Mendengar adalah upaya untuk menghubungkan titik-titik yang kadang kala menyatukan pesan-pesan yang tersembunyi (anonim). Ketika saya mendapati siapa saja berani mengakui kesalahan, maka yang saya usahakan adalah mengosongkan gelas untuk menemukan makna bahwa orang itu masih bermoral, beretika, dan saya perlu menemukan keduanya dalam diri saya juga. Tak perlu fokus pada kesalahan yang orang tersebut perbuat, toh kita juga manusia yang punya koleksi kesalahan.
Betapa banyak persoalan utama dari kegagalan, baik di bidang akademik, agama, ekonomi, politik, sosial, atau hubungan antarmasyarakat dikarenakan faktor penyimpangan etika. Salah satu penyimpangan etika ialah saat seseorang telah melakukan kesalahan, alih-alih mengakui kesalahan dan meminta maaf, justru ia menamengi diri dengan banyak alasan supaya bebas dari konsekuensi atau kita sebut ngeles.
Saya sangat sedih ketika sebagian anggota DPR, PNS, oknum pemerintahan, dan lain-lain yang melakukan tindak korupsi atau menyalahgunakan jabatan dengan mudahnya berkelit dengan berbagai alasan untuk menutupi kesalahannya. Padahal, sudah jelas-jelas oknum ini dinyatakan salah dengan bukti-bukti kuat.
Tidak hanya di kalangan pemerintahan, setiap individu seyogianya menerapkan budaya mengakui kesalahan jika berbuat salah di mana pun itu. Saya sangat miris ketika ketika mendapati beberapa teman saya yang sudah jelas melakukan kesalahan tetapi banyak alasan, bahkan alasannya itu adalah bohong.
Berbeda dengan negara Jepang, masyarakatnya mayoritas menjunjung tinggi nilai-nilai etika yang baik, budaya sopan santun, budaya permisi, saling menghormati, dan lain-lain. Jika melakukan kesalahan sekecil apa pun, orang Jepang akan segera minta maaf dan mengakui kesalahannya, kemudian dia siap menerima konsekuensi atas kesalahannya.
Mungkin Anda juga pernah mendengar bahwa ketika pejabat di Jepang tersangkut kasus korupsi, ia dengan sifat kesatria menyelenggarakan konferensi pers dan meminta maaf atas kesalahannya kepada rakyat Jepang serta bersedia menerima hukuman dan mundur dari jabatan.
Ngeles atau banyak alasan merupakan perilaku orang yang sudah jelas melakukan kesalahan tetapi dia masih berkelit dengan berbagai alasan sebagai upaya mencari pembenaran untuk diri sendiri atau menyatakan jika dirinya tidak bersalah. Dapat dikatakan bahwa ngeles merupakan tindakan yang tidak terpuji.
Sedangkan ada istilah senada, yaitu klarifikasi yang merupakan pejelasan dari seseorang dengan bukti-bukti bahwa dirinya memang tidak bersalah. Dapat dikatakan bahwa klarifikasi merupakan tindakan yang dianjurkan supaya seseorang yang sesungguhnya tidak bersalah dapat membela diri dan mengelak fitnah sebagai bentuk perlindungan diri.
Berani mengakui kesalahan jika memang salah merupakan bentuk kejujuran yang patut dihargai meskipun mengakui kesalahan bukan berarti lepas dari konsekuensi. Setidaknya, secara psikologis, mengakui kesalahan merupakan salah satu obat untuk diri sendiri dari siksaan rasa bersalah (guilty pleasure).
Obat lain dari siksaan rasa bersalah itu tentu saja meminta maaf, bertanggung jawab, menjalani konsekuensi, dan bertobat. Sikap kesatria mengakui kesalahan adalah pangkal proses penyelesaian masalah serta perbaikan diri sehingga di masa yang akan datang seseorang yang pernah berani mengakui kesalahan dan menerima konsekuensi akan takut melakukan kesalahan yang sama dan lainnya. Mungkin ini alasan mengapa penyakit korupsi di Indonesia tidak kunjung sembuh, karena pelakunya ngeles.
Setelah mengetahui pentingnya keberanian dalam mengakui kesalahan, tentu saja kita harus memahami juga pentingnya memaafkan. “Dan tidaklah Allah menambah sifat pemaaf bagi seorang hamba kecuali sabagai kemuliaan.” (HR. Muslim)
Pembicara yang baik adalah pendengar yang baik. Saat seseorang mencaci kesalahan orang lain setelah mendengarkan pengakuan kesalahannya, berarti ia gagal menjadi pendengar yang baik. Alangkah harmonisnya bila kita membantu pemberani yang mengakui kesalahan dan berani menyelesaikan masalah.