Rasa aman adalah hak semua makhluk hidup. Rasa aman sangat bisa ditafsirkan sebagai pengelolaan ruang sesuai dengan fungsinya. 

Pada awalnya manusia memang yang mengatur, menyusun serangkaian batu kemudian menjadi gedung-gedung yang memadati kota. Tapi, jika tanpa regulasi yang tepat, bangunan tersebut akan mengatur pola hidup dan bahkan memengaruhi karakter kehidupan masyarakat di perkotaan.

Tata ruang khususnya kota Makassar menjadi sesuatu yang paling disorot karena rentetan bencana banjir, longsor, dan macet yang dihadapi setiap tahunnya. 

Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai fungsi menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan dari sebuah habitat tempat kita hidup sehingga peran yang diemban masing-masing peruntukan lahan, saling menegasikan dan mematikan yang lainnya. Efek dari ketidakseimbangan lingkungan menyebabkan apa yang kita sebut sebagai “bencana”.

Ruang adalah wadah tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, secara hakikat harus mampu menjadi tameng terhadap gangguan yang dirasakan masyarakat sebagai penghuni ruang sehingga ruang yang nyaman dan aman dapat tewujud.

Penataan ruang yang baik bisa diukur melalui dampak positifnya terhadap demografi, budaya, ekonomi, tata guna lahan, aksesbilitas yang mampu mendukung pertumbuhan dan mengarah pada peningkatan taraf hidup masyarakat. 

Ruang sendiri sebenarnya merupakan sebuah entitas yang dinamis yang setiap saat bisa ditentukan arah pengembangan dan pembangunannya oleh pemegang kepentingan tergantung dari pencitraan dari sebuah ruang yang akan dibentuk tanpa peduli efek negatif setelahnya.

Lemahnya Kontrol PEMDA dan Pelanggaran Tata Ruang di Makassar

Kota Makassar sendiri adalah salah satu kota dengan pembangunan infrastruktur yang pesat dan dijuluki sebagai kota dunia, akan tetapi masih banyak pembangunan infrastruktur yang tidak sesuai dengan fungsinya yang menyebabkan tata ruang Makassar kini menjadi semakin tidak karuan.

Misalnya Makassar Town Square (mall Mtos) yang berada di kawasan pendidikan terpadu dan posisinya berada di jalan Arteri. Jika dilihat dari fungsi ruangnya, MTOS telah melanggar aturan RTRW kota Makassar karena berada di kawasan pendidikan bukan kawasan industri. 

Dampak negatifnya adalah bermunculan ruko-ruko menyebabkan ruang terbuka hijau (RTH) semakin kurang, RTH yang kurang menyebabkan daya resap tanah ikut berkurang sehingga menyebabkan banjir. Belum lagi kendaraan menuju kawasan meningkat menyebabkan kemacetan, dan kawasan pendidikan menjadi ramai sehingga konsentrasi pelajar terganggu.

Pengembangan wilayah baru seperti di timur dan selatan kota Makassar justru lebih parah lagi karena banyak dilakukan dengan mengabaikan Rencana Tata Ruang Kota yang sudah dibuat. 

Sebagai contoh di wilayah Panakkukang dan sekitarnya yang tadinya dipetakan sebagai pengembangan wilayah pemukiman dan perkantoran, justru kini dapat dijadikan sebagai pusat bisnis dan perdagangan. Bahkan terakhir ini tampak menjadi kawasan perhotelan dengan pembangunan banyak hotel berkelas.

Belum lagi bangunan-bangunan di pantai Losari yang terletak dekat dengan pesisir di mana batas garis sempadan kurang dari 100 meter. Kalau bangunan terlalu dekat dengan bibir pantai apalagi harus mereklamasi jika Tsunami datang, kita mau lari ke mana?

Beberapa kasus penyalahgunaan fungsi ruang di atas mengindikasikan lemahnya pemerintah daerah dalam mengontrol tata ruang. Aturan lama tetap berlaku, tapi izin pembangunan mall, ruko, dan hotel tetap bisa dan terus saja diterbitkan di lokasi-lokasi yang tidak sesuai peruntukannya.

Berbeda dengan kaum kapitalis yang lebih mudah mendapat izin pembangunan karena akses dan materi yang mumpuni. Rakyat kecil, misalnya pedagang kaki lima (PK5) yang tidak memiliki tempat yang tetap, ketika melanggar aturan, dalam sekejap tanpa aba-aba langsung digusur karena dianggap sebagai biang kemacetan dan merusak estetika kota.

Pemegang kebijakan seakan tumpul ke atas dan tajam ke bawah dalam mengontrol bangunan-bangunan yang berdiri di atas kawasan yang keliru. Memang betul jika PKL melanggar aturan, tapi apakah infrastruktur yang melanggar fungsi tata ruang juga akan digusur ketika melanggar AMDAL-nya ?

Pemerintah Daerah (PEMDA) adalah perangkat yang paling berperan dalam mengurai disharmonis fungsi ruang itu tadi, melalui implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007, sehingga tidak terjadi hipotesa yang keliru terhadap pembangunan ruang dan penafsiran yang tidak simetris antara stakeholder dan pengambil kebijakan.

Perencanaan tata ruang jangan didegradasi maknanya hanya sebagai sebuah konsep tekstual yang sulit dijangkau pemahamannya, dan pada akhirnya sering kali digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan kelompok tertentu. Pemerintah Daerah mesti paham betul dalam kelola tata ruang, jangan hanya mengacu pada aspek ekonomi saja, itu sangat materialistik.

Menjalankan regulasi, korelasi antara program pemerintah dengan penataan ruang kota merupakan pijakan dasar menuju sebuah ruang hidup yang sehat, demokratis, setara dan terintegrasi, bukan hanya bersifat prosedural, apalagi sekadar memenuhi norma-norma bersyarat di dalam UU.

Dengan begitu, persoalan banjir, macet, dan persoalan lain terkait ruang, sedikit demi sedikit dapat teratasi. Dan yang terpenting adalah terciptanya sebuah gerakan moral dari setiap individu dan masyarakat untuk menciptakan ruang yang layak dan harmonis.