Dalam hidup, begitu sering saya merasa mengetahui suatu hal lebih daripada yang sebenarnya hanya karena saya membaca buku. Saya menganggap diri saya sudah memahami hal tersebut sepenuhnya, padahal kenyataannya tidak sama sekali. Akhirnya saya menyadari, bahwa ilusi inilah yang membuat saya dan banyak orang lainnya menjadi komentator ulung dalam berbagai fenomena di media sosial, tetapi “nol” dalam urusan dunia nyata.
Memang buku membuka kesempatan yang luar biasa bagi semua orang. Kita dapat melakukan hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya hanya dengan membaca buku. Contohnya, kita bisa mendaki gunung tertinggi di dunia tanpa perlu takut kelelahan dan mati kedinginan. Membaca mengajarkan kita untuk mengetahui berbagai hal dari jarak yang aman dan tempat yang nyaman.
Begitu sering kita membaca berbagai macam hal yang tidak menyenangkan melalui buku dan berbagai media tulisan yang ada. Kita hanya mengetahui secuil fenomena dari apa yang benar-benar terjadi dan dialami oleh orang lain. Makna yang terkandung di dalamnya tidak mampu tersampaikan sepenuhnya karena terbatas jumlah kata dan diksi penulisnya.
Saya mengerti bahwa membaca adalah jalur pintas untuk membuat kita pintar terkait suatu hal. Namun, hidup yang sebenarnya bukan sekadar tentang apa yang kita ketahui, tetapi apa yang kita lakukan dan rasakan secara langsung.
Brené Brown dalam bukunya “Daring Greatly” menjelaskan bahwa perubahan terbesar terjadi ketika individu membiarkan dirinya berada di arena kehidupan yang sesungguhnya. Meskipun mereka tahu kehidupan yang sebenarnya penuh dengan masalah, tetapi mereka berani untuk menghadapinya.
Mereka percaya bahwa hanya dengan berada di arenalah masalah dapat diselesaikan. Pada akhirnya mereka tidak hanya mampu untuk menyelesaikan permasalahan, tetapi juga belajar menjadi tangguh dengan menghadapi tantangan secara langsung.
Membaca memang mengajarkan kita untuk menjadi bijaksana dan terus berusaha untuk mencapai hal yang ideal. Namun, berada di arena kehidupan mengajarkan kita untuk menjadi rendah hati karena kita akhirnya mampu melihat bahwa kenyataan jauh dari apa yang kita harapkan.
Membaca memberikan kita gambaran tentang hal yang harus kita lakukan, tetapi dengan terjun langsung ke arena kita mendapatkan kesempatan luar biasa untuk menyesuaikan pengetahuan dengan permasalahan di lapangan dengan melalui segala kemampuan yang kita miliki.
Integrasi Ideliasme dan Empirisme
Saya tidak mengatakan bahwa berada di arena jauh lebih baik daripada membaca. Kita tentu tidak dapat menyelesaikan masalah dengan bijak tanpa pengetahuan, pun kita tidak dapat menyelesaikan permasalahan tanpa tahu konteks di lapangan. Keduanya tidak dapat terlepas satu sama lain. Namun, saya melihat kita cenderung berkembang menjadi individu yang menyukai salah satunya, entah membaca ataupun bekerja di lapangan.
Ketimpangan akibat memilih salah satu di antara keduanya tentu saja malah menambah masalah dan menjauhkan kita dari kemungkinan untuk menyelesaikannya. Kita perlu membaca untuk mengetahui hal yang harus dilakukan untuk mencapai kondisi yang ideal, tetapi kita juga perlu berada di arena untuk melihat apakah yang kita ketahui cukup dan tepat.
Dengan hanya membaca kita berpandangan terlalu ideal dan cenderung mengkritik, tanpa melakukan apa-apa. Sedangkan berada di lapangan tanpa membaca membuat kita merasa sebagai pahlawan yang melakukan segala hal, meskipun sering kali apa yang kita lakukan salah dan tidak menguntungkan siapa pun selain ego pribadi.
Saya pikir sudah saatnya bagi orang-orang terpelajar untuk berani bermain di arena dan tidak hanya sekadar membaca. Penderitaan dan permasalahan yang sesungguhnya sudah begitu lama menanti untuk diselesaikan oleh orang-orang yang mengetahui apa yang harus dilakukan.
