Beberapa waktu lalu, peristiwa bom di Jakarta menggemparkan jagat dunia nyata. Selain itu pula, jagat dunia maya pun meresponnya. Dari kejadian naas itu, kita disuguhi dengan secepat kilatnya informasi dari saluran digital—televisi dan internet.

Di televisi sejumlah pemberitaan, ulasan sampai penelusuran terus berlanjut hingga saat ini bahkan ada wacana revisi undang-undang teroris; sejumlah ulama, peneliti teror sampai Badan Nasional Penanggulangan Teroris pun turut berkomentar dan menganalisa.

Di media digital, stok informasi pun tidak kalah pentingnya; setiap website provit atau non provit terus membuat pemberitaan tindakan tercela itu. Menariknya, dalam dunia media sosial—Facebook dan Tweeter segera muncul tanda pagar (hastag) #KamiTidakTakut. Ada pula yang memasang foto profil nitizen dengan bendera merah putih. Tujuannya untuk menegaskan semangat nasionalisme dan tindakan terorisme harus dibumihanguskan.

Menariknya, seorang teman di kampus saya berceloteh tentang tindakan bom bunuh diri di Jakarta, “Itu mah bukan tindakan berdasarkan agama. Malahan, tindakan itu pula yang membuat Islam seakan-akan keji,” ujarnya di sela-sela kami ngopi di kantin. “Islam Rahmatan lilalamin kita mah, tidak ingin Islam teror.”

Apa yang dikatakan teman saya ada benarnya juga. Di Indonesia, genealogi tindakan teror bom bunuh diri/penembakan di ruang publik bukan saja satu kali terjadi. Bom Bali sangat populer di seantero jagat. Tindakan itu pula, yang konon berdasarkan atas misi suci agama untuk menegakan “kebenaran” sekaligus “dakwah” penyadaran, namun tindakan ini dilarang oleh negara dan kemanusiaan.

Padahal, dalam sebagian teks suci keagamaan menyuratkan tindakan menyakiti dan merugikan orang lain—baik seagama atau beda tidak diperbolehkan begitu juga dengan nilai-nilai kemanusiaan.    

Pada sisi lain, dalam teori konflik dibenarkan bahwa membuat kegaduhan di ruang publik adalah strategi jitu untuk meraih perhatian semua orang. Pada sisi lainnya, tindakan itu dilakukan atas dasar “ideologi”.

Oleh karenanya, saya ingin melihat fenomena itu dalam kajian perkembangan evolusi genetika DNA ala Richard Brodie. Studi penggandaan ini akan lebih populer dengan sebutan meme. Seperti sebuah sel-sel yang digandakan. Apakah genetika Islam memang membuahi sel tindakan radikal itu? Ya, jangan-jangan itu benar tafsir atas kesalahkaprahan tentang jihad.

Untuk itu pula, tindakan teroris adalah suntikan gen “radikal” kepada seseorang dari sekumpulan orang yang memiliki kepentingan. Tindakan politis itu mengharuskan suntikan gen baru—yang sudah tersimpan lama untuk ia bertindak.

Misalnya, genetika jihad dalam agama (Islam) disuntikan dengan salah kaprah. Bahwa jihad yang paling mulia itu melakukan bom bunuh diri di tengah keramaian publik. Penyuntikan itu lewat sejumlah kata-kata dan imajinasi akan surga yang telah dijanjikan sekaligus jaminan bagi kehidupan keluarganya.

Boleh dikatakan bahwa tak ada manusia yang lahir sebagai teroris, namun desakan dari internal (diri) dan eksternal—lingkungan sosial membuat subjek (manusia) untuk berbuat teror tersebut.  Tindakan terorisme adalah evolusi genetika dari akal budi.

Setidaknya, tesis itu dapat dihubungkan dengan evolusi pikiran dari sebuah rahasia umum: pencucian otak. Dengan sah, kita boleh juga mengatakan bahwa itu sebagai hasrat hewani dari sisi humanistik. Para zoolog mengkategorikan akal budi hewani; fighting, fleeing, feeding, finding a mate (lawan, kabur, makan dan kawin).

Oleh karena itu sebagian besar kelompok tukang teror harus mampu mencuci otak si pelaku agar mau melakukan dengan bom bunuh diri di ruang publik. Jika tidak, mereka tidak akan berhasil menjalan misinya: menebar ancaman.

Sejalan dengan itu, kita bisa menyebut bahwa tak ada pelaku teror seorang bos atau pimpinan, yang ada hanya “anak buah” yang diprogram untuk melakukan tindakan mulia itu: jihad fi sabillah. Tentu saja berdasarkan otoritas teks suci agama dan historisitas perjuangan.  Dalam perjalanannya, pemograman hewani tidak jauh berbeda dengan para pelaku teror tersebut.  

 Namun, uniknya pula perlawanan dari masyarakat dilakukan dalam meme juga. Dari mulai tanda pagar sampai aksi turun ke jalan. Untuk media digital dengan secepat kilat gentika meme itu tersebar di dunia digital untuk melawan tindakan terorisme. Tanda pagar adalah salah satu penandanya.

Suntikan itu membuat sebagian besar nitizen mengetiknya dan mesin Google cepat membuat hastag itu populer. Dengan mengetik itu, kita akan terhubung dengan para pendukung gerakan itu. Jelas, dalam dunia teknologi ini kita sedang bertarung lewat meme yang tersebar luas semenjak pada zaman prasejarah. 

Dengan demikian kita tak bisa lepas dari kepungan meme. Buku Richard Brodie berjudul Virus Akal Budi yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (2005) dapat membaca genetika DNA tindakan teror sekaligus respon nitizen itu. Ia menyebutkan bahwa virus akalbudi menjejali akalbudi anda dengan meme—ide, sikap, dan kepercayaan—yang membuat apa yang anda capai dalam hidup ini sangat berbeda dari yang mungkin anda inginkan. 

Ia menyebutkan seluruh evolusi genetika kebudayaan kita dipengaruhi oleh meme. Sejalan dengan itu ia berpijak dari definisi Dawkins dalam bukunya The Extended Phenotype (1982), definisi meme, “meme merupakan unsur informasi di dalam akalbudi yang keberadaannya memengaruhi berbagai peristiwa sedemikian rupa sehingga tercipta lebih banyak salinan itu di dalam akal budi orang lain,“ (hlm 28).

Dengan demikian tindakan terorisme adalah salinan gen ke dalam akalbudi. Sekaligus dalam tindakan sosial, media digital mampu memprogram agar melawan tindakan keji tersebut. Oleh karena itu, dunia pendidikan, keluarga, pemerintah dan organisasi keagamaan harus memprogram meme yang lebih serius sekaligus humor untuk melawan tindakan teror. Tujuannya, agar membuat akalbudi kewargaan menjadi bijak bestari. 

Richard Brodie menganjurkan studi memetika. Ia menyebut itu sebagai metode ilmiah untuk memandang sesuatu. Memetika memandang gagasan—meme sebagai oknum-oknum (etnies) yang menonjol dalam persaingan memperebutkan akalbudi.