Sufi berasal dari berbagai kata sehingga maknanya pun beragam. Ada yang mengatakan bahwa kata itu berasal dari shuf (bulu dombal/wol). Ada juga yang mengatakan bahwa kaum sufi berhubungan dengan serambi (as-shffah). Kelompok lain mengatakan itu diambil dari kata ash-shafa’ yang mempunyai arti kejernihan atau ketulusan.Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasal dari madli dan mudlari’ صفا يصفو yang mempunyai arti jernih, bersih.
Hal ini menaruh penekanan pada pemurnian hati dan jiwa. Dapat diambil kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme yaitu orang yang hidup sederhana, menjauhi urusan dunia (zuhud) dan memurnikan hati hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tafsir sufi adalah penafsiran Alquran yang berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat.
Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang yang berbudi luhur dan terlatih jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia Alquran. Mereka menafsirkan ayat-ayat Alquran sesuai dengan pembahasan dan pemikiran mereka yang berhubungan dengan kesufian yang justru kadang-kadang berlawanan dengan “Syari’at Islam” dan kadang-kadang pemikiran mereka tertuju pada hal yang bukan-bukan tentang Islam.
Timbulnya tasawuf dalam Islam salah satunya dikarenakan adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya.
kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Al-Dzahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhud dan ibadah dan yang lainnya, tetapi masa itu tidak dikenal istilah tasawuf.
Selain itu pada generasi berikutnya sekitar abad ke-2 H, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhan lebih dikenal dengan kaum sufiyah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi yang wafat tahun 150 H.
Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama generasi pertama dan kedua berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah, ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah.
Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf.
Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga muncullah apa yang dikenal dengan tasawuf nadzari dan tasawuf ‘amali. Tasawufnadzari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan.
Seperti yang diketahui bersama, bahwa tasawuf itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu: tashawwuf nazhari dan tashawwuf ‘amali. Tashawwuf nazhari adalah tasawuf yang didasarkan pada pengkajian keilmuan tasawwuf, sedangkan tashawwuf ‘amali adalah tasawuf yang didasarkan pada kehidupan yang meninggalkan kesenangan duniawi, kezuhudan dan menggunakan seluruh waktu untuk melakukan ibadah kepada Allah.
Masing-masing dari kedua bagian ini memiliki pengaruh terhadap penafsiran Alquran. Hal ini juga menyebabkan penafsiran sufistik terbagi ke dalam dua bagian. Tafsir sufi nadzhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa Alquran melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka.
Az-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam praktiknya adalah penafsiran Alquran yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara. Tafsir faidhi atau isyari adalah penakwilan ayat-ayat Alquran dengan makna yang berbeda dari makna lahiriahnya berdasarkan tuntutan isyarat-isyarat tersembunyi yang tampak kepada para penempuh jalan spiritual (arbab al-suluk).
Mungkin juga makna batiniah dan makna lahiriah itu diaplikasikan secara bersama-sama. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa Alquran mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna lahir (zhahir) dari Alquran adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut. Dengan demikian, Tafsir Isyari merupakan penafsiran Alquran yang dilakukan oleh kaum sufi melalui jalan takwil, yakni memalingkan ayat dari makna lahirnya.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash Alquran yang hanya melihat zhahir-nya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh.
Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’yi, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yi (akal).
Az-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut: Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan Alquran yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat Alquran.
Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat Alquran mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat Alquran mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa Alquran terdiri dari makna zahir dan batin.
Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin.
Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya. Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat.
Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat tersebut untuk mengetahui hikamah-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.
Di antara kitab-kitab tafsir yang disebut dengan tafsir sufi adlah sebagai berikut: Tafsir Alquran al-‘Azhim yang dikarang oleh Imam Al-Tusturi (w. 383 H), Haqaiq Al-Tafsir karya Al-Allamah Al-Sulami (w. 412 H), ‘Ara’is al- Bayan fi Haqa’iq Alquran karya Imam Al-Syirazi (w. 606 H). Di antara tokoh mufasir sufi tersebut ialah Abu Muhammad Sahl bin Abdullah Bin Yunus bin Abdullah Sahl bin Abdillah Al-Tustari atau yang lebih dikenal dengan Sahl bin Abdillah At-Tustari (283/896) adalah seorang mufasir yang mengarang kitab Tafsiran Quran Al-Adzim.
Beliau lahir di wilayah Tustar, masih termasuk wilayah Ahwaz, Iran, pada tahun 200 H. Konon At-Tustari adalah seorang yang sangat wara’, takwa, dan tergolong orang-orang yang arif.
Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim dicetak dalam satu jilid. Al-Tustari membicarakan ayat secara terpisah dari masing-masing surat. Karena beliau memang tidak menafsirkan secara keseluruhan ayat-ayat Alquran.
Salah satu ayat yang ditafsirkan adalah QS. Al- Baqarah ayat 22, yang artinya: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan baimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Kata اندادا ( andaadan) Al-Tustari menafsirkan dengan nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andaadan di sini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.