Beberapa saat sebelum ia terbunuh pada 26 April 1984 oleh pasukan Kopassus (saat itu bernama Kopasshanda), Arnold Clemens Ap menulis sebuah lagu. Antropolog, musisi dan pemimpin kelompok musik Mambesak itu, tengah berada dalam penjara di Jayapura karena tuduhan terlibat dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Menurut Alex Rayfiel, dalam Singing for Life yang ia tulis untuk Inside Indonesia, Arnold Ap saat itu tahu hidupnya tak lama lagi. "(He) was living on borrowed time. Ia tahu militer ingin membunuhnya," demikian Rayfiel menulis.

Maka ia duduk di samping sebuah tape recorder tua di dalam sel penjara dengan gitar di tangan. Ia merekam lagu ciptaannya, yang diberi judul Misteri Kehidupan.

Hidup ini suatu misteri
Tak terbayang juga tak terduga
Beginilah kenyataan ini
Daku terkurung di dalam duniaku
Andai saja aku burung elang
Terbang tinggi mata menelusup
Tapi sayang nasib burung sial
Jadi kurungan akhirnya terbunuh

Seusai merekamnya, dia membungkus kaset rekaman itu, memasukkannya ke dalam amplop lalu menyelundupkannya kepada istrinya, Corry Ap-Bukorpioper yang telah lebih dulu menyelamatkan diri ke sebuah kamp pengungsi di Papua Nugini.

Yang kudamba, yang kunanti
tiada lain hanya kebebasan

Lagu itu seperti sebuah harapan pribadi. Tetapi lebih dari itu, ia juga adalah suara sebagai besar orang-orang Papua yang tengah merasa tertindas, didiskriminasi, dipinggirkan bahkan seperti di ambang kepunahan.

Akhir dekade 1970-an hingga dekade 1980-an dikenal sebagai masa yang penuh dinamika anak-anak muda di Papua. Gairah mereka menyuarakan perasaan ketertindasan berada pada puncaknya. Dalam sejarah Papua, tahun-tahun itu juga dicatat sebagai masa dimana pertama kalinya kelompok-kelompok mahasiswa menjalin aliansi dengan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Rakyat Papua gelisah. Mereka merasa seperti kian tercerabut dari tanahnya sendiri. Pemerintah Indonesia pada Agustus tahun 1983 mengumumkan akan mendatangkan 750 ribu keluarga dari Pulau Jawa ke Papua dalam program transmigrasi.

Dan rakyat Papua berkata, sebagaimana dicatat oleh. Nico Schulte Nordholt, pengajar pada University of Twente, Enschede, Belanda, "Kami bakal tidak lebih sebagai pelayan di tanah kami sendiri, mereka akan membuat rambut keriting kami menjadi lurus." 

Kelompok musik Mambesak (yang berarti burung Cendrawasih), grup seni yang dipimpin Arnold Ap, berada di tengah kegelisahan itu. Mereka menjadi magnet pemberi roh bagi gerakan yang merindukan kebebasan, merindukan martabat yang telah lama direndahkan. Mereka merekam keresahan dan frustrasi rakyat Papua, menuangkannya dalam lagu dan sekaligus menyuarakan harapan.

Didirikan pada tahun 1972 oleh Arnold P dan Samuel Kapisa, Mambesak menjelma menjadi kelompok musik Papua yang khas. Arnold Ap menggali kekayaan budaya Papua sekaligus menjadi pernyataan identitas di tengah otoritas Orde Baru yang ingin meng-Indonesiakan seantero Nusantara.

Di antara deretan kata dan barisan kalimat syair lagu mereka, terselip pesan-pesan samar tapi dalam, tentang kerinduan pada kemerdekaan dan penghormatan pada martabat orang Papua yang saat itu direndahkan.  

Lagu-lagu itu tidak mengherankan segera menggugah hati orang-orang Papua sekaligus tertancap dalam di hati dan benak mereka. Sampai saat ini lagu-lagu mereka masih dinyanyikan. Bukan sekadar hiburan tetapi lebih sebagai pernyataan.

Saya pernah mewawancarai seorang tokoh gereja di Papua dan ketika saya bertanya siapa menurut dia tokoh Papua yang paling layak dikenang sebagai pembawa suara pembebasan Papua, tanpa berpikir panjang ia menyebut nama Arnold Ap.

Lahir di Biak Numfor, 1 Juli 1945, Arnold Ap menamatkan pendidikan tinggi di Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Keguruan Universitas Cendrawasih. Pada tahun 1969,ia termasuk di antara pelajar dan mahasiswa yang menggalang unjuk rasa menolak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Universitas Cendrawasih. Ia sempat masuk penjara karena itu.

