Pemuda Islam Indoensia hari ini mungkin tak akrab dengan nama Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. Penyebutan gelar syekh secara harfiah biasanya disematkan para muballigh keturunan Arab atau para ulama besar dan ahli agama Islam.
Syekh Muhammad Nawawi, yang lebih dikenal orang Mekkah dengan sebutan Nawawi al-Bantani, atau Nawawi al-Jawi seperti tercantum dalam kitab-kitabnya. Al-Bantani menunjukan bahwa dia berasal dari Banten, sedangkan Jawi mengindikasikan muasalnya yang Jawah, sebutan untuk para pendatang Nusantara (karena nama Indonesia belum dikenal). Kalangan Pesantren saat ini menyebut ulama yang juga digelari as-Syaikh al-Faqih itu sebagai Nawawi Banten.
Muhammad Nawawi lahir pada 1230 H (1815 M) di Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, Desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani).
Ayahnya bernama Umar ibnu Arabi, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Ibunya bernama Zubaedah. Ia sendiri yang mengajarkan putra-putrinya (Nawawi, Tamim, Ahmad) tentang pengetahuan dasar Arab, Fikih dan Tafsir.
Semenjak kecil Syekh Nawawi memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Pertanyaan-pertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya ke berbagai Pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung dari ayahnya (yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara), kemudian berguru kepada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.
Di usia beliau yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syekh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian karena karomahnya yang telah mengkilap sebelia itu, beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak.
Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekkah, seperti Syekh Khâtib As-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Junaid Al-Betawi.
Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekkah. Lewat ketiga Syekh inilah karakter beliau terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syekh Muhammad Khâtib dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Madinah.
Masih remaja ketika mereka menunaikan ibadah haji, Nawawi baru berusia 15 Tahun, dan tinggal selama 3 tahun di Mekkah. Tetapi kehidupan intelektual kota suci itu rupanya membuat Syekh Nawawi terkesan. Sehingga, tidak lama setelah tiba di Banten ia memohon untuk dikembalikan lagi di Mekkah. Di sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia wafat 25 Syawwal 1314 H/1897 M. (Kabar lain menyebutkan bahwa kembalinya ke tanah suci, setelah setahun di Tanara melanjutkan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan). Agaknya keduanya benar.
Dari silsilahnya, Syekh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunya Raras (Tajul ‘Arsy), yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara. Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad SAW melalui Imam Ja’far Ash-Shadiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husein, Fatimah Az-Zahra.
Dari tiga bersaudara memang hanya Nawawi yang meneruskan dan memperdalam studi keulamaan. Tamim, meski fasih bahasa Arabnya, lebih suka menjadi Syekh haji di Mekkah sebelum menjadi agen jamaah di Singapura; konon karena dilarang menetap di Banten. Adapun Ahmad mengikuti jejak langkah ayahnya sebagai penghulu.
Menurut Snouck Hurgronje, Syeck Nawawi adalah sosok yang rendah hati. Dia memang menerima cium tangan dari semua orang di Mekkah, khususnya orang Jawa (ia punya pengaruh luas di kalangan orang Nusantara yang belajar di Mekkah), tetapi itu hanya sebagai penghormatan kepada ilmu. Kalau ada orang yang meminta nasihatnya di bidang fiqih, dia tidak pernah menolaknya. Snouck Hurgronje pernah menanyakan, mengapa dia mengajar di Masjidil Haram, Syekh Nawawi menjawab bahwa pakaiannya yang jelek dan kepribadiannya yang tidak cocok dengan kemuliaan seorang profesor berbangsa Arab. (baca; Steenbrink, Berberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia).
Pada tahun 1860-1870 Nawawi mulai aktif memberi pengajaran. Tetapi itu dijalaninya hanya pada waktu senggang, sebab antara tahun-tahun tersebut ia sudaj sibuk menulis buku.
Karya-Karya Syekh Nawawi
Setelah tahum 1870 Nawawi memusatkan kegiatannya hanya mengarang. Nawawi adalah penulis yang subur, kurang lebih 80 kitab yang dikarangnya. Tulisan-tulisannya meliputi karya pendek, berupa berbagai pedoman ibadah praktis, sampai tafsir al-Qur’an. Sebagian besar merupakan syarah kitab-kitab para pengarang besar terdahulu.
Kepakaran beliau tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syaikh Umar Abdul Jabbâr dalam kitabnya "Ad-Durûs min Mâdhi At-Ta’lîm wa Hadhirih bi Al-Masjidil Al-Harâm” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa Kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syekh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik.
Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
Ats-Tsamâr Al-Yâni’ah Syarah Ar-Riyâdh Al-Badî’ah, karya Syaikh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman.
Al-‘Aqd Ats-Tsamîn Syarah Fath Al-Mubîn
Sullam Al-Munâjah Syarah Safînah Ash-Shalâh, karya Abdullah ibn Umar Al-Hadrami
Baĥjah Al-Wasâil Syarah Ar-Risâlah Al-Jâmi’ah Bayn Al-Usûl wa Al-Fiqh wa At-Tasawwuf, karya Sayyid Ahmad ibn Zein Al-Habsyi.
At-Tausyîh/Quwt Al-Habîb Al-Gharîb Syarah Fath Al-Qarîb Al-Mujîb, karya Muhammad ibn Qasyim Asy-Syafi’i
Niĥâyah Az-Zayyin Syarah Qurrah Al-‘Ain bi Muĥimmâh Ad-Dîn, karya Zainuddin Abdul Aziz Al-Maliburi.
Marâqi Al-‘Ubûdiyyah Syarah Matan Bidâyah Al-Ĥidâyah, karya Abu Hamid ibn Muhammad Al-Ghazali
Nashâih Al-‘Ibâd Syarah Al-Manbaĥâtu ‘Ala Al-Isti’dâd li Yaum Al-Mi’âd, karya Imam Abi Laits.
Salâlim Al-Fudhalâ΄ Syarah Mandhûmah Ĥidâyah Al-Azkiyâ, karya Zaenuddin ibn Al-Ma’bari Al-Malibari
Qâmi’u At-Thugyân Syarah Mandhûmah Syu’bu Al-Imân, karya Syaikh Zaenuddin ibn Ali ibn Muhammad Al-Malibari
At-Tafsir Al-Munîr li Al-Mu’âlim Al-Tanzîl Al-Mufassir ‘an Wujûĥ Mahâsin At-Ta΄wil Musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
Kasyf Al-Marûthiyyah Syarah Matan Al-Jurumiyyah
Fath Al-Ghâfir Al-Khathiyyah Syarah Nadham Al-Jurumiyyah Musammâ Al-Kawâkib Al-Jaliyyah
Nur Adh-Dhalâm ‘Ala Mandhûmah Al-Musammâh bi ‘Aqîdah Al-‘Awwâm
Tanqîh Al-Qaul Al-Hadîts Syarah Lubâb Al-Hadîts, karya Al-Hafizh Jalaluddin Abdul Rahim ibn Abu Bakar As-Sayuthi
Madârij Al-Shu’ûd syarah Maulid Al-Barzanji
Targhîb Al-Mustâqîn Syarah Mandhûmah Maulid Al-Barzanjî
Fath Ash-Shamad Al-‘Âlam Syarah Maulid Syarif Al-‘Anâm
Fath Al-Majîd Syarah Ad-Durr Al-Farîd
Tîjân Ad-Darâry Syarah Matan Al-Baijûry
Fath Al-Mujîb Syarah Mukhtashar Al-Khathîb
Murâqah Shu’ûd At-Tashdîq Syarah Sulam At-Taufîq, karya Syaikh Abdullah ibn Husein ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba’alawi
Kâsyifah As-Sajâ Syarah Safînah An-Najâh, karya Syaikh Salim ibn Sumair Al-Hadhrami
Al-Futûhâh Al-Madaniyyah Syarah Asy-Syu’ba Al-Îmâniyyah
‘Uqûd Al-Lujain fi Bayân Huqûq Al-Zaujain
Qathr Al-Ghais Syarah Masâil Abî Al-Laits
Naqâwah Al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
An-Naĥjah Al-Jayyidah Syarah Naqâwah Al-‘Aqîdah
Sulûk Al-Jâdah syarah Lam’ah Al-Mafâdah fi Bayân Al-Jumu’ah wa Al-Mu’âdah
Hilyah Ash-Shibyân Syarah Fath Ar-Rahman
Al-Fushûsh Al-Yâqutiyyah ‘Ala Ar-Raudhah Al-Baĥîyyah fi Abwâb At-Tashrîfiyyah
Ar-Riyâdh Al-Fauliyyah
Mishbâh Adh-Dhalâm’Ala Minĥaj Al-Atamma fi Tabwîb Al-Hukm
Dzariyy’ah Al-Yaqîn ‘Ala Umm Al-Barâĥîn fi At-Tauhîd
Al-Ibrîz Al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad As-Sayyid Al-Adnâny
Baghyah Al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid Al-Anâm
Ad-Durrur Al-Baĥiyyah fi Syarah Al-Khashâish An-Nabawiyyah
Lubâb Al-Bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karya tafsirnya, Al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn As-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn Al-Mahâlli yang sangat terkenal itu. Sementara Kâsyifah As-Sajâ Syarah merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah An-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir Al-Hadhrami. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis ketimbang matan yang dikomentarinya. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân Ad-Darâri, Nûr Adh-Dhalam, Fath Al-Majîd.
Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih Al-Qaul. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam Al-Munâjah, Niĥâyah Az-Zain, Kâsyifah As-Sajâ. Adapun Qâmi’u Ath-Thugyân, Nashâih Al-‘Ibâd dan Minhâj Ar-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqh karya beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri Pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqûd Al-Lujain fi Bayân Huqûq Al-Zaujain. Hampir semua Pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci. Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad.
Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik-mengkritik terhadap karya beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.
Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya. Sebelum dicetak, naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria.
Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Syaikh Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ Al-Qarn Ar-Ram’ ‘Asyar Li Al-Hijrah, AI-Imam Al-Mullaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama Al-Hijaz.
Berikut beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang terbit di Mesir (Dhafier, 86):
Syarah Al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab, terbit tahun 1881.
Lubab Al-Bayyan (1884).
Dhariyat Al-Yaqin, isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syaikh Sanusi, terbit tahun 1886.
Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya Ad-Durr Al-Farid, karya Syaikh Nahrawi (guru Nawawi) terbit tahun 1881.
Dua jilid komentar tentang syair maulid karya Al-Barzanji. Karya ini sangat penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan maulid.
Syarah Isra’ Mi’raj, juga karangan Al-Barzanji.
Syarah tentang syair Asmaul Husna.
Syarah Manasik Haji karangan Syarbini terbit tahun 1880.
Syarah Suluk Al-Jiddah (1883)
Syarah Sullam Al-Munajah (1884) yang membahas berbagai persoalan ibadah.
.
Syaikh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan keagamaan. Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. Tafsirnya Murah Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama Al-Azhar.
Di Indonesia khususnya di kalangan Pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, serta peminat kajian Islam Syaikh Nawawi tentu saja sangat terkenal. Sebagian kitabnya secara luas dipelajari di Pesantren-pesantren Jawa, selain di lembaga-lembaga tradisional di Timur tengah, dan berbagai pemikirannya menjadi kajian para sarjana, baik yang dituangkan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau paper-paper ilmiah, di dalam maupun luar negeri.
Beberapa karya ilmiah tentang Syaikh Nawawi yang ditulis sarjana kita antara lain:
Ahmad Asnawi, Pemikiran Syaikh Nawawi Al-Bantani tentang Af’al Al-’Ibad (Perbuatan Manusia), (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1984).
Ahmad Asnawi, Penafsiran Syaikh Muhammad Nawawi tentang Ayat-ayat Qadar. (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1987).
Hazbini, Kitab Ilmu Tafsir Karya Syaikh Muhammad Nawawi, (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1996).
MA Tihami, Pemikiran Fiqh Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1998).
Sri Mulyati, Sufism in Indonesia: Analysisof Nawawi Al-Bantani’s Salalim Al-Fudhala, (Tesis Magister Mc Gill University, Kanada, 1992).
Muslim Ibrahim Abdur Rauf, Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi: Hayatuhu wa Atsaruhu fi Al-Fiqh Al-Islami. (Tesis Magister, Al-Azhar
Perlawanan atas Kolonialisme
Tiga tahun bermukim di Mekkah, beliau pulang ke Banten. Sampai di tanah air beliau menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat.
Tak ayal, gelora jihad pun berkobar. Beliau keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gerak-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M). Begitulah pengakuan Snouck Hourgronje seorang sarjana Belanda budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Tetapi Nawawi tidak menghendaki peranan peranan politik untuk dirinya. Ambisi pribadinya hanya terbatas untuk mengarang. Kepada mereka yang tidak menjajah dia membolehkan kaum muslimin untuk bekerja sama dengan tujuan kebaikan dunia.
Sumber;
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustaka Jaya;1984
Biro Humas dan Protokol Setda Banten; Jejak Ulama Banten, dari Syekh Yusuf hingga Abuya Dimyati, 2004