Baru saja kita memasuki 2023. Selalu ada sukacita di setiap pergantian masa tahunan ini. Tapi tak dapat dipungkiri, kecemasan juga menghantui. Masa depan tidak pernah pasti dan menentu. Masa lalu memang histori, tapi masa depan adalah misteri.

Bila diibaratkan, melangkah ke masa depan itu seperti memasuki gua gelap tak berujung. Wajar sekali untuk menjadi takut, ragu dan khawatir. Di sisi lain, bekal hidup berupa pengalaman, cinta, finansial, ilmu, dan optimisme menjadi lilin penerang untuk melangkah. Harapan masih ada.

Sekalipun demikian, manusia musti adil sejak dalam pikiran. Ketika ekspektasi melambung, benak mengingatkan bahwa harus ada realita hidup yang harus dipijak. Seringkali hidup tidak mengenakkan. Segala rencana sangat mungkin untuk tidak tercapai. Keraguan bermunculan dari segala arah. Overthingking meradang tiap malam. Teman, kolega, atasan bahkan keluarga tidak sedikit yang memandang sebelah mata usaha yang sedang kita bangun. Joko Pinurbo telah mengingatkan, “Hidup memang asu. Kamu harus sekeras dan sedingin batu.”

Maka setiap orang mulai menyusun resolusi. Keping-keping harapan mulai disusun lagi. Ada yang ingin menabung dana untuk membangun rumah. Mahasiswa tingkat akhir berharap segera lulus dan mendapatkan pekerjaan sesuai asa. 

Para penyendiri ingin mendapat pasangan. Pengusaha-pengusaha ingin meningkatkan laba. Pejabat-pejabat menyiapkan strategi politis untuk merebut kursi kekuasaan. Dan masih banyak lagi. Tahun baru mengandung harapan baru.

Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya yang mashyur, Spe Salvi, menyebut harapan itu sebagai iman. Iman itulah yang memungkinkan harapan itu ada. Apapun agama seseorang, bahkan ateis atau agnostic sekalipun, iman adalah pegangan. Iman berarti keukeuh pada harapan, yakin pada yang tidak terlihat. Harapan itu berarti keberanian melangkah pada ketidakpastian.

Friedrich Nietzsche, filsuf besar Jerman, sedari awal mengisyaratkan dunia yang kehilangan pegangan. Baginya, iman tidak lagi jadi sandaran kuat untuk bertahan. Manusia harus berharap pada dirinya sendiri. Eksistensi diri harus mendahului esensi. 

Menanggapi ini, Paus Benediktus XVI yang berasal dari Jerman pula mengatakan, harapan tak pernah berhasil tanpa iman yang benar. Iman yang benar itu digantungkan pada sosok yang ilahi, yaitu Tuhan sendiri.

Persis di penghujung tahun 2022, Paus Emeritus Benediktus XVI (Joseph Alois Ratzinger) wafat pada usia 95 tahun. Kematiannya di akhir tahun ini seolah hendak menggemakan spirit kegembalaannya kembali bahwa harapan itu menyelamatkan. 

Setiap orang harus berani menyongsong harapan. Harapan bukan angan kosong, tapi menantikan suatu sukacita penuh dari segala hal yang kita damba selama ini. “Seorang yang memiliki harapan, ia hidup secara berbeda”, begitu tulisnya.

Pemimpin tertinggi Gereja Katolik ke 265 ini adalah seorang teolog cemerlang, pemikir ulung dan seorang pianis handal. Ia adalah juga tangan kanan Paus Yohanes Paulus II. 

Di era pendahulunya itu, Ratzinger mengepalai Kongregasi Ajaran Iman selama 24 tahun. Banyak tulisan yang ia publikasi. Dengan deretan tulisan dan pemikirannya, ia dianggap sebagai salah satu teolog terbesar yang dimiliki Gereja Katolik.

Di balik sosoknya yang rendah hati, ia juga dikenal kontroversial. Sebelum menjadi Paus, ia dikenal sebagai Kardinal Panzer, yang rigid dan keras membela doktrin iman Gereja Katolik. 

Media menjulukinya ‘God’s Rotweiller’ yang siap menggonggong pada pengajar-pengajar iman yang dianggapya melenceng. Sebut saja ada teolog pembebasan Jon Sobrino, teolog kontemporer Edward Schillebeeckx, Hans Kung serta spiritualis kenamaan, Anthony De Mello.

Pada tahun 2013, Paus Benediktus XVI mengumumkan keputusan yang mengejutkan dunia. Ia mengundurkan diri dari jabatan kepausan. Lazimnya, paus menjabat seumur hidup. 

Dalam pidato pengunduran dirinya yang dibacakan dalam Bahasa Latin itu ia mundur atas alasan melemahnya kekuatan tubuh (vigor corporis) dan kelemahan pribadi (infirmitas personae). Namun, banyak pihak menilai beliau mundur oleh karena skandal-skandal Gereja yang terungkap di masa kepemimpinannya.

Kabar wafat Paus Benediktus XVI di akhir tahun 2022 setidaknya memberi kepiluan tersendiri bagi umat Katolik. Kendati begitu, segala amanat, tulisan, homili, teladan iman, dan ketekunan studinya memberi inspirasi yang indah untuk ditimba. Menjelang tahun 2023, pesan Paus Benediktus XVI yang relevan ialah tentang martabat manusia.

Sepanjang 2022, kita menyaksikan dinamika hidup umat manusia. Bahkan hingga di era modern ini, pelanggaran HAM masih banyak terjadi. Perang Rusia-Ukraina terjadi pada tahun ini. Kemiskinan dan kesenjangan sosial masih merajalela. Kerusakan iklim makin parah. Dunia seolah kehilangan harapan.

Di sini pesan Paus Benediktus XVI menjadi hidup dan berarti. Bahwa manusia bukan produk keterlemparan atau kebetulan belaka sebagaimana pemikiran Heidegger. Manusia itu berharga. Apapun yang terjadi dalam diri kita, “Manusia bukan produk evolusi yang biasa saja dan tidak berarti. Setiap orang adalah hasil pikiran Tuhan.” Tiada alasan lagi untuk menjadi insecure, merasa inferior, dan merasa sia-sia.

Ad magnam realitatem creates est” (Paus Benediktus, Spe Salvi art.33), Manusia dicipta untuk suatu realita yang agung. Kutipan Paus kelahiran Bavaria ini kiranya menjadi bekal dalam menjalani tahun baru ini. 

Di tahun 2023, sekalipun ada banyak rintangan dan tantangan, harapan mesti tetap dipelihara. Berani bermimpi untuk suatu yang lebih baik dan besar tidaklah salah. Harapan bukan imajinasi utopis, tetapi sumbu api semangat hidup. Bukankah pepatah klasik pernah mengatakan: dum spiro, spero, selama aku hidup aku masih berharap?

Selamat jalan Paus Benediktus XVI. Jadilah pendoa dan teladan harapan bagi kami di tahun ini. Bagi kita sendiri, selamat menghadapi segala kejutan-kejutan di 2023 dengan harapan. Semoga bersukacita.