New Normal sudah bukan lagi wacana asing saat ini. Sebagian merasakan kekecewaan yang mendalam seketika PSBB diakhiri dengan melihat mereka yang mengabaikan aturan baru tentang kesehatan. Belum lagi, sebagian dari kita juga perlu untuk keluar mencari penghidupan tak terlepas dari resiko wabah yang membahaya ini.
Mungkin bagi kita yang familiar dengan istilah New Normal tahu bahwa istilah tersebut dapat berjalan pada saat kasus baru covid19 ini tidak ditemukan lagi. Namun, ternyata penerapan New Normal hanya bersifat parsial atau hanya sebagian saja diterapkan pada beberapa daerah. Mungkin daerah-daerah tersebut tidak memiliki kasus baru lagi.
Inilah yang terjadi dalam kehidupan keseharian kita. Kita lebih dahulu berprasangka ketimbang mencari tahu dulu. Awalnya kebanyakan kita menyangka bahwa new normal adalah sesuatu yang buruk. Begitu diterapkan ternyata itu berbeda dengan apa yang dipikirkan terlebih dahulu. Itu membutuhkan waktu dan tempat dalam penerapannya. Sehingga harus parsial. Belum lagi mengetahui kondisi daerah setempat.
Arti Suudzon menurut bahasa adalah sikap seseorang yang berprasangka buruk terhadap orang lain, suatu peristiwa, suatu masalah ataupun suatu keadaan. Terkadang kita melakukan hal ini tanpa disadari. Yang menariknya lagi, terdapat tiga jenis berprasangka buruk. Tapi kita tidak membahas ini lebih lanjut.
Namun, lebih tepatnya lagi kita membahas apakah suudzon adalah sikap yang tepat untuk menanggapi situasi ini, apalagi terhadap sesama manusia.
Seketika kita keluar rumah, lantas kita melihat ada yang tak memakai masker, apakah yang akan kita lakukan? Menegurnya atau langsung berprasangka? Yang paling buruknya lagi ketika kita bertemu dengan orang yang sedang mengalami flu ringan.
Kita tahu gejala covid19 ini sangat sulit diketahui karena saking ringannya gejala yang ditampakkannya. Ini akan memicu kita untuk berprasangka. Ketika ada yang meninggal lalu lansung kita mengatakan itu karena covid19. Sudah itu, kita langsung menolak jenazahnya?
Namun, apa yang salah dengan suudzon ini? Tidak ada yang salah, dan juga tentunya jika kita mengabaikan perkara wabah ini dengan sepele juga justru salah. Ketika kita tak perlu suudzon dengan orang lain, berarti kita tak perlu memakai masker untuk bertemu. Dan tak perlu lagi menjaga jarak. Pendapat itu jelas-jelas salah.
Apa yang salah yaitu kita melupakan sikap untuk mencari tahu dahulu. Dalam istilah Arabnya, disebut sebagai tabayyun. Tabayyun menurut bahasa adalah telitilah dulu. Bahkan tabayyun disebutkan dalam Al-Quran, surah Al-Hujurat.
Tabayyun merupakan salah satu tradisi umat islam yang dapat dijadikan solusi untuk memecahkan masalah. Tradisi ini digunakan terutama untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Metode tabayyun digunakan untuk mengklarifikasi serta menganalisis masalah yang terjadi. Dengan harapan mendapatkan kesimpulan yang lebih bijak, arif dan lebih tepat sesuai keadaan masyarakat sekitarnya.
Kita sebenarnya sangat kurang dalam melakukan tradisi ini dibandingkan dengan berprasangka atau suudzon. Suudzon terlihat lebih menonjol dibandingkan sikap kita untuk mencari tahu dahulu. Dan juga terkadang sikap ini tidak bisa dibedakan.
Ketika kita ingin mencari tahu dahulu atau berhati-hati, kita malahan dinilai suudzon. Padahal, mereka belum menanyai diri kita terlebih dahulu. Ini membuktikan betapa mudahnya kita menilai dan mungkin itu juga disebut suudzon.
Dan jika kita ingin bertemu dengan seorang teman, maupun kerabat, ketika kita ditanyai apakah kita sakit atau tidak, kita langsung menilai bahwa dia telah melakukan suudzon. Padahal, inilah yang disebut ber-tabayyun.
Mungkin ini dikarenakan media yang biasa digunakan lebih mengarahkan kita pada hiburan semata. Jadinya, kita hanya memilih judul ketika judul itu terkesan 'wah' ketimbang memperlihatkan kenyataannya. Ini membuat kita lebih mudah suudzon ketimbang ber-tabayyun. Alhasil, kita pun sering disalahpahami.
Kita pun tidak bisa lagi mengendalikan berita yang kita konsumsi dan tanpa menyadari kita sudah terbentuk oleh berita-berita seperti itu. Dan satu hal lagi, suudzon dan hiburan sudah menjadi sarapan keseharian kita. Sebagian dari kita harus keluar terpaksa untuk mencari penghidupan, dan kebanyakan dari kita justru menganggap berita-berita seperti itu hanya hiburan semata dan kita pun bebas keluar kemana pun. Toh, itu hiburan semata. Terlebih lagi, kita bahkan percaya bahwa wabah ini hanya konspirasi semata. Suudzon menjadi lebih akut.
Kesimpulannya, kita tidak bisa mengendalikan semua pikiran orang. Sikap kita terhadap media menjadi sumber tindakan kita selanjutnya. Suudzon atau berprasangka buruk sudah menjadi kebiasaan kita dalam sehari-hari, sedangkan bertabayyun atau sikap mencari tahu lebih dahulu terkubur, dan terlupakan. Bahkan, sikap tabayyun terkadang menjadi kabur dan sering disalahartikan sebagai suudzon.
Pada hakikatnya, kedua sikap ini menandakan bahwa kita adalah manusia, manusia yang penuh akan pilihan. Tapi bukan berarti kita bisa memilihnya, buktinya kita tak bisa mengendalikan konsumsi kita terhadap berita-berita. Yang ada, mungkin, hanyalah kekacauan dari kedua pilihan tersebut. Kita tak tahu menahu atau mungkin kita hanya berpura-pura.
Hidup ini adalah proses, dan kita harus menanggungnya. Mari kita merenungi ini bersama-sama dan mengingat jumlah korban positif di Indonesia terus bertambah.