Malang, 19 April 2022
Dear Sekar,
Memandang bulan yang hampir bulat sempurna di pertengahan Ramadhan ini membuat Ayah rindu kepadamu. Terkenang masa kecilmu yang suka memandang bulan berlama-lama. Bahkan pernah suatu kali kau membuat permintaan konyol untuk mengambilkan sang chandra di angkasa. Tentu saja itu tak mungkin. Namun Ayah bisa apa selain berkata ‘ya’ untuk menyenangkanmu. Untuk mengurai rasa kangen itulah Ayah menulis surat ini, untukmu, juga untuk teman-teman segenerasimu.
Nduk… Sekar Penggalih putriku, kini kau sudah beranjak remaja. Sudah mampu berpikir rasional. Kau memilih pendidikan di pondok pesantren juga atas niatanmu sendiri. Seperti yang sudah-sudah, mana mampu Ayah menolak keinginan baikmu. Meski dengan konsekuensi mesti merindumu setiap melihat sasadara. Namun tak mengapa, semua demi cita-cita mulia.
Ingin menjadi guru yang bisa memberi manfaat bagi sesama. Ah, sebuah cita-cita luhur yang tumbuh entah dari mana. Toh Ayah tak pernah memaksakan sebuah gegayuhan untukmu. Mungkin itu sudah mengalir dalam DNA kita. Atau besar kemungkinan memang diilhamkan Tuhan Sang Baathin, yang memilihkan jalan terbaik untukmu. Satu hal saja, jangan sampai kau bercita-cita punya pasangan fans eMYu atau Juve. Pokoknya jangan.
Nduk, Ayah sepenuhnya percaya kau akan mampu menggapai cita-cita luhurmu itu. Ayah hanya ingin mengingatkanmu bahwa apapun yang terjadi nanti, agar kau tetap ingat obrolan-obrolan ringan kita dulu. Tentang ‘Sekar Penggalih’ yang mengandung harapan bisa menjadi bunga di hati orang-orang sekitar. Tentang ‘Sofie Ayu’ yang bermakna kecantikan dalam selubung kebijaksanaan. Semua terangkum dalam untaian tetenger Sofie Ayu Sekar Penggalih.
Lebih dari itu Nduk, Ayah sungguh-sungguh berharap agar kau selalu ingat akan kodratmu sebagai seorang wanita. Bahwa wanita adalah tiang Negara, Ayah yakin kau telah mafhum. Bahwa kelak kau akan menyangga Negara dari unit terkecilnya yang bernama keluarga, dengan menjadi Ibu bagi anak-anakmu. Menjadi madrasah pertama bagi buah hatimu.
Itu seperti yang selama ini telah Ayah lakukan kepadamu Nduk. Ibarat sebuah pusaka, pertama-tama Ayah membentuk ‘gagang’mu dengan kokoh di keluarga. Hingga tiada keraguan sedikitpun ketika tiba saatnya untuk melepasmu ke Pondok Pesantren. Menyerahkan ‘bilah’mu untuk ditempa agar menjadi tajam di sana. Sebuah pusaka yang tajam dengan gagang kokoh adalah karya seni yang paripurna. Maka contohlah itu, didiklah dzurriyatmu kelak agar menjadi generasi yang tangguh dan toleran, dengan ngugemi nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk menjadi sekolah pertama bagi anak-anakmu itu Nduk, kau bisa mencontoh 2 teladan utama negeri kita. Dari Ki Hajar Dewantara kau bisa menapaktilasi konsep pendidikannya. Bahwa pendidikan mesti memerdekakan, alih-alih membelenggu anak dengan segala macam nilai akademik. Juga prinsip bahwa mendidik adalah sebuah proses ‘keterlibatan penuh’ dari guru, yang termaktub dalam semboyan ing madya sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Yang ke dua, kau bisa meneladani R.A. Kartini. Seorang putri yang menjadi agung bukan lantaran sematan gelar R.A. di depan namanya, melainkan karena keteguhan dalam memperjuangkan buah pikirannya. Bahwa dengan keteguhan tersebut, idenya bisa mengembara melintasi benua, melampaui kala. Kekuatan sebuah ide itu Nduk, tak boleh terkungkung hanya karena kodratmu sebagai wanita.
Maka saat ini yang mesti kau lakukan adalah belajar dengan tekun dan gembira. Jangan pernah merasa terbebani dalam menimba ilmu. Cecaplah manisnya ngangsu dari samudra kawruh para Kyai maupun Nyaimu. Carilah ilmu sebanyak yang kau mau dan mampu, agar kelak bisa menjadi pendidik terbaik bagi keluargamu.
Dengan begitu tak penting lagi untuk menjadi sosok perempuan yang ngepop seperti remaja pada umumnya. Kau boleh saja eksis di media sosial, asalkan isi otakmu dipenuhi ilmu. Kau bisa saja populer di circle tertentu, namun mesti berlandaskan santunnya perilaku. Sebab popularitas tanpa dasar ilmu dan perilaku hanya akan menjadi bencana.
Satu hal lagi Nduk.. Meskipun saat ini kau menempuh ‘jalan ilmu’ di pondok pesantren, jangan pernah lupa sapa sira. Kau lahir di tlatah Nusantara, kuberi nama dengan cara Nusantara, dan kau tumbuh dengan mengasup boga dari tanah dan air Nusantara. Maka setinggi apapun ilmu agamamu kelak, jangan sampai tercabut dari akar budayamu. Jangan mendurhakai Ibu Pertiwi.
Sudah Nduk, kurasa Ayah sudah cukup banyak bicara kepadamu. Cukup banyak menyita waktu belajarmu. Dan takutnya, terlalu banyak membebanimu dengan harapan-harapan Ayah sendiri. Maka kucukupkan sekian saja dengan iringan doa Rahayu, Rahayu, Rahayu. Mugya Rahayu kang sarwa pinanggih.
-Pakmu-
Catatan:
Nduk = panggilan untuk anak perempuan
Chandra = sasadara = rembulan
gegayuhan = cita-cita
tetenger = nama
ngugemi = menjaga dan mempraktikkan
ngangsu = menimba
kawruh = ilmu
sapa sira = siapa kamu (yang sejati)
Mugya rahayu kang sarwa pinanggih = (doa) semoga keselamatan yang selalu kau temui