Mari kita bicara tentang buku. Jika mendengar kata “buku”, apa yang terbayang di pikiran Anda? Apakah itu sebuah benda kumpulan kertas-kertas bertulisan yang disatukan? Ataukah ia kumpulan gagasan seseorang yang dipresentasikan lewat tulisan?

Dilema itulah yang saya kira muncul dari kata itu. Kosakata bahasa Arab “kitab” dan Inggris “book” digunakan dengan cara yang sama seperti kata “buku” dalam bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa tersebut mengalami persoalan yang serupa.

Anda mungkin akan berdalih, “ah, makna bisa kita ketahui dari struktur kalimat yang memuat kata ‘buku’. Kita bisa kok memahami perbedaan antara kalimat ‘ambilkan buku di rak itu’ dan ‘Budi menerbitkan buku karyanya sendiri’.”

Namun “makna ganda” yang dikandung “buku” pernah menjadi perdebatan dalam hukum Islam, yakni perihal bolehkah seseorang menyentuh apalagi memegang al-Quran tanpa bersuci? Satu pihak berfatwa tidak boleh, karena al-Quran itu buku/ kitab suci berisi firman-firman Tuhan yang suci. Ayat al-Quran sendiri menegaskan ia tidak disentuh kecuali orang-orang yang tersucikan (QS. al-Waqi’ah: 79).

Pihak lainnya menyatakan boleh, sebab yang dimaksud al-Quran bukanlah barang hasil tulisan atau cetakan yang tertindih barang-barang lain di dalam kargo kapal saat didistribusikan lalu diperjualbelikan. Al-Quran adalah firman atau gagasan Allah itu sendiri, bukan wujudnya sebagai barang. Sementara maksud ayat di atas adalah bahwa al-Quran itu murni, tidak diubah oleh syaitan-syaitan yang mencoba menguping saat Allah mewahyukannya.

Perselisihan itu berhulu dari makna al-Quran sebagai sebuah kitab atau buku. Makna membentuk kesadaran, demikian ungkap banyak filsuf, dan kesadaran mendasari tindakan. Mengingat bahasa kita terlanjur menggunakan kosakata yang sama, kita perlu memahami realitas yang melingkupi masing-masing makna guna mengatasi problem jarak ini, lalu mengambil keputusan manakah esensi yang membentuk kesadaran kita (Lihat Bordeau dan Zizek, 2021).

Lalu realitas apa yang melingkupi kata “buku”? Seperti telah disebutkan di awal, ia punya makna ganda: sebagai barang di satu sisi dan sebagai muatan gagasan pengarangnya di sisi lain. Dalam bahasa kita, “buku” meliputi bendanya dan isinya, seumpama gelas dan airnya (analogi yang sebenarnya kurang tepat sebab kita meminum airnya, bukan gelasnya).

Untuk mengurai kata “buku” dalam dimensi bendanya dan isinya, saya akan meminjam istilah-istilah metafisika, yaitu “aktualitas” dan “potensialitas”. Segala sesuatu mengampu aktualitas dan potensialitas. Hal ini telah banyak dijelaskan dalam khazanah filsafat.

Ambillah contoh benih. Ia aktual, nyata, kini dan di sini. Tapi ia berpotensi menjadi pohon atau tumbuhan. Pohon itu sendiri nantinya aktual, tapi juga punya potensi menghasilkan buah-buahan. Demikianlah takdir segala yang ada sebagaimana ditetapkan Sang Ada.

Demikian pula buku menyandang aktualitas dan potensialitas. Sebagai benda atau barang ia aktual. Lembar-lembar terbundel itu nyata senyata kita memegangnya, menaruhnya di rak buku, membaca tulisan-tulisan di atas kertas-kertasnya.

Namun di sisi lain, buku memiliki potensialitas pada wujudnya sebagai kumpulan gagasan pengarang. Pada taraf ini buku berpotensi menjadi gagasan baru dalam jiwa si pembaca, entah itu berupa pemahaman, penafsiran, ataupun pembongkaran terhadap nalar si pengarang.