Buku hakikatnya ditulis untuk meningkatkan kualitas kehidupan umat yang menulisnya dan hanya umat itu sendirilah yang akhirnya mampu menjadikan cita-cita tersebut menjadi nyata.
Kebersihan Hati
Timbulnya rasa empati dan rasa simpati tentu dihasilkan ketika mata dihadapkan pada realitas persoalan yang sesuai maupun tidak sesuai dengan hati nurani. Hal tersebut akan menimbulkan tindakan dari diri pribadi.
Dengan turunnya aksi massa ke jalanan untuk menuntut keadilan diakibatkan oleh ketidaksesuaian antara realitas sosial yang ada dan harapan yang tersemat dalam hati. Hati yang bersih akan muncul sebuah ketidaknyamanan ketika melihat regulasi terobosan pemerintah yang kecenderungan menindas rakyat kecil.
Saya pastikan demonstran yang turun ke jalan tidak semuanya memiliki nurani yang indah, sebab ada saja beragam alasan mereka turun ke jalan entah itu panjat sosial, berusaha mendapatkan pengakuan sebagai aktvis atau mungkin untuk mendokumentasikan diri di status media sosial.
Renungilah ketika pascaaksi massa kita menemukan tumpukan sampah berserakan bahkan bongkahan batu. Apakah ini hasil dari hati yang bersih? Perjuangan untuk mencari titik terang kesejahteraan dan keadilan justru menambah masalah baru bagi masyarakat sekitar lokasi aksi. Apa bedanya dengan para pejabat yang rakus di gedung DPR? Inilah pentingnya aksi dengan sebuah nilai luhur yang tersemat dalam hati.
Jangan lupa sedia selalu trashbag sebagai ikhtiar agar tetap menjaga keasrian lingkungan walau kondisi pikiran dan hati sedang porak-poranda akibat ulah kaum cucu fir’aun di gedung DPR. Percayalah semangat nilai harus tersemat dalam hati, bahwa kita merupakan kaum Musa masa kini yang berupaya meretas tirani dan kekejaman Fir’aun zaman modern.
Ketahuilah Walaupun Sedikit
Tidak mungkin terjadi penurunan massa aksi yang banyak tanpa adanya agitasi dari beberapa pihak yang berupaya mengakomodir jalannya aksi. Namun kita sudah tentu percaya kepada mereka yang mengakomodasi massa aksi bahwa mereka mempunyai sumber dan kajian yang cukup masif untuk menuntut isu yang kita singgung.
Berbagai kran pemikiran merespons isu tersebut tentu memunculkan bahasan isu menjadi menarik. Sehingga implikasinya adalah hampir semua elemen mahasiswa dan organisasi masyarakat rela mengorbankan waktunya walau mungkin sedang payah-payahnya akibat terjerat pandemi dari segi ekonomi. Seharusnya ia berjualan mencari nafkah, ia berjibaku untuk membantu mengeluarkan resonansi yang sulit masuk ke gendang telinga pemerintah.
Namun sayangnya tidak jarang kita jumpai beberapa oknum yang dulu sempat mengolok mereka yang rela bolos kuliah untuk melakukan demonstrasi. Tanpa diduga oleh mereka, ternyata sekarang mereka menjadi bagian dari massa demonstrasi.
Parahnya, mereka hanya membebek dan mengikuti arahan dari korlap tanpa ada filterisasi dari pikirannya sendiri. Karena di lapangan korlap tidak hanya satu, apakah ia korlap yang mencari eksistensi atau benar-benar tulus.
Setidaknya ketika mengikuti aksi, ia harus tahu walaupun hanya sedikit terkait dengan isu apa yang sedang diperjuangkan. Hal ini setidaknya akan menambal prinsip kemerdekaan dan independen hati setiap insan.
Betapa pun, kita tidak dapat menutup dan mematikan kran pemikiran sekalipun cahaya tak lagi menyinari kota-kota. Di tengah jeratan pandemi juga belenggu zona nyaman, kata-kata dan pikiran mesti dituangkan. Sebab tiap detak bahasa, adalah kesemestaan untuk diungkapkan.