Setelah menamatkan pendidikan tinggi, ia bekerja sebagai kurator Museum Universitas Cendrawasih. Pekerjaan ini memberi dia kesempatan bepergian ke pedalaman-pedalaman Papua.

Ia menggali kekayaan budaya bangsanya. Ia berbicara dan mewawancarai orang-orang. Mencatatnya cerita-cerita rakyat Papua. Menuliskannya. Menciptakan lagu dari hasil penggaliannya itu. Ia memberdayakan alat-alat musik asli Papua. Ia juga melakukan aransemen ulang atas lagu-lagu yang sudah pernah ada.

Baca juga: Emma Kluge dan Passion Papua Merdeka yang Tak Pernah Padam

Kelompok musik Mambesak tampil menjadi idola. Arnold Ap menjadi nama yang harum. Mereka diundang tampil di berbagai tempat. Mereka memiliki acara tetap di RRI, dengan tajuk Pelangi Budaya. Bertambah banyak rakyat Papua yang mendengar musik dan pesan mereka.

Orang-orang Papua melihat Mambesak, terutama Arnold Ap, sebagai simbol persatuan. Walaupun ia berlatar belakang Papua pesisir, ia juga menyuarakan aspirasi orang-orang Papua pegunungan. Ia dipandang menjadi tokoh yang menjembatani keragaman suku di Papua.

Pada saat yang sama, Arnold Ap juga tahu bahwa nyanyian, musik dan tari lebih dari sekadar hiburan bagi rakyat Papua. Orang Papua bernyanyi ketika riang dan sedih. Mereka menari kala menang maupun kalah. Dengan tarian dan nyanyian mereka melawan walau kadang-kadang perlawanan itu tak dimengerti atau memang sengaja dibuat untuk tak dipahami penguasa. Nyanyian adalah senjata ketika mereka terus-menerus dipinggirkan.

Lirik lagu-lagu Mambesak sesungguhnya diuntai penuh kelembutan, dengan pilihan kata yang mampu membangkitkan perasaan ke alam suasana kampung di Papua. Menurut Yunus Wayar, salah seorang sahabat Arnold Ap ketika diwawancarai Tabloid Jubi, tidak semua lagu Mambesak berisi pesan politik.

Sebagian besar justru berisi kecintaan pada Papua dengan suasana kampung dan kesederhanaan. "Tidak semua mengandung politik. Ada lagu bahasa Biak, itu lagu mengenang masa merantau. Tapi ada yang selalu menerjemahkan ke dalam politik. Tetapi ada judul lagu dari bahasa Mor, Nona Wakulabuwa, yang artinya Itu Saya Punya Tanah," kata Yunus.

Tampaknya betul bahwa tidak semua lagu Mambesak bermaksud membawa pesan politik. Tetapi tidak salah juga bila orang selalu ingin mencari pesan politik di dalam lagu-lagu mereka, karena lirik-liriknya yang sangat kuat dan selalu mengundang interpretasi.

Salah satu lagu Mambesak yang saya sukai adalah Rimba Sagu. Di Di Youtube, kita dapat melihat sekelompok anak-anak muda, duduk di lantai, menyanyikannya dengan iringan gitar, bas dan perkusi tradisional Papua.

Dalam hemat saya, Rimba Sagu bukan hanya berkisah tentang Sagu, tetapi juga membawa pesan tentang kewaspadaan agar rakyat Papua mencintai tanahnya, menjaga akar budayanya dan tidak meninggalkannya.

Salah satu tumbuhan yang mampu hidup terus
di musim kemarau yang panjang
Tak perlu pengairan juga tak perlu pupuk,
pohon sagu mampu tahan lama
Sadarlah sadarlah manusia
penghuni bumi yang penuh rimba sagu
Daunnya yang hijau melambangkan kesegaran
harapan hari esok yang cerah
Bintang lapangan hijau
yang asal tanah Papua
mengakui dibesarkan dengan sagu

Lagu lainnya, Awin Sup Ine, lagu dalam Bahasa Biak, membawa pesan kurang lebih sama. Ini adalah lagu tentang kekaguman pada keindahan Tanah Papua. Tetapi di antara liriknya, terselip refleksi tentang keadaan yang menyedihkan tetapi harus dihadapi dengan kekuatan sendiri.

Lagu ini berpesan bahwa Papua pernah jaya di masa lalu, dan kejayaan itu harus menjadi inspirasi untuk maju.

