Alquran sebagai kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, tak terbantahkan lagi statusnya yang absolut sebagai “buku panduan hidup” bagi umat Islam di seluruh dunia. Dinamika kehidupan umat Islam harus selalu sesuai tuntunan dalam Alquran yang sudah mengatur berbagai aspek kehidupan.

Dengan statusnya yang mutlak tersebut, Alquran sama sekali tidak bisa diutak-atik, ditambah ataupun dikurangi ayat-ayatnya, atau ditawar hukum-hukum di dalamnya. Tuntunan dalam Alquran harus ditaati apa adanya tanpa ada ruang untuk dapat menolak ataupun mengganti hukum-hukumnya dengan yang lain.

Namun sebagaimana kita tahu, Alquran adalah mukjizat yang umumnya secara sederhana kita artikan sebagai sesuatu yang luar biasa. Alquran sebagai firman Allah SWT memang sudah semestinya bersifat luar biasa. Karena itulah, naskah Alquran tidak bisa dipahami hanya dengan sekedar membacanya.

Sebagai salah satu aspek mukjizatnya, naskah Alquran memiliki nilai sastra yang tinggi. Alquran dipenuhi teks-teks majazi dan makna-makna rahasia yang tak semuanya bisa dipahami oleh manusia. Karenanya dibutuhkan penafsiran terhadap Alquran untuk bisa memahami isinya.

Menafsirkan Alquran pun harus sesuai dengan kaidah Ilmu Tafsir yang telah menjadi disiplin ilmu dalam Islam. Seorang Mufassir (orang yang menafsirkan Alquran) harus menguasai berbagai ilmu seperti bahasa Arab, ilmu Nahwu, Tashrif, Ishtiqaq, Balaghah, Ushuluddin, Hadits dan ilmu-ilmu tafsir lainnya.

Dari penjelasan di atas kita dapat memahami bahwa menafsirkan Alquran bukanlah perkara yang mudah dan bisa dilakukan sembarang orang. Haruslah memiliki penguasaan ilmu tafsir yang mempuni dan niat yang lurus karena Allah.

Namun belakangan kita temui penafsiran-penafsiran yang menyimpang, sembrono dan seenaknya, bahkan terkesan menuruti hawa nafsu atau dilakukan demi mencapai tujuan tertentu. Penafsiran-penafsiran menyimpang semacam itu kerap kali dilakukan oleh kaum Islam Liberal, demi mendukung ideologi mereka.

Pemikiran Islam Liberal yang beranggapan bahwa ajaran Islam harus mengikuti perkembangan zaman, berimbas pula pada prinsip mereka dalam memahami dan menafsirkan Alquran. Bagi mereka, hukum-hukum dalam Alquran harus ditafsirkan ulang agar sesuai dengan kemajuan peradaban.

Bagi mereka, di dalam Alquran terdapat ajaran-ajaran yang merupakan hasil adaptasi dengan budaya setempat pada masa turunnya, yang bisa saja tidak lagi relevan dengan keadaan di masa sekarang. Untuk itu diperlukan interpretasi-interpretasi baru yang lebih relevan dengan keadaan saat ini.

Interpretasi mereka terhadap Alquran terbilang cukup liar demi membenarkan gagasan atau pemikiran mereka yang mereka anggap benar.

Mereka  mulai dengan mengamati fenomena sosial, memandang kemaslahatan, baik dan buruk versi mereka, lalu mencari ayat-ayat Alquran yang bisa digunakan untuk membenarkan kesimpulan yang mereka buat sendiri.

Salah satu fenomena yang cukup kontroversial ialah upaya golongan Islam Liberal dalam mendukung praktek LGBT di Indonesia, di saat umat Islam umumnya sudah sepakat memahami bahwa prilaku homoseksual dan sejenisnya adalah haram sebagaimana kisah kaum Nabi Luth di dalam Alquran.

Namun, justru dari kisah kaum  Nabi Luth AS dalam Alquran itu pulalah mereka mencoba mencari celah mendukung praktek LGBT. Mereka mencoba menafsirkan ulang ayat-ayat tentang azab Allah kepada umat Nabi Luth yang melakukan kemaksiatan dengan praktik homoseksual mereka.

