Oh nimasku, Banowati. Bagaimana kabarmu? Juga bagaimana keadaan Hastinapura sekarang? Hmmm, baik-baik saja, kan? Semoga engkau di sana jauh lebih bahagia ketimbang dulu saat bersamaku.

Asal engkau tahu, nimas. Kepergianmu sangat membelenggu hati kangmasmu ini. Terlebih lagi, selama pengasingan 12 tahun lamanya di Hutan Kamyaka yang gelap gulita itu, aku merasa merana menjalani hukuman sebagai seorang brahmana tanpa didampingi olehmu. Aku kerap kali terbayang akan eloknya paras cantikmu serta suaramu yang merdu bagaikan candu. Apa mungkin diriku ini mengidap skizofrenia, ya, nimas?

Oh ya, ngomongin soal masa lalu. Sayangnya, Paman Salya dan Bibi Setyawati selalu beranggapan bahwa aku nggak pernah layak jadi pendampingmu, nimas. Bahkan setelah ribuan kali kau jelaskan. Seluruh ucapanmu tak pernah terdengar di telinga mereka. Dan gimanapun juga, mereka lebih sreg buat ngejodohin kamu sama pria lain. Kamu juga nggak bisa membangkang sama keputusan bulat kedua orang tuamu tersebut.

Seandainya mau, dulu-dulu aku juga bisa kok, kalau cuman sekedar memakai ilmu pikat yang ditujuin buat Paman Salya. Supaya blio bisa welas dan asih sama kangmasmu ini lalu hubungan kita bisa direstui. Itu hanyalah ilmu pikat sepele yang mana anak kecil sekalipun pasti bisa memakainya dengan leluasa.

Nimas sudah tahu belum? Ilmu pikat sepele ini justru digunakan oleh raja kerajaan Hastinapura yang dulunya menggebu-gebu ingin memilikimu. Ya, siapa lagi kalau bukan Prabu Duryudana, tokoh antagonis utama dalam kisah ini yang kini jadi suamimu. 

Pada akhirnya, Paman Salya malah merestui hubunganmu sama Duryudana, bukan denganku. Bibi Setyawati pun mencercaku habis-habisan di belakangmu. Dan di balik layar, Paman Sengkuni dan Guru Drona tertawa lepas melihat tersingkirnya kangmasmu ini dari sayembara cintamu. Kuakui aku kalah, nimas. Sungguh malang nasibku.

Oh nimas. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya, ya. Semua ini terjadi lantaran idealismeku yang nggak bisa diganggu gugat. Bukan soal ego, melainkan soal prinsip.  Bagiku, mendapatkanmu melalui cara seperti itu sungguh sangatlah hina. Cara itu sangat kontradiktif sama prinsip kesatriaku. Sehingga, mau nggak mau harapan kita buat menjalin kasih bersama seketika terhenti di tengah jalan.

Ketahuilah, nimas. Ini semua kulakukan guna menjaga keseimbangan lakon yang telah ditata sedemikian rupa oleh sang dalang. Siapa tahu, kalau cinta Duryudana nggak terbalaskan, bisa jadi ia malah bunuh diri. Perang suci Baratayuda yang telah ditakdirkan Tuhan bakalan batal, lantaran tokoh antagonis utamanya telah gugur sebelum perang terjadi. Biar penonton nggak kecewa, aku pun terpaksa merelakanmu pergi bersamanya, nimas.

Mengingat semua kenangan pahit itu, nyatanya malah bikin kesedihanku makin menggebu-gebu. Aku pun sering kali menulis puisi-puisi galau guna menghibur hati yang gundah gulana ini. Hingga pada suatu malam, aku mengumpat pada Tuhan, "Wahai Tuhan, jika cintaku pada Banowati sungguh terlarang, kenapa engkau bangun perasaan sekokoh ini dalam sukmaku?"

Jawaban dari Tuhan seketika turun malam itu juga. Bathara Kamajaya datang dari Kahyangan Cakrakembang guna bersua denganku. Tentunya, blio tak kurang dalam menasihatiku dan senantiasa membantu menyelesaikan semua permasalahan asmaraku. Ditemani secangkir kopi pahit, obrolan kami tak terasa berlangsung hingga larut malam.

Dari prespektif Bethara Kamajaya, blio menyimpulkan bahwa kita telah berada pada tingkatan cinta sejati, nimas. Tingkatan cinta yang belum tentu bisa diraih oleh semua orang. Bukannya sombong, bahkan leluhur kita, Sri Rama dan Dewi Sinta pun sepertinya belum mampu untuk mencapai tingkatan ini.

Sesungguhnya, cinta kita nggak pupus, nimas. Melainkan ketabahan hati kita dalam bercinta yang sedang diuji oleh para Jawata. Apakah cinta kita akan langgeng hingga kelak? Tentu hanya upaya kita yang bisa menjawab itu semua.

Jadi intinya gini, nimas. Cinta sejati ditandai dengan adanya perasaan enggan untuk saling memiliki. Kita yang dianugrahi cinta sejati harus bisa untuk saling melepas satu sama lain. Sisi baiknya, kita terbebas dari nafsu duniawi, sehingga kita akan semakin dekat sama Tuhan. Mungkin ini agak berat, nimas. Tapi percayalah, atas dasar keyakinan, berkah Tuhan bakal menyertai kita setelah tunai sudah janji bakti.

Tentunya, petuah ini perlu kau pahami, nimas. Agar engkau senantiasa legawa sama pemberian Tuhan saat ini. Hingga suatu saat, pasti ada waktu dan tempat yang tepat bagi kita untuk bermadu kasih. Di swargaloka, bersisian sama Tuhan kelak. Tak lekang oleh ruang dan waktu. Cinta kita akan bersemi kembali, nimas.

Ah, Banowati. Perang suci Baratayuda sebentar lagi akan segera dimulai. Hingga perang itu berlangsung, mungkin kau masih belum sempat untuk membalas suratku ini. Aku saja tergesa-gesa dalam menulis surat ini. Takut jika tidak rampung. Sebagai panglima brigade tempur, tentu kesibukanku sangatlah padat dalam persiapan perang di kubu Pandawa ini.

Sampai jumpa lain waktu, ya, Banowati. Doaku selalu menyertaimu. Salam cinta dan rindu dari kangmasmu, Arjuna.