Sebelum menuju ke dalam tema yang akan kita bahas, perlu juga kita mengenal siapakah Syu’bah Asa itu? Syu’bah Asa merupakan seorang sastrawan, novelis, esais, penerjemah, seniman dan wartawan senior Indonesia. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana muda di IAIN Sunan Kalijaaga Yogjakarta. 

Menjadi redaktur TEMPO pada sejak tahun 1971 hingga 1987 sebelum pindah ke Editor pada 1987 hingga 1988. Ia aktif di Teater Muslim dan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1950-1969. Pada era 1970an Ia juga pernah menjadi aggota Dewan Kesenian Jakarta.

Sebagai penulis Ia banyak mengirim karya ke berbagai majalah, seperti Horison, Pandji Masjarakat, Sastra, Tempo, Gema Islam, Minggu Pagi, dan Waktu. Selain itu Ia juga merupakan seorang Mufassir dan mempunyai buku tafsir yang diberi nama Dalam Cahaya Al-Qur’an.

Secara umum ada empat topik yang dibahas oleh Syu’bah dalam buku tafsirnya, yaitu masalah penegak keadilan, pelanggaran HAM, praktik korupsi, dan praktik keberagamaan yang berupa gincu. Empat topik itu dipilih dalam tulisan ini karena terkait erat dengan problem sosial politik yang terjadi di era rezim Orde Baru. Ursaian berikut adalah tentang keempat topik tersebut.

1. Penegak Keadilan

Sebagai salah satu bendera gerakan reformasi di penghujung kekuasaan rezim Orde Baru, isu penegakan keadilan diangkat tinggi-tinggi oleh para aktifis, LSM, wartawan, intelektual, dan agamawan. Perlu disadari karena pada masa ini penegak keadilan terasa tumpul ketika berhadapan dengan pejabat dan penguasa. Syu’bah membahas tema keadilan ini dalam lima artikel tafsir, yaitu “Keadilan dan kesaksian Allah”, “Apa yang Disebut Adil”, “Keadilan atau Kehancuran”, “Keadilan dan Kebencian”, dan “Keadilan dan Mantan Presiden”. Hal ini membuktikan bahwa Syu’bah menaruh perhatian khusus pada penegak keadilan.

Ketika keadilan dibahas dalam wacana teologi klasik, selalu yang muncul adalah diskusi yang membahas keadilan Tuhan, bukan keadilan manusia di bumi. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana keadilan itu menjadi hidup dan bisa dirasakan dalam kehidupan umat manusia di bumi.

Disinilah kemudian Syu’bah menarik masalah tentang keadilan dalam kehidupan yang nyata. Ia menjelaskan tentang “Apa yang disebut Adil” ketika mengulas kandungan QS. Al-Nahl ayat 90 :

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan sikap adil dan kebajikan dan pemberian bantuan kepada karib kerabat, serta mencegah perbuatan keji dan kemungkaran dan laku angkara. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran.”

Menurut Syu’bah keadilan merupakan masalah utama di dalam kehidupan manusia. Ia mengatakan bahwa banyak syarat yang mesti dipenuhi oleh seorang pemimpin negara yang akan mengawal keadilan. Merekalah, dengan kekuasannya, yang akan mengelola pemerintahan. 

Mereka selayaknya merupakan pribadi-pribadi yang berada dalam cahaya akal budi, sehingga menegakkan keadilan bukan atas kebencian dan golongan, suku ras dan agama. Mulai dari ini Syu’bah mulai mengkritik praktik politik rezim Orde Baru yang mempermainkan keadilan, karena kebencian dan kepentingan golongan.

2. Kekuasaan dan Pelanggaran HAM

Topik kedua yang dibahas Syu’bah adalah soal dominasi kekuasaan rezim Orde Baru yang melahirkan kekerasan dan pelanggaran HAM. Atasnama stabilitas sosial politik rezim Orde Baru di bawah kendali Soeharto yang mengebiri kekuatan-kekuatan politik, baik yang dikaitkan dengan PKI atau kekuatan yang saat itu dianggap mengganggu bagi eksistensi kekuatannya. Ketika menjelaskan tentang kandungan  QS. Al-An’am ayat 65 misalnya, sikap Syu’bah yang tampak kuat dan logis.

Katakanlah, “Dialah yang berkuasa mengirim kepada kamu hukuman dari atas kamu dan dari bawah kamu, atau mengacaukan kamu dengan situasi bersyi’ah-syi’ah dan membuat sebagian kamu merasakan keganasan sebagian yang lain” lihatlah, bagaimana kami pertukarkan berbagai tanda agar mereka paham.

Ayat ini membahas tentang hukuman atau siksaan Allah yang ditimpakan kepada umat manusia yang melakukan pembangkangan. Allah menurunkan hukuman itu dari atas, dari bawah atau dengan mengacaukan mereka dengan situasi sosial yang bercerai-cerai sehingga mereka saling melakukan kekerasan. Konteks ini lalu dibawa Syu’bah asa ke dalam ruang ke-Indonesia-an.

