Meski otoritarianisme Orde Baru telah berhasil disingkirkan dan kehidupan politik Indonesia semakin demokratis, namun ancaman-ancaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) tidaklah semerta-merta lenyap.
Jika pada masa orde baru berkuasa dulu, ancaman HAM didominasi oleh Negara sebagai pelaku, maka pasca 1998 kondisinya berbeda, dimana pelaku ancaman dan pelanggaran itu sendiri semakin beragam. Negara tidak lagi menjadi faktor determinan sebagai ancaman terhadap HAM. Yang menjadi faktor determinan, justru dari masyarakat sendiri.
Kenyataan itu tampak terlihat dari fenomena penebaran ujaran kebencian di ruang publik yang merebak pada masa reformasi. Meski pelaku tindakan ini tidak erarti hanya dilakukan warga masyarakat saja, tapi juga bisa merupakan seorang politisi, dan bahkan juga pejabat. Dalam kebanyakan kasus, tindakan ancaman ini ditunjukkan kepada kelompok marjinal, atau kelompok minoritas yang rentan.
Berbagai ujaran kebencian yang merebak di ruang publik itu tidak muncul dari dalam ruang yang kosong. Tindakan ini didorong oleh sikap-sikap intoleran dengan motif untuk membangun dominasi atas ruang publik dengan cara menyingkirkan “yang lain”, terutama pada kelompok-kelompok yang tidak disukai. Terlebih apabila kelompok ini lemah dan dianggap menyimpang atau sesat.
Penebaran kebencian dikritisi bukan semata karena tindakannya saja, tetapi juga dampak yang ditimbulkannya. Penebaran kebencian dianggap mengancam hak asasi, kebebasan dan keberagaman di masyarakat. Salah satu intoleransi dan kekerasan atas dasar agama terhadap kelompok minoritas misalnya, tidak bisa lepas dari berbagai pengaruh hasutan kebencian.
Kebebasan berekspresi tentu tidak bisa dijadikan sebagai dalih menebarkan kebencian. Dari sudut pandang HAM, kebebasan memang penting untuk dijamin dan dilindungi.
Namun tidak berarti bahwa kebebasan tersebut bersifat absolut. Dengan demikian, tentunya kebebasan berekspresi memiliki batasan-batasan yang tertentu. Sederhananya, kebebasan personal, akan tunduk kepada batasan-batasan yang dapat mengganggu kebebasan orang lain.
Kebebasan Berekspresi dalam Hukum Positif Indonesia dan Pembatasannya dalam Instrumen Internasional
Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat Indonesia berhak untuk berkumpul, berserikat, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan. Kemudian, pada ayat 28 E disebutkan bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk pengembangan pribadi, dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Sedangkan dalam pasal 29 UU HAM menyebutkan bahwa setiap orang berhak memilih dan meyakini keyakinan politiknya dan mempunyai, mengeluarkan, menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak, maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan dan ketertiban.
Bahkan, dalam instrumen internasional tertera bahwa pelecehan, intimidasi atau stigmatisasi seseorang, termasuk penangkapan, penahanan, mengadili atau memenjarakan karena alasan pendapat mereka, merupakan pelanggaran Pasal 19 Universal Declaration Human Rights.
Terdapat pembatasan yang sangat diperlukan disini, terutama aturan-aturan spesialisasi dan atau ratifikasi dari instrument internasional maupun konvenan hak sipil dan politik internasional. Pembatasan-pembatasan yang dicantumkan dalam instrument internasional terdiri dari tiga faktor, yaitu:
- Berdasarkan Spesialisasi Hukum Internal Negara : Artinya didasarkan pada undang-undang, implementasinya harus sejalan dengan instrument internasional dan berlaku saat pembatasan dilakukan.
- Berdasarkan Demokrasi Masyarakat : Artinya pembatasan-pembatasan ini tidak mengganggu fungsi dari demokrasi rakyat. Kemudian menjunjung tinggi HAM sebagaimana yang telah disepakati dalam konvenan internasional.
- Berdasarkan Proporsionalitas : Artinya dianggap perlu dilakukan dengan tidak mengurungi tujuan atau edensi perlindungan hak tersebut atau melanggar hak yang lain.
