Asumsi pribadi sebenarnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa memang masyarakat telah memasuki era-media. Dapat dilihat disekitar kita, atau bisa dicontohkan teman-teman mahasiswa saya atau dosen yang tidak pernah lepas dari smartphone-nya. Kemudian jika melihat media, tentu luas interpretasi subyek ini. Pada masyarakat sekarang ini, disetiap rumah mempunyai televisi atau juga di setiap balai, warung dan lain tempat-tempat berkumpulnya masyarakat mempunyai media yang digunakan untuk mendapatkan informasi.

           Berbicara terkait Elektoral DKI Jakarta, sangat hangat dan menarik untuk menuangkan opini terutama mengenai dampak media terhadap masyarakat. Dalam Elektoral, tentu tidak asing berbicara terkait konstituen atau pemilih. Lebih lanjut ada sebuah istilah Kampanye Politik dan Kampanye Pemilu dalam buku Marketing Politik, Karya Prof Firmanzah yang dapat dikorelasikan.

            Kampanye Politik, merupakan agenda dimana para aktor politik, entah calon maupun partai mem-branding dirinya untuk dapat dikenal yang nantinya akan dipakai sebagai modal melawan Petahana maupun untuk Petahana sendiri. Kemudian, Kampanye Pemilu, ialah sama halnya diatas namun ada waktu-waktu yang ditentukan Lembaga Penyelenggara Pemilu terkait pem-branding­-an diri dari sosok ataupun partai yang mengusung Petahana atau non-Petahana.

            Bentuk kampanye diatas harus bisa dijadikan poin view serta monitoring bagi para aktor politik secara keseluruhan terutama bakal calon. Dimana tentu para masyarakat sudah tahu (sampai penulis menulis artikel ini) bakal calon yang muncul. Hal ini menunjukkan antusiasme terhadap sebuah elektoral yang berlangsung..

            Informasi diatas yang cepat terkait nama-nama bakal calon disaranakan oleh Media. Perjalanan media mempunyai rentang waktu yang panjang.. Terutama dalam dunia politik. salah satu fenomena politik media sekarang yaitu Telepolitics. Meminjam istilah tersebut dalam buku Perang Bintang, Karya Pengamat Politik Burhanudin Muhtadi yaitu diartikan sebuah fenomena baru yang menandai bergesernya partai politik dan munculnya media massa, terurama televisi.

            Keadaan Empiris terhadap penjabaran fenomena diatas, tentu harus di-Update utamanya ialah sosial media. Hal ini diperkuat dengan adanya data Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo.go.id) pada tahun 2013 didapatkan bahwa ada 63 Juta orang pengguna sosial media di Indonesia. Melalui Kalkulasi tersebut, kita akan mengira-ngira dampak media yang menyebar kemasyarakat tentu akan massif sekarang ini.

            Fenomena-fenomena lain diluar konten Politik yang menjadi Trend untuk diambil sebuah studi kasus adalah Video Viral Awkarin dan Young Lex serta klarifikasinya atau bahkan PPAP (Pen Pineapple Apple Pen). Contoh-contoh tersebut menandakan bagaimana kita tidak bisa memungkiri bahwa kita berada di era-media. Kembali pada Telepolitics, mungkinkah dalam era-media sekarang tidak akan terjadi kesalahpahaman atas informasi politik yang didapat oleh masyarakat ibukota Jakarta ?, pasti jawaban anda mungkin iya atau tidak.

            Informasi-informasi dalam media terutama politik tentu sangat mudah didapatkan oleh masyarakat. Hal tersebut tidak hanya melalui media sosial atau televisi sebagai bagian media namun juga pembicaraan dari orang ke orang hingga akhirnya menyebar lalu muncul reaksi berupa argumen berbentuk opini, judgement dan lain sebagainya.

            Argumen tersebut harus dikelola sedemikian rupa pada Ruang Publik. Dimana dalam ruang ini para aktor politik dapat mengelola terkait informasi-informasi yang beredar di masyarakat. Menurut tokoh Filsuf Rasional Kontemporer yaitu Jurgen Habermas terkait Ruang Publik. Melalui Analisis F Budi Hardiman dalam buku Empat Esai Etika Politik diulas bahwa

            “Ruang Publik itu memungkinkan warga Negara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan warganegara untuk menggunakan argumen”.

            Kondisi itu harus menjadi garis bawah dalam penggunaan komunikasi yang dilakukan aktor elektoral DKI Jakarta, karena sifatnya yang bebas menyatakan sikap mereka terhadap hal sesuatu terutama politik.

            Bercermin kembali ke awal tulisan ini terkait Kampanye Politik dan Kampanye Pemilu ialah bagaimana menggunakan media sebagai komunikasi terhadap konstituen sehingga menjadi hal yang dinginkan oleh setiap aktor Elektoral.

            Sebagai Penggambaran bersama, baru-baru ini ada sosok yang terkena Bullying dikarenakan celana yang ketat kemudian ada sosok yang menangis dalam pidatonya lalu ada yang terlalu tendensi menanggapi suatu persoalan. Hal-hal tersebut harus dikelola dengan baik oleh aktor elektoral DKI Jakarta.

            Akhirnya, mari para Aktor Elektoral melihat bahwa sekarang memang sudah memasuki era-Telepolitics dan Ruang Publik. Sehingga media haruslah dikelola sedemikian rupa agar tidak terjadi kesalahpahaman informasi terutama terkait pemahaman politik terhadap masyarakat khususnya menjadi Tantangan tersendiri bagi Elektoral DKI Jakarta dalam manajemen politik medianya.

Daftar Pustaka

Firmanzah. 2008. Marketing Politik - Antara Pemahaman dan Realitas. Yayasan Obor Indonesia; Jakarta.

Hardiman, F Budi dkk. 2010. 4 Esai Etika Politik. Komunitas Salihara

Muhtadi, Burhanudin. 2013. Perang Bintang 2014 : Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres. Noura Books; Jakarta.

https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker