Surat rahasia itu bertanggal 9 Juni 1969. Dibuat oleh Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia, Francis Joseph Galbraith. Dikirimkan kepada Kementerian Luar Negeri AS. Isinya menggambarkan bentuk, skala, pengaruh dan proyeksi perlawanan rakyat Papua terhadap Indonesia pasca dilaksanakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice (AFC) di Papua pada tahun 1969.

Dapat dikatakan, ia merupakan salah satu surat yang penting dalam penulisan sejarah Papua. Surat (airgram) berkode A-278 tersebut telah banyak dijadikan acuan dalam menggambarkan bagaimana aspirasi merdeka rakyat Papua menjelang hari-hari pelaksanaan Pepera.

Jennifer Robinson, salah seorang pengacara internasional yang gigih memperjuangkan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua, misalnya, menggunakannya sebagai bukti bahwa dukungan bagi kemerdekaan Papua sangat besar. Bahwa Pepera tahun 1969 merupakan kecurangan dan tidak sesuai dengan standar internasional. (Lihat, Self Determination and the Limits of Justice: West Papua and East Timor, Future Justice, 2010, hal.6).

Sebagaimana sifatnya ketika ditulis, ia bersifat rahasia. Tetapi, pada tahun 2004, National Security Archive mengumumkan mendeklasifikasi sejumlah dokumen, termasuk surat Dubes Galbraith. Karena itu, surat Galbraith sejak 14 tahun lalu sudah tersedia untuk dilihat dan dibaca publik. Bahkan salinan asli suratnya dalam bentuk file PDF dapat dilihat di George Washington University's National Security Archive.

Melihat tanggalnya, surat Galbraith diperkirakan dibuat di tengah intensnya persiapan penyelenggaran Pepera. Kita tahu, ada tiga tahap Pepera. Pertama, pada 24 Maret 1969, diadakan konsultasi dengan dewan-dewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara menyelenggarakan Pepera.

Kedua, pemilihan anggota Dewan Musyawarah Pepera yang berakhir bulan Juni 1969 dengan dipilihnya 1.026 anggota dari 8 kabupaten. Mereka terdiri dari 983 pria dan 43 wanita. (Akhirnya yang menggunakan suara 1022 orang).

Ketiga, Pepera dilaksanakan di kabupaten-kabupaten mulai 14 Juli 1969 di Merauke, dan berakhir 4 Agustus 1969 di Jayapura.

Pada kolom perihal surat, dituliskan: The Nature of the Opposition yang tampaknya dimaksudkan untuk menggambarkan bentuk dan pengaruh gerakan pelawanan terhadap pemerintah Indonesia di Papua. 

Di dalam surat, tampak bahwa sang Dubes dengan sengaja dan terencana ingin membuat laporan tentang persiapan Pepera di Papua. Informasi dikumpulkan dengan mengefektifkan sejumlah pelapor atau pewawancara. Atas informasi itu sang dutabesar membuat kesimpulan-kesimpulan.

Sebagai sebuah laporan, ia  disusun dengan hati-hati dan berimbang. Di beberapa bagian menyebut nama-nama orang yang menjadi ‘informan’, tetapi pada bagian lain informan tersebut dilindungi dan namanya dirahasiakan. Salah satu kesimpulan yang diambil oleh Dubes AS dalam laporan ini ialah keyakinannya bahwa seandainya Act of Free Choice (AFC) dilakukan secara one man one vote, kubu yang menginginkan kemerdekaan akan menang.

Keinginan merdeka itu, menurut laporan ini, banyak dipicu oleh ketidakpuasan terhadap cara pemerintah Indonesia memperlakukan rakyat Papua sejak Indonesia mengambil alih pemerintahan dari UNTEA pada 1963. 

Kendati demikian, Dubes Galbraith juga menunjukkan keraguannya bahwa aspirasi merdeka Papua itu dapat diterjemahkan menjadi kenyataan. Ia menilai kekuatan perlawanan terhadap pemerintah sangat lemah dan tidak terorganisasi dengan baik. Ia mengatakan hanya soal waktu saja Indonesia dapat menjinakkan perlawanan-perlawanan tersebut.

Dalam laporannya – secara tidak langsung – Galbraith mengungkapkan kritik yang banyak terlontar terhadap orang Papua. Selain masih lemah dalam pengorganisasian diri, terpecah-pecah, orang Papua juga dinilai ‘tidak dapat menyimpan rahasia’.

