Melihat tren radikalisme yang semakin merebak beberapa tahun ini, saya jadi merenung. Tahun 2011, saya sudah cukup terkejut membaca sebuah survey yang dilakukan oleh LaKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) yang menyatakan bahwa 49% pelajar di Jakarta menyetujui aksi radikal berlabel agama. Dan kini, kehadiran ISIS dan keberhasilan mereka merekrut calon-calon teroris sejak usia dini, semakin menenggelamkan benak saya pada perasaan sedih luar biasa.
Satu hal yang saya yakini, semua kegiatan radikalisme berakar dari pemahaman bernama ‘mati syahid’. Pemahaman ini kemudian berkembang menjadi sebuah keinginan yang akhirnya mengarahkan para teroris ini untuk kemudian mencari—bahkan menciptakan—perang dengan kaum yang berbeda keyakinan dan—bahkan—pemikiran.
Sebagai kaum awam, saya juga sempat memiliki pemahaman yang sama, bahwa untuk meraih maqam (status) syahid, hanya bisa dengan jalan kematian. Tetapi ternyata selama ini saya salah. Salah besar.
Khalifah kelima Jamaah Islam Ahmadiyah Yang Mulia (YM) Mirza Masroor Ahmad–atba. pada tanggal 14 Desember 2012 di Masjid Baitus Sabuh, Hamburg, Jerman, menyampaikan dalam khotbahnya mengenai makna syahid. Penjelasan yang dalam dan luas.
Pertama, tidak perlu mencari (atau bahkan menciptakan) perang agar masuk golongan yang mati syahid karena ‘terbunuh di jalan Allāh. Nabi Muhammad pernah bersabda,
Orang yang dengan niat bersih dan lurus menginginkan kesyahidan maka Allāh akan memasukkannya ke dalam golongan orang-orang syahid sekalipun ia mati di atas tempat tidur.[1]
Ḥadīts ini menunjukkan betapa Maha Pemurah-nya Allāh, sehingga dengan hanya memiliki niat bersih dan lurus untuk menginginkan kesyahidan, Allāh akan memberikannya. Tidak perlu melalui perang apalagi sampai harus menciptakan perang demi bisa ‘dicap’ syahid karena [merasa] sudah berjuang dan siap mati membela agama Allāh.
Lagipula, kalau memang perang adalah satu-satunya jalan untuk meraih stastus atau maqam syahid, kenapa dalam sejarah kita ditunjukkan hal yang berbeda oleh junjungan kita, Rasulullah?
Dalam Perang Badar, Rasulullah malah memohon doa untuk keselamatan bagi beliau dan kaum Muslim yang ikut serta berperang dengan beliau. Beliau memohon kepada Allāh, “Jika orang-orang Muslim ini hancur binasa maka siapakah lagi yang akan beribadah kepada Engkau?”[2]
Kalau memang perang melawan kaum ‘kafir’ adalah sebuah jalan besar untuk bisa meraih maqam syahid, mengapa Rasulullah malah memohon doa untuk keselamatan bagi dirinya dan umatnya? Bukankah perang itu justru kesempatan bagi beliau dan umatnya untuk bisa meraih maqam syahid yang diidam-idamkan?
Dalam hadits lain bahkan dikatakan bahwa kita jangan sampai berharap bertemu dengan musuh. Kita tidak diperbolehkan mengharapkan adanya peperangan. Diriwayatkan, ketika di suatu tempat, rombongan kaum Muslimin dihadang musuh, kemudian beliau berdiri di depan orang-orang [Muslim] lalu berpidato [memberi semangat]:
Wahai manusia, janganlah sekali-kali mengharap bertemu musuh dan mintalah kesehatan [keselamatan] kepada Allah, jika para musuh menemui engkau, hendaklah bersabar (bersiteguh tidak gentar), dan ketahuilah bahwa surga ada di bawah kilatan pedang-pedang.”
Kemudian beliau berdoa: ‘Allahumma munzilal kitaabi wa mujriyas sahaabi wa haazimal ahzaabi ihzimhum wanshurna ‘alaihim’ – “Ya Allah Yang Menurunkan Kitab, Yang Menjalankan awan-awan, Yang Menghancurkan golongan-golongan, hancurkanlah mereka dan menangkanlah kami diatas mereka.”[3]
Hadis ini menjelaskan bahwa kita tidak boleh mengharapkan peperangan, kita tidak boleh berharap bertemu musuh. Akan tetapi, kalau terpaksa harus bertemu musuh, maka kita pun tak diperbolehkan untuk gentar. Perlu diingat bahwa dalam setiap peperangan yang terjadi di masa Rasulullah, tidak pernah beliau yang menginisiasi atau memulai peperangan tersebut. Beliau berperang karena selalu diserang lebih dulu.