Syu’bah mengingatkan kita bahwa rezim Orde Baru telah melakukan praktik politik yang tidak menghormati hak asasi manusia. Ribuan orang, dengan sengaja tidak diberi kesempatan untuk bekerja di birokrasi pemerintah, karena dianggap tidak bersih lingkungan alias orang tua, kerabatnya pernah menjadi aktivis atau setidak-tidaknya simpatisan PKI yang di klaim berdosa kepada negara karena dituduh melakukan kudeta pada peristiwa 1 Oktober 1965. Hal ini masih beruntung, bila tidak dibuang ke pulau Buru, atau dijebloskan ke dalam bui, tanpa proses hukum yang jelas.

3. Praktik Korupsi di Tubuh Birokrasi

Birokrasi yang gemuk dan tidak efisien yang dibangun oleh rezim Orde Baru telah membuka lahan subur praktik korupsi. Ketika menguraikan QS. An-Nisa ayat 135 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan sebagai saksi karena Allah, walau terhadap diri sendiri atau kedua orang tua dan sanak kerabat,” ayat yang berbicara tentang penegakan keadilan, Syu’bah mengaitkannya dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat tinggi di era rezim Orde Baru.

Kasus-kasus korupsi terjadi salingkait dengan praktik-praktik suap yang melibatkan para pejabat, dari kelurahan hingga jajaran menteri. Syu’bah dengan transparan mengurai kasus suap ini ketika membahas ayat tentang kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, yang menurutnya sebagai pusdiklat yang melahirkan sifat amanah.

Praktik korupsi dan suap tersebut terkait erat dengan sistem perekonomian yang dibangun rezim Orde Baru ketika itu. Pertumubuhan ekonomi lebih sering ditampilkan dengan hitungan angka-angka untuk menunjukkan peran pemerintah dalam membangun kesejahteraan rakyat, tetapi angka-angka itu seringkali tidak mewakili pertumbuhan ekonomi secara merata. 

Hal ini terjadi karena memang pertumbuhan ekonomi tidak identik dengan pemerataan ekonomi dan sistem perekonomian yang memusat yang ditopang dengan praktik monopoli dan ekonomi perkoncoan serta kerabat yang dipraktikan rezim Orde Baru.

4. Praktik Keberagamaan yang Berupa Gincu

Dalam berbagai kasus sosial politik yang ber keadilan dan kemanusiaan pada era rezim Orde Baru di atas, di mana suara moral para agamawan? Itulah pertanyaan Syu’bah Asa dalam karya tafsirnya. Ketika saluran resmi dalam, seperti lembaga DPR, hukum telah dikuasai oleh kekuasaan eksekutif, semestinya suara-suara para agamawan dan aktivis demokrasi dan kemanusiaan berteriak bersama-sama untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan. 

Namun, kekuatan agama, melalui praktik-praktik ritualnya pada rezim Orde Baru menurut Syu’bah justru malah terjebak pada ruang simbiolisme yang dipraktikan para pemeluknya. Pandangan ini terlihat ketika Syu’bah asa dalam menguraikan QS. AL-Anfal ayat 25. Disinilah Syu’bah asa dengan lugat mengkritik para agamawan. “Dan peliharalah diri kalian dari bencana yang tidak sekali-kali hanya akan menimpa orang-orang yang akan kamu aniaya. Ketahuilah bahwa Allah keras dalam hal siksa.

Makna fitnah dan bencana yang dikatakan di atas oleh Syu’bah dijelaskan dalam konteks faktor sebab dari meluasnya bencana yang dikatakan di atas, tidak hanya menimpa orang-orang yang kamu aniaya. Memelihara seperti yang dimaksud di atas merupakan kesadaran memelihara dari kemungkinan fitnah dengan mewaspadai faktor-faktor yang menjadi penyebab. 

Terkait dengan ini, berbagai represi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru menurut Syu’bah juga bagian dari bentuk ketidakmampuan umat beragama (Islam) di dalam merefleksikan ruh agama dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai kegiatan ibadah ritual tidak tidak mempunyai makna bagi kehidupan sosial.

Bagi Syu’bah, Islam sebagai agama idealnya dijadikan ruh dari gerakan kritik terhadap rezim yang otoriter dan menindas, namun dengan “cap Islam” ala Soeharto yang mendahului menelikung kesadaran para agamawan.

Syu’bah dengan sejumlah pengalaman yang dimilikinya, bukan hanya mengkritik otorisme rezim Soeharto, tetapi juga menunjukkan kepada kita betapa agama (Islam) ketika itu telah kehilangan Clan Vital, justru ditangan para pemeluknya sendiri. Agama sebagai sistem moral, telah tercabut dari ruang sosial politik, yang semestinya punya peran transformatif dan signifikan bagi perubahan menuju Indonesia masa depan yang bermartabat, beradap, dan berkeadilan.