Dari ini kita mesti menempatkan buku dalam kesadaran kita, apakah ia aktual ataukah potensial. Masing-masing kedudukan itu tentu punya konsekuensi sendiri-sendiri.

Pada aktualitasnya buku adalah benda nyata dengan dimensi-dimensi fisiknya (panjang, lebar, tebal, dan lain sebagainya) dan aksara-aksara yang tertulis di atas kertas-kertasnya. Bila ini yang muncul dalam kesadaran, kita akan menyikapinya sebagai benda pula.

Kita mungkin akan mengoleksi buku, membuka halaman-halamannya dan membaca tulisan-tulisannya, tapi cuma itu. Mungkin kita juga akan berupaya memahami isinya, merangkum atau memetakan pikiran (mind-mapping) penulisnya. Tapi semua itu tak lain demi menggugurkan kewajiban-kewajiban (administrasi) akademik kita.

Boleh jadi kita merayakan buku dan membuat upacara-upacara perayaan. Kita akan membangun perpustakaan-perpustakaan, mengisinya dengan ragam koleksi buku. Kita juga akan mengampanyekan literasi dan menggelar kegiatan-kegiatan bernuansa literasi. Tapi (lagi-lagi) cuma itu, tak lain hanya seremoni, yang bila kegiatan usai buku-buku kembali jadi penghias lemari.

Hari ini ramai pula orang menulis buku, maksudnya membuat karya tulis berupa buku. Namun sebagian (tentu tidak semua) karya itu lahir terburu-buru. Kalau bukan karena tuntutan kredit akreditasi, boleh jadi demi pemenuhan eksistensi diri. Jika sudah seperti itu, bukan tak mungkin “si penulis” perlu jasa joki, seperti yang terungkap baru-baru ini.

Kesadaran kita terhadap buku, dengan demikian, tidak cukup pada aktualitasnya saja. Buku harus kita sadari potensialitasnya, bahwa buku punya potensi menghasilkan suatu perubahan, baik pada diri kita maupun masyarakat kita.

Potensi itulah yang terkandung dalam gagasan-gagasan yang dipresentasikan pengarang dalam buku yang ia tulis. Dalam konteks ini buku bukan sekedar dikoleksi, dibaca dan dirayakan, melainkan bagaimana bacaan kita menghasilkan suatu perubahan dalam jiwa.

Perubahan tersebut mungkin berupa pemahaman yang utuh terhadap gagasan pengarang. Atau lebih jauh lagi, penafsiran baru. Membaca buku dapat memperluas pemahaman kita dengan menafsirkan gagasan pengarangnya dan mencocokkan gagasan tersebut dengan konteks realitas kita. Pemahaman dan penafsiran itu nantinya akan mengubah perilaku kita, sebagaimana begitulah definisi belajar yang sesungguhnya: perubahan perilaku.

Boleh jadi pula kita membongkar gagasan si pengarang yang termuat di dalam buku. Membongkar di sini berarti memahami gagasan pengarang secara kritis. Setelah bangunan gagasan itu dibongkar, kita kemudian menyusun gagasan baru yang orisinil.

Dengan berpijak pada potensialitas buku, bahwa buku bukan sekedar benda melainkan kumpulan gagasan, definisi belajar akan semakin luas. Belajar bukan cuma memahami, tapi juga bersikap kritis terhadap gagasan-gagasan. Hingga akhirnya, membaca buku bukan hanya mengubah perilaku, tapi juga melahirkan manusia-manusia baru.

Demikian pula ketika kita membuat karya tulis berupa buku. Menulis buku hendaknya bukan hanya memenuhi kewajiban dan mengejar capaian akreditasi dan duniawi, tapi berupaya mengubah dunia, memberi inspirasi dengan merasuki jiwa para pembaca, meninggalkan warisan terbaik buat anak-cucu kita. 

Jadi apa yang terbayang di benak Anda saat mendengar kata “buku”?[]