Berikutnya, seorang mujaddid di abad ke-14, pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang bergelar Imam Mahdi-dan-Almasih Yang Dijanjikan (Hadhrat Masih Mau‘ud a.s.) bersabda:
Masyarakat umum menganggap syahid itu hanyalah orang yang mati di medan perang atau tenggelam di sungai atau karena serangan wabah penyakit dan lain-lain. Akan tetapi, saya katakan bahwa pendapat demikian atau terbatas hanya kepada pengertian demikian, adalah jauh dari keluhuran mu’min.
Sesungguhnya syahid adalah orang yang telah memperoleh kekuatan istiqamah (keteguhan) dan sakinah (ketentraman) dari Allāh Ta‘ālā. Tidak ada gejolak atau bencana yang dapat menggoyahkannya…”
Hal itu tidak dapat menggoyahkannya dari kedudukannya.“ Dia menghadapi musibah demi musibah dan berbagai kesulitan dengan gagah berani, sehingga sekalipun harus mengorbankan jiwanya karena, tanpa merasa takut dan bimbang ia menyerahkan jiwanya untuk dikorbankan maka ia mendapatkan istiqlal (ketetapan hati) yang tidak biasa.”
Dari sini bisa disimpulkan bahwa mereka yang memiliki keteguhan dan ketentraman yang luar biasa dalam menghadapi berbagai kesulitan di jalan Allāh akan meraih maqam syahid. Tidak perlu menunggu kematian untuk meraih maqam ini.
Bahkan, dalam pernyataan berikut ini Hadhrat Masih Mau‘ud a.s. menjelaskan bahwa justru kesyahidan seseorang akan memberikan faedah atau manfaat yang lebih banyak ketika dalam keadaan hidup, bukan mati. Beliau menjelaskan lagi bahwa:
Lafaz syahid ini keluar dari perkataan syahd (madu). Manusia tahan melakukan ibadah keras dan tahan menghadapi berbagai macam kesulitan dan kesusahan di jalan Allah Ta’ala. Ia merasakan semua itu seperti madu manis dan lezat rasanya.
Sebagaimana syahd (madu) sesuai dengan firman Tuhan—Fīhi syifā’ul-li’n-nās—artinya, madu itu mengandung kesembuhan (antidot) bagi manusia,[4] begitu juga syahid sebagai antidot. Orang yang bergaul dengan para syuhada (para syahid ) akan mengalami kesembuhan dari berbagai penyakit (rohaniah).
Jika maqam syahid ini hanya bisa diraih setelah manusia wafat, lantas bagaimana manfaat dari pergaulan dengan para syuhada ini akan didapatkan? Tentu saja tidak bisa. Itulah mengapa Hadhrat Masih Mau‘ud a.s. mengatakan bahwa kesyahidan seseorang justru memberikan lebih banyak manfaat ketika manusia tersebut dalam keadaan hidup, bukan mati.
Dengan menelisik lagi berbagai hadis yang justru menunjukkan pertentangannya dengan pemahaman bahwa syahid hanya (atau harus) diraih melalui jalan kematian, sangat disayangkan betapa kedangkalan ilmu agama seseorang ternyata bisa membawa kehancuran sedemikian dahsyat.
Kehancuran yang sayangnya tidak hanya terjadi pada dirinya sendiri, tetapi juga menimpa manusia lain yang tak memiliki salah apa-apa. Segala bentuk aksi radikal, segala bentuk tindakan teror yang dilakukan hanya berdasarkan sejengkal pemahaman mengenai makna syahid. Benar-benar sangat disayangkan.
Yang lebih membahayakan lagi adalah, masyarakat kita tampaknya santai dan tenang saja menghadapi kenyataan ini. Mereka seolah bahkan terlalu lugu dan polos, tak menyadari bahwa suara-suara radikal tengah menguatkan akarnya dalam benak anak-anak kita.
Sudah saatnya kita lebih menaruh perhatian untuk menutup segala celah agar para kaum teroris ini tidak melenggang bebas menanamkan pemahaman dangkalnya pada anak-anak kita. Sudah seharusnya kita sadar bahwa radikalisme adalah musuh kita bersama. Dan sudah saatnya kita bergandengan tangan, saling menguatkan dan menyuarakan bahwa kita menginginkan perdamaian di bumi Indonesia.
Referensi:
[1] Ṣaḥīḥ Muslim, “Kitāb al-Imarah | bab Istiḥāb Ṭalabu’sy-Syuhadā fī sabīli’l-Lāh Ta‘ālā” - See more at:
[2] Ṣaḥīḥ Muslim, “kitāb al-Jihād wa’s-Sair | bab al-Amdād bi’l-Malā’ikah fi Ghazwah Badr (pertolongan para Malaikat di Perang Badr)”
[3] Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, “Kitāb al-Jihād | bāb Lā Tamannu Liqā al-‘Aduwwi (Bab Janganlah Sekali-Kali Mengharap Bertemu Musuh)”
[4] QS An-Naḥl (16):70