Para elitenya sering kali adalah sosok-sosok oportunis dan tidak mau mengambil risiko. Ada kesan bahwa mereka menggunakan isu kemerdekaan Papua demi keuntungan karier pribadi. Selain itu, organisasi maupun tokoh Papua dikesankan lebih banyak bicara daripada bertindak.

OPM: Antara Persepsi dan Fakta

Dubes Galbraith membagi isi suratnya menjadi tiga bagian. Bagian pertama berupa ringkasan, bagian kedua menggambarkan aktor-aktor perlawanan terhadap Indonesia, dan bagian ketiga tentang sumber ketidakpuasan orang Papua terhadap RI. 

Galbraith menutup laporannya dengan sebuah kesimpulan yang ringkas dan cair tentang perkiraan Papua pasca Pepera. Ia tidak eksplisit membuat prediksi, tetapi tampaknya ia memiliki keyakinan militer Indonesia masih terlalu kuat bagi kelompok-kelompok perlawanan Papua.

Dalam bagian pertama dari dua tulisan tentang dokumen sejarah ini, saya akan memfokuskan pada penggambaran Galbraith tentang OPM dalam suratnya. Sedangkan pada tulisan selanjutnya (bagian kedua) akan disajikan laporan Galbraith tentang penyebab rakyat Papua ingin merdeka.

Sangat jelas dan dia tunjukkan dengan bukti dan fakta, bahwa Galbraith meyakini Organisasi Papua Merdeka (OPM) hanyalah sebuah gerakan berskala kecil, paling tidak bila dibandingkan dengan luasnya Tanah Papua. Gerakan ini, dalam pandangan dia, tidak seperti yang dipersepsikan orang sebagai sebuah organisasi terstruktur rapi, memiliki komunikasi luas dan efektif serta aksi masif.

Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukanlah organisasi revolusioner yang serba ada seperti yang diyakini sebagian orang. Kecuali suatu kelompok kecil kepemimpinan kader-kader yang beroperasi di daerah Djajapura yang memiliki kontak lintas batas, para pembangkang anti-pemerintah hampir tidak memiliki hubungan satu sama lain, tidak menerima bantuan atau arahan dari luar, dan umumnya tidak mampu meletuskan pemberontakan di tengah relatif besarnya kehadiran militer Indonesia di Irian Barat,” tulis Galbraith pada bagian awal ringkasan suratnya. (Djajapura = Jayapura).

Kendati kecil dan tidak rapi dalam pengorganisasian, tetapi OPM-lah, menurut Galbraith, satu-satunya yang dipandang menjadi inti dan representasi perlawanan rakyat Papua terhadap pemerintah RI. 

Semua orang di Papua tahu, atau paling tidak, merasa tahu apa itu OPM. Banyak di antara rakyat Papua tidak takut bahkan bangga mengidentifikasi diri sebagai OPM, entah itu benar atau hanya membual. 

“Semua orang berbicara tentang OPM....dan banyak orang Irian dengan bangga menyatakan bahwa mereka adalah ‘anggota’ dari OPM.”

Menurut Galbraith, orang asing yang bepergian di Irian Barat tidak memiliki kesulitan dalam menghubungi aktivis anti-pemerintah. Orang-orang Papua dengan senang hati memberikan keterangan bahkan mereka berinisiatif menghentikan para pengunjung itu di jalan. Kelompok-kelompok mereka juga berkumpul ketika orang asing datang berkunjung ke desa-desa yang dihuni para penduduk asli.

 “Singkatnya, tidak ada yang enggan membahas OPM....Seorang misionaris Amerika menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa ‘orang Papua tidak dapat menyimpan rahasia.’" 

Entah ini sebuah kerugian atau keuntungan bila dipandang dari perspektif rakyat Papua yang sedang melakukan ‘perlawanan.’ Atau sebaliknya, bagi pemerintah RI yang tengah ingin menegakkan kedaulatannya di Papua. 

Yang pasti, informasi tentang kekuatan OPM – paling tidak dari sumber-sumber di tengah rakyat Papua sendiri – menjadi demikian terbuka. Semua pihak, bukan hanya diplomat, tetapi “pihak berwenang Indonesia, Angkatan Darat, dan bahkan kepada pengamat yang paling biasa” pun dengan mudah mendapatkan informasi tentang OPM.

