Tulisan ini sebenarnya hanya tulisan iseng saja, yang sebenarnya terinspirasi oleh reaksi dari sebagian kelompok pendukung petahana, Joko Widodo, terhadap para pengusung capres dan cawapres fiktif Nurhadi-Aldo. 

Kelompok yang bereaksi tersebut menganggap bahwa gerakan yang dilakukan para pengusung Nurhadi-Aldo merupakan ajakan golput yang tersembunyi. Benarkah demikian?

Yang menggelikan adalah sikap politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko, dalam sebuah cuitannya di Twitter. Ia menganggap bahwa saat ini, ketika terjadi pertarungan antara capres progresif melawan capres konservatif radikal/rasis pada pemilu bebas, adalah sikap pecundang. 

Serangan terhadap sikap golput, dalam makna tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu 2019, juga gencar dilakukan oleh sebagian barisan pendukung Jokowi (Jokower) di media sosial. Apakah golput seperti yang dituduhkan oleh para Jokower? Untuk itu mari kita pahami terlebih dahulu golput itu apa.

Apa Itu Golput?

Jawaban dari pertanyaan tersebut sebenarnya bisa dibrowsing di internet dengan mudah, untuk mencari tahu apa itu golput, yang merupakan akronim dari Golongan Putih. Gerakan ini muncul pada tahun 1971, awal mula pemilu terjadi pada era Orde Baru.

Untuk membedakan diri dari Golongan Karya (Golkar), yang cukup dominan dalam Rezim Orde Baru, maka sebagian alumni gerakan mahasiswa 1966, yang ikut andil dalam penggulingan Bung Karno, menggagas sebuah gerakan untuk mencoblos bagian putih pada kertas suara. 

Untuk lebih lengkapnya bisa dibaca dalam artikel yang berjudul Ini Asal Muasal Munculnya Istilah Golongan Putih, yang ditulis oleh Lucia Vania (IDN Times, 2018).

Seorang sejarawan, M.C. Ricklefs, bahkan mencatat dalam bukunya yang berjudul A History of Modern Indonesia Since c. 1200 bahwa saat itu Ali Murtopo, petinggi intelijen militer di belakang layar Rezim Orde Baru, Amir Machmud (salah seorang menteri Orde Baru kala itu), dan Komando Pemulihan Kemanan dan Ketertiban (Kopkamtib), ditugasi untuk memenangkan Golkar pada pemilu 1971. 

Caranya dengan memindai semua kandidat dari seluruh partai politik, kemudian kandidat-kandidat yang dianggap tak bisa dipercaya, didiskualifikasi (kurang lebih 20% kandidat yang didiskualifikasi). Kedua, dengan datang langsung ke desa-desa memengaruhi warga desa secara paksa dan intimidatif untuk memilih Golongan Karya (Golkar).

Pada pemilu 1971, pengusung gerakan Golput bukan berarti tidak memilih dan tidak datang ke tempat pemungutan suara, melainkan tetap datang tapi merusak kertas suara, dengan hanya mencoblos bagian putih dalam kertas suara. Karena itu, gerakan Golput pada pemilu 1971 di Indonesia pada dasarnya adalah gerakan boikot pemilu secara halus.

Apa sih bedanya gerakan Golput dan boikot pemilu?

Gerakan Boikot Pemilu

Selanjutnya mari kita bahas lebih dalam apa yang disebut sebagai gerakan boikot pemilu tersebut. Di Indonesia, sebenarnya, boleh dikata sangat jarang terdapat kelompok atau individu yang berani mengusung sikap boikot pemilu.

Mungkin hanya Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai yang dulunya pernah diketuai oleh Budiman Sudjatmiko ini dalam sejarah pernah menyuarakan sikap boikot pemilu. Hal tersebut tertuang dalam sebuah pernyataan sikap Komite Pimpinan Pusat (KPP) PRD, yang bertanggal 25 Maret 1997. 

Pernyataan sikap tersebut diatasnamakan Mirah Mahardika, nama samaran pimpinan PRD kala itu. Beberapa poin tuntutan yang diusung antara lain adalah upah 7.000, turunkan harga, boikot pemilu, partai baru, presiden baru, dan referendum untuk rakyat Maubere (Timor Leste).

Pasca kejatuhan Suharto, atau pada era Reformasi, PRD awalnya memprotes keikutsertaan partai penguasa Orde Baru dalam Pemilu 1999. Ini terlihat dalam demonstrasi yang terkenal dengan nama "Aksi KPU Berdarah", 1 Juli 1999. 

Video aksi demonstrasi lengkapnya bisa dilihat di YouTube pada video yang berjudul Sejarah Perlawanan PRD 1999. Plus, dalam video itum kalian juga bisa lihat penggalan orasi Andi Arief yang berapi-api sewaktu masih jadi kader PRD yang progresif dan revolusioner. 

Dalam aksi tersebut, PRD menuntut KPU untuk mendiskualifikasi Partai Golkar sebagai salah satu peserta Pemilu 1999. Akibatnya, sebagian besar peserta aksi tersebut dihajar aparat kepolisian saat itu. Tak sedikit demonstran yang mengalami luka-luka karenanya.

