Entah apa yang ada dalam benak Hanifan Yudani Kusumah saat itu. Setelah meraih medali emas atas kemenangannya melawan pesilat Vietnam, Nguyen Thai Linh, Hanifan langsung berkeliling arena sambil membawa bendera Merah-Putih, lalu menyambangi area kursi VVIP.
Hanifan mengulurkan tangan dan bersalaman dengan sejumlah tokoh publik, termasuk Jokowi. Setelah itu, Hanifan menyalami dan memeluk Prabowo Subianto, lalu mengajak Jokowi dan Prabowo berpelukan.
Saya, yang menyaksikan peristiwa itu melalui layar kaca, merinding sekaligus haru pada saat yang sama. Saya tak tahu kapan peristiwa-peristiwa seperti ini akan kembali terulang. Sungguh, peristiwa ini akan selalu dikenang sepanjang sejarah politik Indonesia, yang kerap diselimuti konfrontasi dan gesekan politik elite daripada rekonsiliasi keduanya.
Peristiwa berpelukannya Jokowi dan Prabowo kemarin telah menggeser dominasi perang tagar antara #2019GantiPresiden versus #Jokowi2Periode, Cebong versus Kampret, dan slogan-slogan politik apa pun, yang, dalam garis politik, niscaya berseberangan.
"Sensasinya terharu. Pertama-tama, saya kenapa harus mempererat seperti itu, karena Indonesia harus saling menghargai karena banyak di medsos kan saling mencerca Prabowo-Jokowi. Tapi sisi lain tidak seperti itu. Makanya, dengan pencak silat (sebagai) budaya bangsa Indonesia, saya mempererat silaturahmi kita," ujar Hanifan pada awak media.
"Biar tahu masyarakat Indonesia, Prabowo dan Jokowi tidak ada apa-apa. Hanya itu orang-orang yang sirik karena kesuksesan mereka. Saya sebagai insan silat Indonesia bahwa silat itu artinya silaturahmi. Jadi kita harus jaga, menjaga hati kita sama-sama. Kita satu bangsa, satu negara, masa kita harus terpecah-belah karena hal tidak penting," lanjut Hanifan.
Dalam artikel yang bertajuk Peace Building Through Sport? An Introduction to Sport for Development and Peace, Alexander Cárdenas mencoba untuk mendedah bagaimana olahraga mampu menengahi konflik dan mencipta perdamaian setelahnya.
Sesungguhnya, ide-ide bahwa olahraga dimanfaatkan sebagai medium perdamaian bukanlah suatu hal yang benar-benar baru. Jika kita mau melacak mundur, olahraga sebagai medium perdamaian ada pada masa Yunani Kuno, ketika dua raja di wilayah Olympia, Iphitos dan Cleomenes, menyelenggarakan Olimpiade yang dimaksudkan untuk menghentikan sementara perang antarnegara kota Peloponnesia selama perayaan berlangsung.
Sepanjang Olimpiade digelar, penonton, atlet, dan seniman dapat melakukan perjalanan ke Olimpiade dan kembali ke tempat asal mereka dengan jaminan pengawasan keamanan.
Contoh lain ketika olahraga mampu mengurangi risiko konflik yang lebih besar, misalnya terjadi ketika Christmas Truce, serangkaian gencatan senjata Perang Dunia I antara Inggris, Perancis, dan Jerman di Front Barat menjelang Natal 1914.
Perang kedua belah pihak memasuki sedikit jeda ketika para pemimpin perang merumuskan kembali strategi mereka setelah pertempuran pertama Ypres menemui jalan buntu. Pada saat itu, kedua pihak yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan kontak senjata dengan menggelar pertandingan sepak bola antarprajurit demi perayaan Hari Natal.
Pada malam menjelang 25 Desember 1914, tentara Prancis dan Jerman menyeberangi sungai, pergi ke tanah tak bertuan untuk berkumpul, saling bertukar makanan dan cindera mata. Sungguh, Christmas Truce adalah potret perdamaian terbaik sepanjang sejarah perang dunia.
Olahraga memiliki kekuatan untuk memotivasi dan menginspirasi di satu sisi, sekaligus juga simbol identitas nasionalisme di sisi yang lain. Dalam sebuah wawancara, ketika reporter menanyakan pada Hanifan Yudani Kusumah tentang apa yang memotivasi sehingga cabang pencak silat mampu mendulang 14 emas, ia menjawab: "mungkin itu hasil dari motivasi dicaci maki di (SEA Games 2017) Malaysia, ya."
Masih segar dalam ingatan, tahun lalu, dalam SEA Games yang dihelat di Malaysia, kontingen pencak silat Indonesia begitu sering diperlakukan secara tidak adil (dicurangi) dalam beberapa kesempatan.