OPM, menurut Galbraith, bukan organisasi yang pengendaliannya terpusat dan memiliki rentang operasi dan jangkauan luas. Ia menganggap OPM hanya memiliki kegiatan yang intens di Djajapura dan daerah perbatasan. Di luar itu, hanya ada sedikit kontak antara mereka. Mereka yang menamakan diri  "Dewan Pusat" OPM yang berbasis di Djajapura memang mengklaim memiliki "kontak" di empat kota Irian Barat. Namun, Galbraith terkesan tidak meyakini hal ini. 

Dalam laporannya, Galbraith mengatakan bahwa kontak eksternal OPM terbatas hanya di wilayah perbatasan Papua/ Papua New Guinea. Ia juga memastikan tidak ada bukti bahwa bantuan eksternal akan datang ke bagian lain Irian Barat, meskipun ada info-info yang tersebar bahwa akan ada bantuan. 

Apalagi sejak 11 orang dari lingkaran penerbitan propaganda di Jakarta – yang secara berkala mengirim selebaran anti-pemerintah ke Biak – diputus oleh polisi pada awal Mei 1969, kontak-kontak eksternal OPM makin menciut. 

Lebih jauh, Galbraith dalam suratnya menulis:

 “....tidak ada kontak antara pusat-pusat kelompok bersenjata di Biak utara, Kepala Burung, dan Enarotali. J. Rumbobiar, seorang letnan kelompok Awom dan mantan pejabat polisi Manokwari selama pemerintahan UNTEA, mengatakan kepada petugas pelaporan bahwa kelompok Awom tidak berhubungan dengan kelompok pembangkang bersenjata lainnya atau "Dewan Pusat" OPM; kelompok Awom tidak pernah menerima bantuan dari sumber luar tetapi "melihat" (tidak disebarluaskan) beberapa selebaran yang diselundupkan dari Jakarta; dan bahwa kelompok Awom tidak mengharapkan bantuan dari Belanda, yang bantuannya tidak akan dia terima, atau dari apa yang disebut pemimpin OPM Marcus Kasiepo, Nicholas Jouwe, Herman Womsiwor, yang dikecam oleh Rumbobiar karena hidup nyaman di luar negeri dengan uang Belanda.”

Tidak diperoleh angka pasti dan dapat dipercaya tentang berapa sesungguhnya anggota resmi OPM yang memiliki kartu tanda anggota. Ada yang mengatakan 1.500 hingga 5.000, tetapi bahkan ada yang mengklaim 500.000 anggota. Galbraith mengutip pernyataan salah seorang tokoh politik Papua kala itu, Frits Kirihio, yang justru sangat mengejutkan. 

Anggota majelis provinsi (Dewan Perwakilan Rakjat Daerah atau DPRD) itu memperkirakan jumlah pemimpin anti-pemerintah garis keras hanya sekitar 150 orang. Frits Kirihio tidak memasukkan dirinya sebagai tokoh OPM, walaupun ia mengakui secara pribadi mendukung kemerdekaan Irian Barat.

Frits bersikap realistis dan menyadari bahwa kemungkinan untuk merdeka tidak tercapai dalam waktu dekat, Karena itu, ia memilih tetap berada di pinggiran, lebih memilih untuk meletakkan dasar bagi manuver politik dalam periode pasca-Act of Free Choice (AFC). 

Galbraith menilai, banyak tokoh Papua yang bersikap seperti Frits Kirihio. Mereka memilih bersikap pragmatis, yaitu merebut lebih banyak posisi pemerintah provinsi untuk diri mereka sendiri dan orang Irian pada umumnya ketimbang memperjuangkan secara keras aspirasi untuk merdeka.

“Dalam mengadopsi pandangan ini, ada banyak ruang untuk ambisi pribadi dan setidaknya enam pemimpin Irian, termasuk Kirihio dan mantan gubernur Bonay, dikabarkan akan membidik posisi gubernur,” demikian laporan Galbraith.

Merdeka: Aspirasi versus Tindakan

Meskipun kecil dan tidak memiliki organisasi yang rapi, OPM merupakan satu-satunya elemen yang mewakili sentimen anti Indonesia di Papua. Galbraith menilai, walaupun sentimen anti-Indonesia itu tidak begitu jelas, tetapi ia meluas. 

