“Kalau sistem itu tak bisa diperiksa dan tak bisa dikritik, maka matilah Ilmu Pasti itu.” – Tan Malaka

Sudah menjadi rahasia umum bahwa makin banyak mahasiswa di berbagai perguruan tinggi melakukan kecurangan dalam menyelesaikan tugas dari dosen, entah itu tugas harian, kuis, Ujian Akhir Semester (UAS), bahkan saat skripsi. Demi mendapat nilai bagus, mahasiswa rela menggadaikan harga diri sebagai penggerak perubahan dengan praktik menyontek, copy-paste, serta kecurangan lain.

Anehnya, fenomena ini terjadi di universitas yang harusnya menjadi tempat penuh kultur akademik. Tentu ada yang salah dalam hal ini, entah dari mahasiswa, dosen, atau sistem yang berlaku di universitas. Sebelumnya, saya akan menceritakan kisah Socrates di academia yang menjadi inspirasi universitas untuk menjadi penegak kultur akademik.

Kata akademik berasal dari istilah Yunani academos atau academia, sebuah taman yang pernah digunakan oleh Socrates sebagai tempat diskusi, mencari kebenaran dari berbagai macam kebenaran subjektif. Dari sini, muncul istilah kultur akademik yaitu menjunjung tinggi kebebasan berpikir kritis, analitis, dan objektif. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan nasional yang tertuang dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003 yaitu demokratis dan tidak diskriminitif.

Dalam buku Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire, seorang penggiat pendidikan Brazil menyebut bahwa pendidikan perlu dipandang sebagai praktik kebebasan. Dalam karya yang lain, Freire juga menjelaskan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah untuk membebaskan manusia dari ketertindasan. Hal ini didasari observasinya di Guinea Bissau dan negaranya sendiri di mana masih banyak rakyat tertindas oleh penguasa.

Kondisi mahasiswa dewasa ini tak jauh berbeda dari gambaran rakyat tertindas yang disebut Freire. Mahasiswa menjadi objek yang wajib mengikuti setiap perintah dosen yang menjadi subjeknya. Sistem pendidikan yang feodal ini berdampak pada semakin hilangnya kultur akademik di universitas. Padahal seharusnya, praktik pendidikan harus egaliter, memosisikan semua setara.

Dosen perlu berbaur dengan mahasiswa dalam berdialog. Masing-masing perlu memosisikan diri setara satu sama lain karena semua memiliki takaran kebenaran subjektif yang perlu didialogkan. Dengan begitu, diharapkan muncul hasil dialog berupa kebenaran yang objektif.

Sistem yang berlaku di universitas semakin membuat mahasiswa terkekang. Mahasiswa dituntut mendapatkan nilai bagus dan wajib hadir maksimal 80 persen kehadiran agar lulus cepat. Pertanyaannya, apakah aktif di dalam kelas patut dijadikan ukuran kemajuan pendidikan?

Menurut saya, imbauan untuk lulus cepat didasari pemikiran komersial belaka. Mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan studi secepat mungkin agar bisa bersaing di dunia kerja. hal ini berdampak pada semakin pragmatisnya pemikiran mahasiswa serta berkurangnya mahasiswa yang mengikuti kegiatan di luar ruang kelas, seperti diskusi ilmiah dan bergabung dengan organisasi.

Contoh lain yang baru terjadi di salah satu kampus negeri di Jakarta, kritik Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus tersebut berujung pada ancaman drop out dari Rektor Yang Terhormat. Meski kisah tersebut berujung antiklimaks, namun cukup mengagetkan dunia pendidikan. Kebebasan mahasiswa dikebiri.

Padahal, kritik adalah hal yang wajar dalam lingkungan akademik seperti universitas. Jika tak ada kritik, yang salah akan tetap melakukan kesalahannya. Dampaknya, universitas menjadi mati dan tidak dinamis. Sejauh yang saya pelajari, hal ini mirip dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang cukup mematikan kebebasan mahasiswa kala itu.

Pembungkaman suara mahasiswa yang dikamuflase sebagai pendisiplinan perlahan akan menghilangkan kultur akademik di kampus. Jika penghuni universitas sudah menjadi antidialog dan antikritik, tujuan akademik untuk mengembangkan pengetahuan baru dan mencari kebenaran secara berkelanjutan akan stuck dan tidak akan tercapai.

Universitas, berdasarkan mandat pemerintah, sudah membentuk penghuninya menjadi antidinamis. Tak heran, mahasiswa yang masih berusaha untuk menghidupkan kultur akademik dianggap tidak normal dan harus dinormalkan. Semakin kritis mahasiswa, akan semakin memperpanjang durasi untuk berada di universitas. Hal ini dianggap sebagai penghambat kesuksesan setelah lulus.

Terlebih lagi, mahasiswa akan berpikir ulang untuk tetap menjadi idealis jika biaya untuk kuliah saja seakan mengusir mahasiswa untuk cepat-cepat hengkang dari kampus, apalagi bagi mereka yang bergantung pada beasiswa. Jika sudah demikian, universitas bukan lagi pembentuk pemikiran akademik, namun sebagai pencetak tenaga kerja saja.