Sampah plastik hingga saat ini masih menjadi masalah besar yang dihadapi, terutama di Indonesia. Kurangnya kesadaran akan tanggung jawab sampah masing-masing hingga pengelolaan sampah yang belum maksimal, hal ini menjadi faktor yang membuat sampah plastik mengalami penimbunan dan sulit diatur.
Mengajak masyarakat untuk sadar betapa pentingnya menjaga lingkungan tidaklah mudah. Meski di sekolah-sekolah para siswa telah diajarkan untuk membuang sampah pada tempat yang disediakan, namun pada kenyataannya upaya tersebut masih belum efektif untuk membuat seseorang tertib dan disiplin mengelola sampah mereka.
Dibuktikan dengan masih ada orang-orang yang seenaknya membuang bungkus makanan di mana saja. Apalagi jika di lingkungan tersebut sudah terlihat sampah-sampah yang berserakan.
Seolah seseorang merasa bahwa di tempat itu tidak masalah jika membuang sampah sembarangan karena orang lain pun juga melakukannya.
Selain itu, orang-orang juga berpikiran bahwa nanti pasti ada petugas kebersihan yang akan membersihkan sampah-sampah tersebut. Dengan demikian, jika kondisi seperti ini terus dilanjutkan, maka akan menjadi kebiasaan dan tradisi turun-temurun.
Menyadari kebiasaan masyarakat yang membuang sampai sembarangan, pernahkah terpikirkan tentang berapa banyak sampah plastik yang dibuang dan akhirnya menumpuk?
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau SIPSN KLHK, pada tahun 2021 terdapat timbunan sampah plastik di Indonesia yang totalnya mencapai 11,5 juta ton per tahun atau sekitar 17 persen dari total produksi sampah nasional.
Melalui data tersebut seharusnya bisa memberikan kesadaran bahwasanya masalah sampah plastik yang ada di negeri ini sangatlah serius. Mengingat juga bahwa sampah plastik sangat sulit untuk diuraikan dan membutuhkan waktu sangat lama untuk bisa terurai.
Saya akui bahwa menjaga lingkungan dari keberadaan sampah plastik belumlah lama saya sadari. Dulu, saya juga pernah berada di posisi sebagai manusia yang masa bodoh dengan sampah yang saya hasilkan.
Namun, melalui komunitas lintas iman bernama Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC), sedikit demi sedikit saya mulai paham bagaimana kondisi bumi ini yang semakin mengkhawatirkan. Komunitas ini tidak hanya membahas keberagaman agama dan budaya, serta mengajak agar bertoleransi saja.
Tetapi turut mengajarkan bahwa setiap ajaran agama juga mengajak umatnya agar mencintai dan menjaga lingkungan. Karena lingkungan ini adalah ciptaan Tuhan yang ketika kita mencintai dan menjaganya, maka alam juga akan memberikan kebaikan untuk manusia.
Selain itu, lingkungan kerja saya juga berpengaruh untuk menyadarkan diri saya akan pentingnya menjaga lingkungan. Di saat waktu istirahat, teman-teman biasanya bercerita tentang bagaimana mereka mengelola sampah di kos.
Mereka memilah sampah plastik, kertas, kaca, dan mengubah sampah organik menjadi eco enzyme atau cairan serbaguna yang bisa dijadikan sebagai pembersih, pupuk cair, dan masih banyak lagi.
Melalui teman-teman kantor juga saya mengetahui di mana harus mengirimkan sampah-sampah plastik yang sudah dipisahkan dan dibersihkan dari residunya.
Mulai dari situlah, sedikit demi sedikit saya belajar mengelola sampah plastik yang saya hasilkan. Seperti kemasan skincare, bungkus mi instan, bungkus paketan, hingga penutup galon isi ulang. Sehinggga tidak langsung dibuang ke tempat sampah yang semula dalam satu tempat semua jenis sampah dijadikan satu.
Meski begitu, melakukan kebiasaan memilah sampah plastik tidaklah bisa dikatakan mudah. Saya menemui tantangan yang membuat saya ingin menyerah melakukan kebiasaan tersebut. Bahkan tantangan itu berasal dari lingkungan keluarga sendiri.
Ibu saya terbiasa membuang semua jenis sampah dalam satu kantong plastik dan setelah penuh akan diletakkan di depan rumah kemudian diambil oleh petugas.
Beliau merasa bahwa memilah sampah adalah pekerjaan yang ribet dan membuat pekerjaan lainnya tertunda. Sehingga berbagai sindirian untuk mematahkan niat positif tersebut pun kerap kali saya terima.
Namun, hingga saat ini saya masih bertahan dan tetap memisahkan sampah plastik yang keluarga kami hasilkan. Terkadang, sampah plastik yang sudah terlanjur dibuang ibu ke tempat sampah dan bercampur dengan sampah lainnya, saya pungut kembali.
Sehingga, saya rasa ini menjadi tantangan berat bagi diri saya untuk bisa mengelola sampah, meski hanya di lingkungan keluarga.
Lalu, adakah dampak positif yang dirasakan setelah melakukan kebiasaan memisahkan sampah plastik?
Tentu saja ada dan hal tersebut saya rasakan begitu jelas. Ketika hendak berbelanja, saya selalu berpikir panjang. Selain mempertimbangkan apakah barang itu saya butuhkan atau saya inginkan, juga memikirkan tentang kemasan-kemasan plastik yang dihasilkan nanti.
Oleh karena itu, jumlah barang belanjaan mulai diminimalisir dan selalu menyediakan goodie bag di jok sepeda motor. Sehingga saat tiba-tiba belanja, barang-barang belanjaan tidak lagi menggunakan kantong plastik, melainkan menggunakan goodie bag.
Cara lainnya untuk meminimalisir barang belanjaan adalah dengan menggunakan bahan alami. Saya menggunakan biji lerak untuk mencuci pakaian. Sehingga tidak perlu membeli detergen lagi yang membuat saya menghasilkan sampah plastik dari kemasannya.
Tak hanya mengurangi sampah plastik, mencuci dengan biji lerak juga mencegah dari pencemaran air karena sabun yang dihasilkan tidak tercampur bahan kimia.
Ada banyak hikmah yang bisa saya petik dengan upaya memisahkan sampah plastik. Usaha ini mungkin terlihat tidak memberikan dampak besar dan tidak bisa langsung mengembalikan lingkungan yang sudah terlanjur sakit.
Tapi setidaknya jika usaha ini konsisten dijalankan, maka akan menjadi kebiasaan yang bisa dilanjutkan oleh anak dan cucu kita kelak. Karena saya ingin mereka masih bisa menikmati indahnya alam dan merasakan kasih sayang Tuhan melalui ciptaan-Nya yang luar biasa.