Pada perkembangan berikutnya, PRD, yang sebelumnya menyuarakan boikot pemilu, beralih arah menjadi peserta Pemilu 1999. Entah karena era kediktatoran sudah resmi berakhir pasca tumbangya Suharto, atau karena ingin menampilkan secara legal organ dan struktur partai. Yang jelas, slogan PRD pada Pemilu 1999 sekilas kelihatan kontradiktif, yaitu “Boikot Pemilu atau Coblos PRD”.

Kurang begitu jelas apakah ada kursi yang mereka dapat di legislatif sebagai hasil dari keikutsertaan mereka pada pemilu tersebut atau tidak.

Hal yang belum begitu terjawab adalah pertanyaan apa sih Gerakan Boikot Pemilu? Menurut Gene Sharp (1998), dalam artikel yang berjudul Boycott of Elections, tujuan dari Gerakan Boikot Pemilu adalah untuk memprotes pemilu yang pada dasarnya hanyalah suatu penipuan terhadap rakyat. 

Selain itu, untuk mencegah supaya persoalan yang disuarakan oleh kelompok-kelompok oposisi tidak dikaburkan oleh persoalan-persoalan lain yang tidak esensial. Gerakan Boikot Pemilu juga bisa berupa seruan untuk mendelegitimasi (menghapuskan keabsahan) pemerintahan yang terpilih (lokashakti.org).

Jadi, pada dasarnya, Gerakan Boikot Pemilu bukan hanya sekadar tindakan untuk tidak berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum, melainkan adalah sebuah gerakan protes terang-terangan terhadap pemilihan umum yang curang. Bahkan setelah pemerintahan hasil pemilu terpilih pun, gerakan tersebut bisa dilanjutkan dengan gerakan delegitimasi pemerintahan terpilih yang dikuasai oleh para pemenang pemilu.

Dalam sejarah politik Indonesia, memang belum ada suatu gerakan yang benar-benar konsisten untuk memboikot pemilu. Bahkan partai politik yang awalnya menyerukan boikot pemilu, pada perkembangannya kemudian tetap ikut pemilu. 

Walaupun tetap mencantumkan kata “Boikot Pemilu” dalam slogan partainya, akan tetapi, secara esensial, parpol yang bersangkutan tetap berpartisipasi dalam pemilu borjuis. 

Mungkin karena sikap yang kontradiktif ini, pemilu sebagai salah satu alat politik tidak berhasil dimanfaatkan oleh PRD. Partai tersebut juga tidak mengalami pertambahan massa dan kader yang signifikan. Terakhir, pada Pemilu 2019, tak ada nama PRD dalam daftar parpol peserta pemilu.

Aturan Hukum bagi Golput, Penyeru Golput, dan Gerakan Boikot Pemilu di Indonesia

Untuk tindakan golput, dalam makna tidak menggunakan hak pilihnya, sebenarnya tidak dilarang secara hukum. Hal yang dilarang dan diancam pidana dalam Pasal 308 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah:

"Tindakan yang menggunakan kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, mengganggu ketertiban dan ketentraman pelaksanaan pemilu, serta menggagalkan pemilu."

Artinya, aturan hukum tersebut pada dasarnya lebih kepada melarang Gerakan Boikot Pemilu. Karena aksi menghalangi dan memaksa seseorang untuk tidak memilih, serta menggagalkan pemungutan suara, adalah esensi dari Gerakan Boikot Pemilu.

Oleh karena itu, bagi para pendukung Nurhadi-Aldo, tak usah takut dituduh mengajak golput oleh para pendukung capres tertentu. Selama kalian tidak memaksa orang untuk tidak memilih dan menggagalkan pemilu, apa yang kalian lakukan bukanlah sebuah pelanggaran hukum.

Bahkan sejujurnya, orang yang menuduh kalian mengajak golput adalah orang yang sebenarnya mengajak orang lain untuk golput. Karena dengan demikian, yang bersangkutan secara tidak langsung telah mewacanakan dan menyerukan golput. 

Tambahan juga, jika para pendukung Nurhadi-Aldo jengkel karena dituduh yang tidak-tidak, dan pada akhirnya memutuskan untuk golput, maka yang nuduh sama saja telah menginspirasi orang yang tidak ingin golput menjadi golput. Hal yang setali tiga uang dengan ajakan golput itu sendiri.

Bagi orang atau kelompok yang ingin mengusung Gerakan Boikot Pemilu di Indonesia (yang saya yakin tak ada yang bakal berani), kalian harus siap dengan konsekuensi hukum dari tindakan kalian. Untuk sanksi hukum bagi orang atau kelompok yang mengajak orang golput adalah pidana kurungan paling lama 2 sampai 3 tahun dan denda sebanyak-banyaknya 24 juta sampai 36 juta rupiah (Lia Hutasoit dalam https://idntimes.com/).

Akhir kata, dalam menyikapi Pemilu 2019, setiap orang dan kelompok tentu memiliki sikap yang berbeda-beda, baik itu ikut menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon anggota legislatif, maupun calon presiden tertentu, atau bahkan tidak memilih sama sekali alias golput. Semua itu sebenarnya adalah hak asasi setiap individu yang tak boleh diganggu gugat oleh pihak lain. 

Bagi kelompok atau individu yang pada akhirnya memilih untuk bersikap boikot pemilu, dalam artian tak hanya tidak menggunakan hak pilihnya, tetapi juga menggagalkan pelaksanaan pemilu secara keseluruhan, harus siap dengan konsekuensi hukum dari tindakannya. Karena pada dasarnya hidup itu adalah pilihan, dan setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi tersendiri.