Istilah teroris saat ini menjadi momok yang menakutkan bagi banyak kalangan yang pernah mendengar informasi dampak destruktif yang diakibatkannya. Bagi korban selamat, tak jarang meninggalkan kesan traumatik setelah tempat tinggal yang dihuninya rusak akibat ledakan bom sampai kehilangan anggota keluarga.

Di Indonesia, pengalaman tragedi bom yang tidak bisa dilupakan adalah Bom Bali yang terjadi selama dua periode berturut. Korban peristiwa tersebut mencapai ratusan orang yang sebagaian besar merupakan warga negera asing.

Genealogi kelompok teroris di Indonesia bila ditelusuri sudah berlangsung sejak tahun 1970 sampai 1980-an yang dipelopori oleh Komando Jihad dengan pimpinan Ismail Pranoto, disusul dengan Hassan Tiro yang mendirikan Front Pembebasan Muslim Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Kelompok kontemporer Jamaah Islamiyah besutan Abu Ba’asyir yang berafiliasi dengan Al-Qaeda juga merupakan kelompok yang sering melakukan aksi-aksi teror sekalipun kemudian terpecah menjadi beberapa faksi di dalamnya.

Kini, Islamic State Iraq and Syria (ISIS) menjadi satu-satunya kelompok teroris global yang mencatut nama Islam dalam setiap agresi militer yang dilakukan. Aksi teror ISIS sering kali merusak nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi perdamaian, seperti melakukan perusakan tempat-tempat sakral umat Islam yang dianggapnya bidah, melakukan penjarahan, pembunuhan keji, sampai melecehkan perempuan dengan praktik-praktik zina dengan membawa legitimasi jihad.

Ini semakin melengkapi upaya distorsi citra Islam sebagai agama kasih yang semakin pudar setelah peristiwa 11 September 2001 di gedung World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat. Tidak bisa dipungkiri, kelompok-kelompok yang melakukan aksi teror di Indonesia dan di dunia dilakukan oleh oknum atau beberapa kalangan dari umat Islam. Sekalipun perlu ditegaskan, aksi terorisme yang dilakukan jelaslah tidak mewakili pandangan umat Islam pada umumnya.

Semakin rumit kala terorisme yang sering terjadi di belahan dunia Barat melalui media dan diplomasi luar negeri mencitrakan Islam sebagai agama teroris dengan beragam kebijakan yang cenderung diskriminatif untuk Muslim di negara Barat.

Di Indonesia, aksi-aksi teror sampai sparatis menjadi ladang menaikan popularitas pemerintahan yang dalam penanganannya tak jarang terjadi pelanggaran HAM. Terorisme kemudian menjadi kosa kata yang bermakna feodal. Bagi kelompok atau seseorang yang kemudian diasosiasikan sebagai teroris perlu untuk ditumpas.

Tuduhan teroris pada kelompok atau seseorang, dapat berbalik kepada pemerintah bila dalam penanganan mengabaikan aspek keadilan dan HAM. Pemerintah pun dapat menjadi teroris bila melalui aparatnya memberikan kesan takut kepada warga sipil. Istilah teroris dapat dibajak oleh kekuasaan untuk menyingkirkan kelompok yang tidak disukai atau dianggap berbahaya.

Lebih kacau lagi bila terorisme dianggap terinspirasi dari nilai-nilai Islam yang dikaitkan erat dengan aksi-aksi kekerasan dalam sejarahnya. Terorisme menjadi sebuah paham romantisme masa lalu yang kemudian terjebak di dalamnya saat dunia mulai berkembang, namun tak mampu merespons dengan baik sehingga merasa terjadi ketimpangan global. Aksi kekerasan menjadi legitimasi mengejar ketertinggalan.

Ahmad Al-Juhayni, seorang intelektual muda Mesir jebolan dari Universitas Al-Azhar pun mengatakan, “lslam bukanlah Al-Qaeda atau Taliban, Kristen bukan Crusaders, dan Yahudi bukan Zionis. Ada perbedaan antara agama dan pemeluknya. Setiap orang mengamalkan agamanya sesuai pemahamannya dan kadang sesuai ambisinya.

Argumentasi yang dilontarkan oleh Al-Juhayni merupakan upaya mereduksi penyematan Islam sebagai agama teroris, sekaligus merontokkan narasi Islam sebagai agama pro kekerasan. Perlu disadari, kelompok-kelompok yang melakukan teror selalu hadir dalam perjalanan agama di setiap zamannya. Sangat tidak adil bila aksi teror terpolitisir merujuk pada suatu agama tertentu.

Kita sepakati bersama, setiap agama tersimpan nilai kasih di dalamnya, sekalipun menolak aksi kekerasan dari hasil interpretasi yang salah. Maka bila ada orang-orang yang melakukan aksi terorisme, secara sekaligus merusak sendi-sendi kemanusian universal, secara kritis perlu kita tanya kepada mereka yang rutin melakukan aksi terorisme, “Agamamu apa?”