Orisyun isew mandep fyarawriwek
Nafek ro masen di bo brin mandira
Napyumra sye napyumda ra nadawer
Makamyun swaro beswar bepondina

Ref:

Awino kamamo sup ine ma
Yabuki mananis siwa muno
Yaswar I na yaswar I sof fioro

Terjemahan Bahasa Indonesia:
Dalam cahaya gemilang,
sinar mentari melukis keindahan di langit,
menggelorakan pandangan & perasaan,
saat ini tak ada yg dapat menolong,
kecuali dengan mengingat kembali
peristiwa manis masa lalu
dan menghayati rasa cinta
yang mengikat kita pada tanah ini

Barangkali lagu yang paling membuat merah kuping aparat adalah lagu Nanen Babe, sebuah lagu dari Sarmi di pantai utara Papua. Liriknya mengandung kata yang sensitif, yaitu Bintang Kejora, yang telah menjadi simbol kemerdekaan Papua.

Saya berusaha mencari lirik lagu ini, tetapi belum menemukannya. Namun menurut Alex Rayfiel, liriknya (yang saya terjemahkan dari Bahasa Inggris) berkata begini:

Bintang Kejora muncul di timur dan akan segera diikuti oleh matahari.
Keindahan langit membawa kembali kenangan akan rumah.
Bintang terakhir dalam kegelapan sebelum fajar,
cahaya yang memandu nelayan dengan selamat di rumah.

Lagu ini menggambarkan betapa orang Papua merasa masih hidup dalam kegelapan (dan semua orang dapat menafsirkan apa kegelapan itu). Di dalam kepedihan, mereka memupuk harapan bahwa Bintang Kejora akan memandu langkah mereka. Pulang ke “rumah” dimana mereka akan menjadi tuannya.

Menurut Alex Rayfiel, lagu ini juga mengingatkan kembali orang-orang Papua tentang legenda Kumeseri, yang tak lain adalah Bintang Kejora dalam Bahasa Biak. Konon ada seorang bernama Marmakeri, lelaki desa yang sederhana. Ia menangkap Kumeseri tatkala cahaya surgawi turun ke bumi untuk minum arak. 

Lalu Manarmakeri dan Kumeseri terlibat negosiasi agar ia sudi membebaskan sang Bintang Kejora pergi. Tawar-menawar itu akhirnya berujung pada kesepakatan bahwa Marmakeri akan menerima hadiah perdamaian dan pembaruan sebagai imbalan membiarkan Kumeseri pergi.

Marmakeri menerima hadiah itu tetapi bukan untuk disimpan dan dinikmatinya sendirian. Marmakeri pergi meninggalkan Papua dalam perjalanan untuk menggalang dukungan bagi era baru kebebasan, perdamaian, dan keadilan. Bagi sebagian orang Papua, ini ditafsirkan dengan penggalangan dukungan hingga ke ujung dunia bagi kemerdekaan Papua.

Lalu tibalah tragedi itu. Mambesak yang kian tampak membangkitkan rasa nasionalisme Papua, dipandang semakin membahayakan dan memberi angin pada separatisme. Pada bulan Januari 1980 Arnold Ap dituduh terlibat mendukung OPM Kota dan memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Papua. Pada 11 Novermber 1983 ia ditangkap oleh militer dan dimasukkan ke penjara.

Lima bulan lamanya di dalam tahanan, pada 26 April 1984 Arnold Ap tewas terbunuh. Versi resmi mengatakan Arnold Ap melarikan diri dari tahanan hendak menyeberang ke Papua Nugini lalu ditembak oleh aparat. Sebagian besar orang Papua tidak percaya versi resmi ini. Mereka lebih percaya pada keyakinan bahwa ia dengan sengaja dilepaskan untuk dibunuh.

Tanggal 26 April bagi mereka yang masih mengingat kematiannya, dikenang sebagai hari untuk menghormati Arnold Ap. Seorang martir yang telah menyerahkan nyawanya bagi gagasan yang diyakininya.

Tetapi tak hanya itu. Arnold Ap dipandang sebagai satu dari sedikit tokoh Papua yang mampu dicintai oleh hampir seluruh orang Papua tanpa dibelenggu oleh rasa kesukuan. Nama Arnold Ap harum di kalangan orang Papua yang terdiri lebih 256 suku. Papua masih menunggu sosok seperti dia.

Baca juga: RIP John Wakum, Sampai Mati Tak Sudi Gadaikan Papua Merdeka