Mengenai besarnya perlawanan terhadap pemerintahan Indonesia, Galbraith dalam laporannya mengatakan mungkin mayoritas orang-orang yang disebut Irian, ( 85 hingga 90 persen), bersimpati kepada Papua Merdeka atau setidaknya sangat tidak menyukai orang Indonesia. 

Aspirasi untuk merdeka itu kian hari kian bertambah. Seorang misionaris Amerika di Biak menggambarkan situasi di sana yang mencerminkan – dalam skala lebih kecil – sikap orang Papua. Jemaat sebuah gereja di Biak setahun sebelumnya terpecah menjadi dua faksi yang hampir sama: mereka yang mendukung integrasi dengan dengan kantor pusat mereka di Jakarta di satu kubu dan orang-orang anti-Indonesia (baik secara politis maupun agama) yang menyukai pembentukan gereja yang mandiri. 

Jika setahun sebelumnya hanya 50 persen dari jemaat yang menunjukkan pandangan pro-kemerdekaan, maka para misionaris memperkirakan sekarang lebih dari 75 persen bersikap bermusuhan dengan orang Indonesia.

Masalahnya adalah aspirasi merdeka itu tak selalu sejalan dengan tindakan. “Menerjemahkan kata dan sentimen ke dalam tindakan adalah hal yang berbeda,” tulis Galbraith. 

Dalam laporannya, Galbraith mengutip penjelasan Pastor J. Duivenvoorde, sekretaris untuk Uskup Merauke, yang mencirikan gerakan anti-pemerintah sebagai "banyak bicara, tidak ada tindakan." Misalnya, meskipun ada desas-desus bahwa akan ada pemberontakan umum pada tanggal tertentu, ternyata hari yang dinantikan itu, ketika tiba, berlalu tanpa gejolak. 

Banyak aktivis yang dengan gagah berani menyatakan niat mereka untuk membunuh Dubes PBB Ortiz-Sanz (atau Duta Besar Sudjarwo, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, atau komandan militer Sarwo Edhie) pada saat orang-orang itu datang ke kota. Namun, pada kenyataannya, tidak ada indikasi adanya upaya serius untuk memenuhi ancaman tersebut. 

Sebaliknya, kata Pastor Duivenvoorde, jumlah anak-anak muda Papua ketika itu yang mendaftar untuk jadi anggota TNI Angkatan Darat melonjak tiga kali lipat dari yang dibutuhkan. Kritik Pastor Duivenvoorde bahkan lebih keras lagi, ketika ia berkata:

“Tidak seorang pun di Merauke, bahkan aktivis yang paling keras sekalipun, yang tidak melewatkan kesempatan untuk menghadiri pesta yang diselenggarakan oleh bupati atau pemerintah lainnya.”

Artinya, kendati ada ketidakpuasan yang sangat besar terhadap Indonesia, rakyat Papua masih kesulitan untuk bisa tiba pada semacam gerakan pemberontakan. Meskipun secara omongan hal-hal itu diutarakan dengan sangat vokal, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan dilaksanakan.

Kata Pastor Duivenvoorde, jika memang benar akan ada pemberontakan, semestinya sudah banyak penduduk kota yang pergi ke hutan, akan ada boikot, pemogokan atau tanda-tanda perlawanan massa lainnya. Beberapa tindakan pembangkangan dramatis pun seharusnya sudah terjadi.

“Singkatnya, ada banyak pembicaraan yang belum dan mungkin tidak akan diterjemahkan ke dalam tindakan. Tidak ada indikasi bahwa OPM, di bawah kepemimpinan "komite dua puluh" di Djajapura dan didorong oleh para pemimpin Irian lain memiliki kemampuan mengarahkan pemberontakan melawan Indonesia. Koordinasi dan jalur komunikasi yang diperlukan saat ini tidak ada, sumber daya kurang, dan keinginan untuk bertindak adalah terpecah.”

Tidak heran bila Dubes Galbraith membuat kesimpulan bahwa Indonesia akan dengan mudah menggulung kelompok perlawanan tersebut. Meskipun secara aspirasi mereka didukung oleh rakyat Papua, tetapi secara tindakan mereka masih terlalu lemah.

“Kesimpulannya, hanya masalah waktu saja sebelum militer Indonesia membersihkan kantong-kantong pemberontak bersenjata. Satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah sejauh mana (dan biaya) Pemerintah siap untuk menghentikan perlawanan aktif tersebut,” tulis Galbraith.