Sebagaimana yang ditulis oleh Fahmi Salim -seorang pakar Tafsir Alquran- di Harian -Republika (26/2/2016) mengenai tafsiran kaum Liberal terhadap ayat-ayat tentang kaum Nabi Luth AS.

Dalam tulisannya, beliau menjelaskan bagaimana upaya kaum Islam Liberal berusaha menafsirkan sendiri ayat-ayat tentang azab kepada kaum Nabi Luth.

Menurut mereka, azab yang Allah timpakan kepada kaum Nabi Luth bukanlah karena prilaku homoseksual mereka, melainkan karena ketidaksopanan mereka terhadap tamu mereka, serta pengingkaran terhadap kerasulan.

Seperti yang telah dikemukakan di awal, menafsirkan Alquran atau menjadi seorang Mufassir haruslah memenuhi kriteria tertentu dan penguasaan Ilmu Tafsir yang memadai, sehingga hanya sedikit yang bisa memenuhi syarat hingga layak menafsirkan Alquran.

Adapun ayat-ayat tentang kisah kaum Nabi Luth tersebut telah lama ditafsirkan oleh ulama-ulama tafsir yang mempuni, yang benar-benar layak sebagai Mufassir.

Di antaranya yaitu Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, yang secara tegas menafsirkan bahwa azab Allah kepada kaum Luth tersebut adalah karena maksiat mereka melakukan praktik homoseksual

Gagasan yang serupa dengan interpretasi kaum Liberal di atas sebenarnya juga pernah muncul di masa lalu, dan telah dibantah secara tegas oleh ulama-ulama pada masa itu, salah satunya juga al-Qurthubi yang didukung dengan otoritasnya sebagai Mufassir terkemuka.

Perkara homoseksual di atas hanyalah satu di antara sekian banyak interpretasi-interprtasi menyimpang lainnya yang digagas oleh kaum Liberal.

Bahkan sampai tahap ekstrim di mana mereka menggagas pemahaman bahwa semua agama itu sama, dengan menyelewengkan ayat 62 dalam surah al-Baqarah untuk ditafsirkan sesuai keinginan dan ideologi mereka, lalu merea jadikan sebagai dalil.

Garis besarnya, mereka meyakini bahwa Islam, Alquran dan syariat-syariat di dalamnya bukanlah sesuatu yang absolut. Bagi mereka, Alquran dan syariat Islam masih bisa bahkan perlu untuk ditelaah, dikaji ulang, bahkan diberikan kritik dan perbaikan sesuai zaman dan peradaban yang dinamis.

Di mata mereka, terdapat berbagai hukum dalam Alquran yang sudah tidak relevan dengan zaman sekarang, sehingga pemahaman-pemahaman dan interpretasi ayat di dalamnya perlu dikaji ulang, agar dapat mencapai kemaslahatan umat manusia.

Umat Islam masa sekarang dan akan datang perlu dibentengi dari pemahaman-pemahaman menyimpang semacam ini. Dimulai dari kita yang perlu menanamkan keyakinan mutlak dalam diri dan mengimani segala sesuatu yang telah Allah turunkan dalam kitab suci-Nya Alquran telah sempurna.

Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Agung. Tak mungkin menurunkan kitab suci yang tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan peradaban. Maka pemahaman mereka yang menganggap Alquran perlu ditelaah ulang atau bahkan dikritik, merupakan penghinaan kepada Allah SWT. Naudzubillah.

Hal lain yang tak kalah penting untuk kita pahami ialah bahwa menafsirkan Alquran tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang dengan penguasaan Ilmu Tafsir yang mumpuni yang layak melakukannya.

Dengan begitu kita tidak dengan mudah menerima penafsiran dari orang yang tak jelas penguasaannya dalam bidang Ilmu Tafsir.

Terakhir, berbicara perkara kemaslahatan manusia, tak satupun manusia di muka bumi ini yang lebih tahu dari Allah mana yang mudharat dan mana yang maslahat.

Apa yang telah Allah SWT syariatkan dalam agama ini telah sempurna dalam mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan kemudharatan bagi hamba-hamba-Nya. Karena Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.