Dalam cabor pencak silat artistik ganda putra, misalnya, pasangan ganda putra Indonesia, Hendy dan Yolla Primadona Jumpil, harus rela meraih medali perak setelah wasit memberikan angka 582 kepada pasangan tuan rumah Mohd Taqiyuddin bin Hamid dan Rosli bin Mohd Sharif.
Nilai itu melampaui perolehan Hendy dan Yolla yang hanya mendapat angka 554. Manajer tim pencak silat Indonesia, Eddy Prabowo, menilai bahwa poin pasangan pemain tuan rumah itu janggal karena nilai sebesar itu belum pernah diberikan di nomor ganda. Menurutnya, poin tertinggi yang pernah diberikan hanya sampai 570 -sebuah poin sempurna yang belum pernah ada dalam sejarah.
Ekspresi kekesalan diperlihatkan Hendy dengan membanting ikat kepala yang dikenakan saat berlomba. Dia sedih melihat lawan yang dianggap tidak tampil sempurna bisa meraih nilai sempurna. Di belakang arena, Hendy dan Yolla menangis. Eddy Prabowo pun sampai-sampai harus memenangkan keduanya, memotivasi, mendoakan dan mendukung pemain terbaik yang pernah menjadi juara bertahan SEA Games itu.
Kali ini, tidak dalam level SEA Games, tetapi ASIAN Games, Hanifan, Wewey Wita, Pipiet Kamila, Sugianto, Abdul Malik dan seluruh kontingen pencak silat Indonesia telah membuktikannya. Tentu saja, ini berkat olahraga.
Suatu hal yang lumrah bahwa olahraga ditemui dan hadir di hampir setiap elemen masyarakat. Popularitas olahraga sesungguhnya telah menerabas batas garis politik, ras, etnis, nasional dan ideologis dan dinikmati oleh penonton dan peserta secara bersamaan. Dalam kasus Indonesia, bulutangkis sesungguhnya punya peran yang teramat penting dalam mendobrak sentimen rasialisme pribumi-non pribumi ketika narasi tersebut ditarik kedalam kontestasi politik.
Hal ini terbukti, misalnya, dalam all indonesian final cabang bulu tangkis ganda putra kemarin (28/8). Dua ganda putra terbaik tanah air, Fajar Alfian/Muhammad Rian dan Marcus Gideon/Kevin Sanjaya, menampilkan permainan yang memukau.
Sesungguhnya, mereka telah membungkam sentimen primordial yang telah lama tumbuh dalam benak masyarakat kita. Keduanya adalah konfigurasi dari dua sentimen yang selama ini berkembang: Islam/Kristen, Pribumi/Non Pribumi.
Dalam perjalanannya menuju final, dua pasangan ini mampu menaklukan lawan-lawan kelas dunia. Kedua pasangan ini tak kuasa meneteskan air mata mereka tatkala lagu Indonesia Raya berkumandang di podium Istora Senayan. Lagi-lagi, ini semua berkat olahraga.
Apa yang terjadi belakangan ini mengingatkan saya pada kata-kata Zen RS: "Tanah air kita ini, kawan, tidak hanya basah oleh darah para pejuang yang mempertahankan kemerdekaan, namun juga lembab oleh darah yang tumpah karena prasangka: karena dituduh komunis, karena dituduh teroris, karena didakwa separatis, karena disangka pengkhianat, karena imannya difatwa sesat, karena Madura dan Dayak, karena dianggap Islam atau Kristen, karena dianggap Papua atau Melayu, dan karena-karena yang lain, yang berderet-deret panjangnya....
Bulutangkis mengajarkan kita semua: setiap orang pada dasarnya bisa menjadi pahlawan. Bulutangkis juga mengajarkan kita semua: setiap orang dapat memberikan yang terbaik, yang terhebat, bagi tanah airnya. Dan semogalah bulutangkis juga dapat mengajarkan: bahwa penjahat itu lintas-ras dan lintas-etnis, dan para bajingan bisa dan terbukti dapat berasal dari kelompok mana pun."
Kepada segenap rakyat Indonesia, mari kita nikmati apa-apa yang akan ditampilkan putra-putri terbaik kita dalam ajang Asian Games kali ini. Singkirkan sejenak desas-desus politik, sentimen ras, suku, agama, dan segala apa yang telah membelah kita hingga hari ini.
Semoga saja, kita tak akan pernah kembali mempersoalkan: Zohri yang enggan untuk diwawancara karena dia akan salat; Jojo yang mengucap puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus saat diwawancara, Lindswell Kwok, Butet, Kevin, dan Marcus adalah seorang Tionghoa.
Dan semoga saja: kita akan selalu terharu melihat Ginting berjuang mati-matian sampai dia cedera, dan merinding ketika Hanifan mampu mempersatukan Jokowi dan Prabowo dalam pelukan. Kepada olahraga, kita semua berutang budi.