya kenal dan pernah divonis korupsi. Artinya, ia seorang koruptor. Apa tujuannya? Nggak ada sih, cuma ingin tahu saja bagaimana reaksinya. 

Singkat kata, kami janjian dan bertemu usai salat Jumat di sebuah rumah makan Padang, tempat di mana ia dulu ditangkap.

"Sampeyan pasti masih menganggap kalau korupsi itu seperti maling atau perampok," katanya ketika kami bertemu.

Ia kemudian bersedia melanjutkan obrolan dengan catatan bahwa saya punya perspektif lain bahwa korupsi tak bisa disederhanakan menjadi seperti maling atau perampok biasa.

"Korupsi itu sebuah seni. Benar, seni. Butuh sentuhan keindahan, kelembutan. Eh ya, sebelumnya saya minta maaf, saya ini koruptor. Benar-benar koruptor yang sejati. Bukan koruptor jadi-jadian. Bukan maling yang berpura-pura korupsi," katanya.

Saya berharap ada kejutan dalam obrolan siang ini. Dari pembukaan saja barangkali saya bisa menangkap korupsi secara filosofis. Menangkap sebuah kebenaran dari tindak korupsi.

Demikianlah. Saya memposisikan diri jadi pendengar. Menjadi pendengar adalah pihak yang langka di Indonesia. Rata-rata memilih menjadi pembicara, pendoa, atau pengambil hikmah saja.

Menurut kawan tadi, korupsi adalah perpaduan ketelatenan, kelihaian, kemampuan manajerial, naluri berkuasa, dan keinginan menjadi orang berpengaruh. Jadi untuk menjadi koruptor dalam kelas paripurna, butuh proses yang tak pendek. Butuh persiapan untuk menjadi koruptor sejati.

"Proses itu harus dilakukan pelan-pelan, harus sabar dan mengalir. Kalau dalam bahasa ibadah ya seperti…. apa itu? Tuma’nina. Nggak bisa terburu-buru,” katanya.

Saat ini, para koruptor yang ditangkap adalah koruptor-koruptor yang tak bisa menjaga martabat dan tak bisa memberi nilai sebuah proses. Mereka ingin menjadi koruptor secara instan. Salah satunya dengan menawarkan diri menjadi pemimpin.

"Benar kata Goenawan Mohamad bahwa hal yang sia-sia memang harus diberi nilai, seperti di puisinya yang berjudul Interlude. Tetapi koruptor sejati itu rendah hati. Ingat, rendah hati, bukan rendah diri," katanya.

Ia bercerita, saat dulu tertangkap tangan menerima gratifikasi, ia tak menyalahkan siapa pun. Bahkan ia juga tak menyalahkan sistem. Apalagi anak buah. Ia mengaku terus terang dan menunjukkan wajah bersalah.

"Mosok jadi koruptor saat tertangkap atau ketahuan korupsi malah senyum-senyum, dadah-dadah, salam metal, salam jempol, salam satu jari, salam dua jari. Itu menyakiti hati rakyat dan menyakiti koruptor sejati," katanya penuh wibawa.

Ia berhenti sejenak, menyeruput milkshake pesanannya. Saya malah bingung mendeskripsikan apakah cocok milkshake dipadu dengan masakan Padang.

"Kalau tertangkap, jangan berlindung pada partai politik, induk yang sudah ia setori duit korupsi,” katanya melanjutkan.

Ia mengambil sebatang kretek. Mengeluarkan sebuah bolpoin dan mencoret-coret sesuatu sambil terus berbicara mengenai anatomi korupsi yang seharusnya. Setiap kali ia bicara, tangannya mencoret.

"Nah, jadi seperti gambar ini. Ruwet, bukan? Korupsi itu ruwet. Koruptor sejati tak akan ikut-ikutan teriak berantas korupsi sambil diam-diam berkorupsi," katanya.

"Kejahatan di dunia itu hanya dua. Pertama adalah korupsi, kedua adalah lainnya. Jadi jangan sederhanakan korupsi seperti maling biasa," ia melanjutkan sambil menunjukkan kertas yang sudah dicoret-coret tadi. Tak jelas polanya karena sangat ruwet.

Menjadi koruptor itu pilihan. Tindak korupsi tak boleh hanya menjadi pelarian atau kompensasi atas biaya yang sudah ia keluarkan. Jadi benar-benar butuh kesabaran dan ketelatenan.

"Mudah-mudahan jika memang benar Gus Romi ditangkap KPK, saya berharap tak menyinggung perasaan saya sebagai koruptor. Saya khawatir ia adalah koruptor instan. Koruptor yang saat ditangkap dan ketahuan malah sibuk berkilah bahwa mereka tak salah. Itu bukan koruptor, itu celeng. As*. Bajing** itu. Koruptor itu meski sering dianggap penjahat tetapi warga terhormat,” katanya berapi-api.

Proses menjadi koruptor harus didasari dengan niat tulus dan ikhlas. Koruptor itu tak boleh bebal, tak boleh dungu. Tak boleh mengorbankan diri untuk menyelamatkan partai, menyelamatkan calon pemimpin yang didukung.

Menurutnya, jika itu yang dilakukan, maka ia adalah koruptor gadungan. Koruptor itu bukan personal, tetapi kerja berjaringan.

"Cobalah lihat, para koruptor sejati seperti saya itu, pasti tetap meninggalkan sesuatu untuk rakyat. Misalnya saya, bukankah saya meninggalkan jejak berupa trotoar yang berkeramik, taman kota yang indah, infrastruktur jalan kampung yang masih bagus hingga kini? Wajar kalau saya mendapatkan sesuatu atas prestasi itu," katanya.

Menjadi koruptor sejati itu harus membawa nilai manfaat bagi rakyat. Jika tak ada korupsi, menurutnya, sulit membayangkan ada kemajuan di negeri ini.

“Pesan saya, jika mau nulis tentang koruptor, cobalah pakai perspektif saya. Perspektif bahwa korupsi itu hanya soal giliran. Perspektif bahwa masih ada korupsi yang tingkatannya menyebalkan, yakni mengorupsi anggaran pemberantasan korupsi. Mengorupsi anggaran pembahasan pemberantasan korupsi. Dan akan berpuncak pada mengorupsi yang ia sendiri tak tahu apa yang harus dikorupsi,” pesannya.

Saya makin pusing. Harus diakui bahwa ketika ia menjadi pejabat, banyak sekali yang ia tinggalkan dan bermanfaat bagi rakyat. Hanya karena ia ketahuan korupsi, maka apa yang ia tinggalkan banyak yang kemudian tak dirawat atau malah dirusak.

"Kalau soal itu, saya paham. Bukankah biar ada lagi yang dikorupsi? Sayangnya para koruptor saat ini tak menyadari filosofi korupsi yang idealis," katanya tersenyum.

Di luar rumah makan Padang itu, hujan mulai jatuh. Tiba-tiba petir menyambar sangat keras. Saya dan kawan tadi kaget. Tak sengaja tangannya menyenggol piring berisi rendang.

"Prang!!"

Saya kaget mendengar suara piring pecah itu. Saya pandangi serpihan piring dan oseng-oseng kacang panjang yang berserakan di lantai. 

Ah, rupanya saya sedang mengkhayal ngobrol dengan orang jago dalam hal korupsi, sampai tak menyadari kucing piaraan anak saya menumpahkan oseng-oseng kacang panjang yang sedikit itu.

"Ah, makan siang ini rupanya harus makan siang mi instan lagi," gumamku.