Tukang potret penuh waktu. Itulah pekerjaan yang Ega geluti sejak lulus dari jurusan Ekonomi Pembangunan salah satu Universitas ternama Indonesia, 3 tahun yang lalu. Kata Ega, dengan memotret, ia juga menggerakkan ekonomi sebagai bidang yang membangun bangsa. Iya Ga, terserah kamu aja.
Kita semua tahu betul, bahkan sudah menjadi kebiasaan untuk kita memberi makan media sosial dengan berbagai macam foto. Karena katanya “no pict, hoax”. Inilah alasan umum semua orang berlomba menghadirkan foto paling artsy dari semua sudut kehidupan mereka di medsosnya.
Ya, semua. Aneh. Lebih aneh saat mereka harus sampai ke studio foto untuk amemotret diri untuk memberi makan netizen. Tapi tidak bagi Ega dan banyak fotografer. Ini mata pencaharian.
Pemotretan di studio, saya kira menjadi wajar jika dilakukan oleh orang-orang yang memang berkecimpung di dunia fotografi. Artis, model, atau public figure lainnya, bahkan sangat membutuhkan hal ini.
Tentu saja karena memang mereka butuh pencitraan kan? Bukan. Ini maksudnya branding. Namun, dampaknya ya pengikut mereka jadi latah. Semua foto dari mulai pose hingga kegiatan yang dipotret diikuti. Termasuk jika sang public figure melakukan pemotretan saat hamil, maternity shoot.
Dalam sesi pemotretan untuk ibu hamil, fokus utama adalah kondisi perut ibu yang membesar. Biasanya akan dilakukan saat usia kehamilan 30 minggu. Pertimbangannya, perut jelas sudah terlihat membesar dan ibu masih leluasa bergerak. Pilihan background, property, serta pakaian harus minimal sehingga tetap perut yang menjadi objek utama.
Minggu lalu, saat bertemu Ega, saya langsung menanyakan kepentingan maternity shoot ini. Kata Ega, sesi pemotretan tersebut ya untuk branding. Ya, branding jasa pemotretannya.
Alasan lain mungkin kembali pada salah satu fungsi fotografi itu sendiri, mengabadikan momen. Pada sesi ini tentu saja momen kehamilan. Jawaban Ega tetap tidak menjawab pertanyaan saya. Apa pentingnya?
Saya coba tanyakan kepada ibu dan tante saya perihal pemotretan ini. Mereka kompak mengatakan bahwa memotret ibu hamil baru ada di zaman sekarang saja. Dulu di saat mereka hamil, yang dipikirkan ya bagaimana menjaga kehamilan mereka supaya tetap sehat.
Toh, tidak punya foto pas hamil, saya dan keponakan-keponakan saya ya lahir-lahir saja kok? Tunggu. Bukan berarti yang melakukan foto hamil ini tidak memperhatikan kesehatan kehamilannya ya. Justru malah lebih memperhatikan. Ya kalo gak diperhatikan, nanti gak sehat kehamilannya, bagaimana mau foto?
Pemikiran saya berlanjut. Kalau sekiranya dari segi kesehatan ada manfaatnya, pasti sudah disarankan oleh para dokter kan ya? Atau mungkin dampak psikologis? Ya, sangat mungkin.
Ibu hamil yang melakukan foto hamil, karena bisa mengabadikan momen kehamilannya, menjadi bahagia. Saat menjadi bahagia, akan berdampak positif juga pada bayi yang dikandungnya. Apakah bahagia hanya dari pemotretan saja?
Jika memang mengabadikan momen, berarti setelah melahirkan juga seharusnya disebut momen dong? Sesi pemotretannya? Ada. Newborn Photography, pemotretan bayi di usia 1 hingga 2 minggu. Bukan. Maksud saya pemotretan untuk ibunya.
Waktu kakak saya hamil anak pertama, saya sempat menanyakan mengenai perubahan apa yang ia rasakan. Jelas ia mengatakan perubahan tubuhnya, melar. Tidak cukup hanya itu, perubahan hormonal, emosional, juga perubahan pola tidur. Mual, gak nafsu makan, males, manja, cranky.
“Pokoknya, perjuangan deh hamil tuh” katanya.
Saya jadi terpikirkan mengenai momen yang ingin diabadikan ibu hamil itu. Apa iya momen perjuangan itu yang ingin diabadikan? Kalau iya, bukankah setelah melahirkan juga termasuk momen perjuangan?
Kenapa tidak dipotret lagi saja perut ibu pascamelahirkan? Saat memberi ASI? Itu akan memberi pesan visual yang kuat bahwa perjuangan seorang wanita sungguh begitu besar. No debat!
Kata kakak saya, setelah melahirkan itu kan badan melar. Di bagian perut samping itu akan terlihat strechmark, berbentuk kerutan atau garis-garis. Jika melahirkan secara caesar, maka akan terlihat bekas jahitannya. Terkadang hal itu akan membuat sebagian perempuan merasa insecure.
Pandangan mereka terhadap tubuhnya menjadi negatif. Mereka merasa tidak cantik lagi. Mereka jadi takut suaminya mulai aneh-aneh. Maka dari itu, banyak sekali program pelangsingan dan kecantikan setelah melahirkan, bukan?
Adanya perasaan insecure yang dialami ibu hamil pascamelahirkan dapat dipahami. Yang masih sulit saya mengerti, jika perasaan itu yang mendasari mereka untuk menunjukkan perut besarnya melalui pemotretan.
Kesannya, mereka menonjolkan privilege sebagai wanita yang mampu hamil dengan tujuan memberitahukan perjuangan dan pengorbanannya untuk menutupi ketidakmampuannya menghadapi bayangan perubahan tubuh setelah melahirkan.
Bukankah itu bentuk perilaku narsis? Perilaku yang terkesan mencintai diri sendiri namun secara berlebihan. Perilaku itu didorong oleh perasaan insecure apabila orang lain melihat kelemahan yang dimiliki. Sudah begitu, diunggah di medsos pula. Demi content? Anda artis?
Saat saya sampaikan pemikiran saya tadi kepada Ega, dia bilang saya yang aneh. Saya gak peka.
“Ya udah sih, biarin aja mereka mau foto. Yang hamil mereka, Yang bayar juga bukan lo kan? Lagian, di masa pandemi ini tuh ada lebih dari 400.000 kehamilan baru lho kata BKKBN. Berarti bisa banyak juga orderan maternity shoot kan? Pasti bakal ngebantu banget pas pandemi kayak gini. Kebayang kan tukang potret kaya gue di luaran sana juga bisa tetep makan dengan adanya ibu hamil yang foto ke kita?” sembur Ega.