Dua minggu lalu, saya berdiskusi di sebuah warung kopi di daerah pinggiran Lenteng Agung, Jakarta Selatan, dengan dua Sahabat saya. Sebut saja yang satu namanya Agus dan satunya lagi bernama Ipet. Hal yang kami diskusikan adalah soal permasalahan yang terjadi di Indonesia belakangan ini.

Dalam pertemuan tersebut, banyak sekali hal yang kami diskusikan. Mulai dari soal gelombang aksi besar-besaran yang terjadi di pusat dan berbagai daerah, soal RUU KPK yang sekarang sudah sah menjadi UU, Polemik RKUHP, dan RUU yang bermasalah lainnya.

Pun membahas soal kapitalisme, oligarki, kebebasan berpendapat, Welfare State, tragedi kemanusiaan di Papua yang hingga kini tak kunjung usai, hingga membahas tentang revolusi. Begitu berat, bukan, pembicaraan kami? Ngerihlah pokoknya.

Diskusi yang berdurasi sekitar empat jam tersebut, kami sedikit lebih fokus membahas soal Papua. Pada topik ini, saya beranggapan bahwa apa yang terjadi belakangan ini di Papua tak lain karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu, pertama, terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua yang tak kunjung selesai. 

Kedua, pemerintah yang selalu menghindari perdebatan tentang status dan sejarah politik Papua. Ketiga, diskriminasi dan rasialisme kepada bangsa Papua (ini terbukti dengan kejadian di asrama mahasiswa Papua di Jawa Timur baru-baru ini). Keempat, kondisi/angka kemiskinan di Papua makin tinggi.

Selain empat hal di atas, saya berpandangan bahwa Papua adalah sebuah bangsa, yaitu bangsa Melanesia, yang secara etnis berbeda dengan bangsa lainnya. Saya perkuat dengan tetap berpegang teguh atas argumen M. Hatta yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945 tersebut, Hatta berkata: “saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa yang merdeka.”

Menurut Hatta, memasukkan Papua yang secara etnis berbeda dapat menimbulkan prasangka bagi dunia luar. Bertolak dari hukum Internasional yang berlaku, tuntutan atas wilayah ini akan memberi kesan bahwa Indonesia memiliki nafsu imperialistis. Kecuali rakyat Papua sendiri yang menginginkan untuk bergabung, Hatta tidak menolak.

“Jadi, jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja, tetapi kepulauan Salamon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ke tengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas?,” tanya Hatta kepada hadirin sidang. (Lihat Martin Sitompul)

Singkat cerita, di saat lagi bersemangatnya saya menjelaskan soal apa yang terjadi di Papua, tiba-tiba Agus, teman saya yang berasal dari Sulawesi Tenggara,  menyeletuk dan bertanya, "Bung, menurut Anda, apa makna kalimat bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa yang terdapat di alinea pertama Pembukaan (Preambule) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945?"

"Apakah bangsa yang disebutkan oleh Pembukaan UUD1945 itu maknanya sama seperti dengan negara? Kalau memang bangsa itu maknanya sama dengan negara, lantas apakah Papua sebagai bangsa memiliki hak untuk merdeka?" Saya pun terdiam sejenak untuk memikirkan jawabannya.

Negara dan Bangsa

Hemat saya, kalau mengacu kepada definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negara dan bangsa adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tanpa ada bangsa, tak mungkin ada negara. 

Negara yang dalam bahasa Inggris disebut state dan bangsa disebut nation ialah salah satu jenis ilmu yang telah dipelajari berabad-abad lamanya. Banyak orang yang menganggap bahwa ilmu-ilmu tentang negara-bangsa berasal dari Yunani dan tokohnya adalah Aristoteles. Bahkan kalau kita lihat, banyak sekali teori yang telah dirumuskan oleh para ilmuan terkait definisi tentang Negara dan bangsa.

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik. Negara adalah organisasi pokok kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat (Miriam Budiardjo, 2008).

Sementara itu, menurut (Jutmini, 2007) negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara merupakan bentuk organisasi dari masyarakat atau kelompok orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan, menyelenggarkan ketertiban dan menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama.

Max Weber mengatakan bahwa “Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (The State is human society that (successfully) claims the monopoli of the legitimate use of physical force within a given territory).