International Convenant on Civil and Political Rights dalam pasal 18 dan 19 ayat 3 menyatakan bahwa pembatasan hanya boleh dilakukan dengan tujuan yang sah (legitimate aim) yaitu:
- Ketertiban Umum
- Sejumlah norma yang menjamin berfungsinya masyarakat
- Norma-norma yang melandasi pembentukan masyarakat
- Harus diinterpretasikan dalam tujuan suatu hak asasi tertentu
- Lembaga negara pemilik otoritas menjaga tertib umum dalam melaksanakan wewenangnya dengan tetap tunfuk pada pengawasan parlemen, pengadilan dan badan lain yang kompeten
- Kesehatan Publik
- Ancaman terhadap kesehatan populasi atau anggota populasi dari suatu masyarakat
- Bertujuan khusus untuk mencegah penyakit atau luka atau menyediakan perawatan bagi yang sakit atau terluka
- Moral Publik
- Kewenangan melakukan diskresi (kebebasan mengambil keputusan sendiri)
- Dapat membuktikan bahwa pembatasan penting untuk menjaga nilai-nilai fundamental pada masyarakat
- Tidak menyimpang dari prinsip non-diskriminasi
- Keamanan Nasional
- Terkait dengan eksistensi bangsa, integritas bangsa, territorial, atau kemerdekaan suatu bangsa
- Tidak bisa diterapkan pada ancaman yang bersifat lokal atau ancaman yang relative terisolasi terhadap hukum dan tata tertib
- Tidak dapat dipergunakan sebagai alasan pembenar dalam upaya menekan kelompok oposisi atau perlawanan terhadap represi negara
- Keamanan Publik
- Ancaman terhadap keamanan, nyawa, dan keutuhan fisik atau kerusakan serius atau kepemilikan
- Tidak dapat diteraokan pada pembatasan yang kabur dan sewenang-wenang
- Hanya bisa diterapkan bila terhadap perlindungan yang memadai dan mekanisme pemulihan yang efektif
- Hak atau Reputasi dari Pihak Lain
- Tidak dapat dipergunakan untuk melindungi negara dan pejabat negara dari kritik dan opini publik
- Bila terdapat konflik antar hak, preferensi diberikan kepada hak yang paling fundamental dan tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun
Realita di Lapangan Dalam Penanganan Ujaran Kebencian
Dalam praktiknya, penanganan kasus-kasus tentang ujaran kebencian ini tidaklah mudah. Bahkan dalam beberapa kasus pemidanaan yang dilakukan oleh kepolisian, di satu sisi dianggap mengekang hak kebebasan, dan disisi lain, kasus yang seharusnya dibatasi seringkali tidak tersentuh oleh hukum.
Misalnya, kasus Florence Sihombing di Yogyakarta pada tahun 2015 yang dipidana selama 2 bulan penjara. Sementara orasi kebencian dari kelompok yang superpower yang seringkali untuk mengajak masyarakat untuk melakukan diskriminasi yang secara terang-terangan memberi ajakan untuk menyerang kelompok lainnya, malah luput dari sentuhan hukum.
Kepolisian sendiri mengakui bahwa ada problem internal ketika menerapkan aturan tentang ujaran kebencian ini, khususnya pada anggota kepolisian level bawah, yang bekerja langsung di lapangan dengan berhadapan langsung dengan masyarakat.
Hal ini diantaranya disebabkan oleh mereka yang mengidentifikasi sebagai terduga pelaku ujaran kebencian tersebut adalah tokoh atau pemimpin dari organisasi atau organisasi atau kelompok masyarakat tertentu yang mempunyai anggota atau pengikut dalam jumlah yang besar. Tindakan hukum yang dilakukan mereka, dikhawatirkan dapat memberikan dampak sosial yang besar.
Sementara itu, di tingkatan aturan, harus diakui memang secara unsur dan kategorikal, ketentuan larangan mengenai penyebaran ujaran kebencian masih membuka ruang perdebatan penafsiran. Misalnya tentang perbuatan mana yang sebenarnya memenuhi unsur dan kategori ujaran kebencian berdasarkan kaedah hukum internasional dan nasional.
Sebagai salah satu institusi yang menjadi pokok dalam penegakan hukum dalam kasus ujaran kebencian, Kepolisian merupakan aktor keamanan dan penegakan hukum. Polisi, dengan tugas dan wewenangnya tentu dituntut untuk melakukan pencegahan dan penindakan optimal atas ujaran kebencian.
Karena penebaran kebencian tidak hanya melanggar hukum, namun juga menjadi ancaman terhadap hak asasi, kebebasan, keberagaman di masyarakat. Karena sejatinya ujaran kebencian sendiri adalah faktor penentu dari banyaknya upaya persekusi dan intoleransi yang merebak di seluruh belahan dunia.
Meski demikian, upaya penanganan atas ujaran-ujaran kebencian di ruang publik penting untuk tetap memastikan ruang kebebasan berekspresi di masyarakat, agar tetap merasa aman terlindungi dan tidak dilanggar hak-haknya.
Kepentingan itu bisa terpenuhi jika pola-pola penanganan itu dilakukan secara akuntabel dan mengadopsi prinsip-prinsip HAM. Untuk itu, instrumen HAM telah menyediakan norma standar yang dapat dirujuk oleh pemerintah sebagai panduan bagi penanganan masalah ujaran kebencian.