Peria paruh baya yang bernama Toha sedang duduk di bawah rindangnya pohon kersen sembari melepas lelah selepas dari lahan tembakaunya. Penat memang tak dapat dihindari , keluh kesah tak ada gunanya, hanya membawa perih dihati.
Namun pasrah pada keadaan sama halnya dengan mengingkari anugerah Tuhan, jalani dan berusaha adalah jalan keluar yang terakhir.
Tembakau merupakan jantung bagi keluarganya dan bagi ratusan keluarga di desanya. Letak geografis desa Montorna yang di tinggali sangat cocok untuk budidaya tembakau, karena berada di daerah perbukitan.
Tembakau montorna cukup dikenal dipulau madura, aromanya yang khas dengan rasanya yang manis memang menjadi kelebihan tersendiri dari tembakau ini.
Budidaya tembakau sebenarnya bukan hal yang mudah, apalagi bila dikaitkan dengan harga jualnya yang rendah tidak sebanding dengan biaya dan peluh yang bercucuran. Ditambah dengan teriknya matahari dan tanah yang keras menggores kaki.
Namun kerasnya tanah nampaknya menular pada hati orang-orang desa ini, yang tak pernah mengeluh berjuang demi kehidupan.
Keterbatasan mata air juga menyumbang kesulitan bagi warga desa, memaksa petani untuk membeli air pada jurang-juragan kaya yang mempunyai sumur bor. 350 ribu terpaksa harus di rela dilepas untuk mengisi penampungan air selama satu malam.
Mungkin bila di kalkulasi dari semua biaya perawatan hingga panen, harga 50 ribu per kilogram adalah harga yang sangat murah untuk membayar jerih payah para petani.
Bayangkan mereka harus berangkat sekitar jam 5 pagi untuk menyiram pohon tembakau satu persatu dengan timba yang di pikul, beratnya bisa mencapai 50 kg.
Apalagi jika panen gagal, maka berhutang pada tetangga yang lebih berada merupakan satu-satunya jalan untuk dapat menghidupi keluarga. Penghasilan boleh menutup, tapi dapur tetap wajib mengepul.
Tanggungjawab dan keteguhan hati merupakan kelebihan tersendiri dari masyarakat Montorna.
Yang sangat di Untungkan di sini tentu adalah para tengkulak, orang-orang dengan modal yang besar. Apalah daya kami masyarakat bawahan yang hanya bisa mengeluh, menahan pemerasan dari para penguasa dan pengusaha.
Namun setidaknya bagi warga desa, mereka makan dari hasil peluh sendiri bukan dari menginjak kehidupan orang lain. Setidaknya warga desa berdiri di atas kakinya sendiri, tidak menjadi parasit bagi orang lain.
Bukan Toha namanya jika harus menangis pada takdir, jika harus menyerah pada keadaan, seperti apapun kehidupan tetap saja merupakan anugerah yang harus di syukuri dan diperjuangkan.
apapun yang terjadi dia tak akan pernah membiarkan dapurnya tidak mengepul. Bahkan lebih dari itu, dia tidak akan pernah membiarkan pendidikan anak-anaknya direnggut oleh tangan usil orang-orang yang hanya memperjuangkan perutnya sendiri.
Toha menghela napas panjang sembari mengamati Imam si anak bungsunya yang sedang meraut belahan bambu menjadi sebesar tusuk sate, lalu mengikatnya pada belahan bambu yang lebih besar membentuk layang-layang, kemudian ditutupinya kerangka tadi dengan kertas minyak.
Anak berusia 8 tahun itu kemudian menuliskan sebuah tulisan yang membingungkan Toha, " minta'ah pessenah Kapal!". Begitulah kira-kira tulisan tersebut. Kata yang berarti " minta uangnya pesawat!" itu merupakan kebiasaan orang Madura pada zaman dahulu, entah sejak kapan kebiasaan itu mulai muncul. Nampaknya ucapan tersebut sudah ada sejak begitu lama, bahkan sebelum toha dilahirkan.
Imam kemudian menerbangkan layangan tadi, dengan sedikit berlari melawan angin sambil mengulurkan benang sedikit demi sedikit, layangan pun semakin meninggi, terus membubung kelangit sampai-sampai sulit dilihat oleh mata. Ia lalu mengikatkan benangnya pada pohon singkong yang tak jauh di depan rumahnya.
" kenapa imam menulis tulisan itu di layang-layangnya?". Tanya Toha pada anaknya tersayang itu, karena sudah tak kuasa menahan penasarannya. "Iman kasihan sama bapak, bapak pinjam uang ke pak Tono kan buat ngirim kakak di Yogyakarta" jawabannya dengan polos.
Jawaban itu mungkin sederhana, tapi lain bila diucapkan oleh anak seusia Imam, tentu dilandasi dari Ketulusannya untuk meringankan beban di pundak orang tuanya. "Imam tidak usah dikasih saku lagi kalau ke sekolah, biar uangnya untuk kaka saja". Tambahnya dengan polos, membuat hati toha seakan ditusuk duri-duri.
Sedih bercampur dengan bangga memenuhi hati toha, iba rasanya anak seusia itu harus merasakan kesulitan orang tuanya, namun bangga juga rasanya dengan kepeduliannya dan kepekaannya terhadap orang lain. Perasaan seperti itu tak seharusnya menghantui anak seusianya.
Memang akhir-akhir ini Toha sedang di jerat masalah finansial, uang semester anak sulungnya Yang sedang berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta harus dibayar, sedangkan tembakau masih baru digarap dan juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Terpaksalah Toha harus meminjam uang pada pak Tono, seorang juragan tembakau di desanya.
Namun ini adalah Toha, seorang ayah sekaligus Kepala keluarga yang tak akan pernah mengeluh untuk menghidupi keluarga dan memperjuangkan pendidikan putra-putranya.
Memberikan pendidikan merupakan sebuah pengabdian bagi Toha untuk anak-anaknya, dan merupakan kewajiban baginya. Bagi toha pendidikan adalah satu-satunya cara untuk dapat membebaskan anak-anaknya dan orang-orang di sekitarnya dari kehidupan yang tak menentukan.
Memberikan pendidikan merupakan caranya yang paling sederhana untuk mewujudkan rasa cintanya pada negeri. Biarlah dia bersusah dahulu, dan berbahagia dengan kesuksesan anaknya.