Sedangkan bangsa, Menurut KBBI adalah kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah, serta berpemerintahan sendiri. Sementara itu, bangsa dalam arti dalam arti sosiologis – antropologis adalah persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan tiap-tiap anggota persekutuan hidup tersebut terikat oleh satu kesatuan ras, bahasa, agama, dan adat istiadat. Bangsa dalam arti sosiologis – antropologis diikat oleh ikatan-ikatan seperti kesatuan ras, tradisi, sejarah, adat istiadat, bahasa, agama atau kepercayaan, dan daerah.

Dalam arti politis, bangsa adalah suatu masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kesatuan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa dalam arti politik diikat oleh suatu organisasi kekuasaan/politik, yaitu negara beserta pemerintahannya. Mereka diikat oleh satu kesatuan wilayah nasional, dan perundang-undangan yang berlaku (Jutmini dkk, 2007).

Menurut Ernest Renan, Filsuf dan sejarawan Prancis dalam tulisannya yang berjudul Qu'est-ce qu'une nation ? ("Apa itu bangsa?", 1882), di mana dia merumuskan paham bahwa suatu bangsa bukan hanya berdasarkan pada masa lampau bersama yang nyata, tetapi juga pada kemauan hidup bersama:

"Ce qui constitue une nation, ce n'est pas de parler la même langue, ou d'appartenir à un groupe ethnographique commun, c'est d'avoir fait ensemble de grandes choses dans le passé et de vouloir en faire encore dans l'avenir" 

("Apa yang membuat satu bangsa, bukanlah penutur bahasa yang sama, atau menjadi bagian dari kelompok etnografis yang sama, tetapi sempat membuat hal-hal besar pada masa lampau dan ingin membuat lagi hal-hal besar pada masa depan").

Soekarno sering mengacu pada gagasan Renan ini untuk menjelaskan pahamnya tentang bangsa Indonesia..

Ben Anderson mengatakan bahwa, bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat.

Dari uraian dan definisi negara dan bangsa tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa, antara negara dan bangsa memiliki perbedaan. Pertama, negara merupakan suatu organisasi yang besar dan teratur, sementara bangsa hanya sekumpulan masyarakat. Kedua, negara memiliki legitimasi dalam mengatur dan memaksa masyarakat secara absah, sementara bangsa tidak. Ketiga, negara pasti memiliki suatu bangsa, sementara itu suatu bangsa belum tentu memiliki negara.

Kemerdekaan

Kita semua sepakat bahwa, penjajahan adalah sebuah kekejaman, dan pembelengguan bangsa adalah kezaliman. Setiap bangsa harus mampu menentukan nasibnya sendiri. Indonesia merdeka adalah sebuah anugerah, dan kehidupan dalam kebebasan adalah sebuah kenikmatan.

Apa yang ingin dituju, apa yang ingin dicapai, apa yang menjadi impian bagi setiap penduduk/masyarakat dalam suatu wilayah atau negara, itu semua adalah hak mereka. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat.

Dalam pembukaan UUD 1945 Alinea pertama berbunyi: “bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”

Secara umum, makna dari alinea pertama pembukaan UUD 1945 ini adalah. Pertama, keteguhan sebuah bangsa Indonesia di dalam membela kemerdekaan dengan melawan penjajah dalam segala bentuk yang ada. Kedua, suatu pernyataan subjektif bangsa Indonesia agar menentang serta menghapus penjajahan di atas dunia. 

Ketiga, pernyataan objektif bangsa Indonesia jika penjajahan tidak sesuai atas peri-kemanusiaan serta peri-keadilan. Keempat, Pemerintah Indonesia mendukung kemerdekaan bagi setiap bangsa Indonesia untuk berdiri sendiri.

Pengertian bangsa dalam kalimat “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa” di pembukaan UUD 1945 tersebut, menurut saya multitafsir, tidak ada makna tunggal kata “bangsa” tersebut. Setiap orang bisa menafsirkannya sendiri, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.

Apabila saya menafsirkan bangsa adalah  kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah, serta berpemerintahan sendiri, atau bangsa adalah persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan tiap-tiap anggota persekutuan hidup tersebut terikat oleh satu kesatuan ras, bahasa, agama, dan adat istiadat. Saya bisa mengatakan bahwa Papua adalah sebuah bangsa, yaitu bangsa Melanesia.

Kalau begitu, apakah bangsa Papua boleh merdeka dengan dasar bahwa “kemerdekaan ialah hak segala bangsa”? Saya kira, pemerintah Indonesia harus memikirkan kembali makna dari Pembukaan UUD 1945 tersebut.