Mata-mata masih mengintai dari balik tirai kabut senja yang dingin
Beriringan dengan hadirnya kisah seorang perempuan penjaga alam
Berjalan menawan dengan seribu langkah kaki kecilnya
Dia adalah raga tempat saya bernaung selama ini
Yang menggenggam sekeping hati di kala senja
Menggenggamnya sepenuh hati dengan hati-hati
Menyembunyikannya dari tatapan mata-mata misterius yang mengintai
Namun, siapakah saya?
Apakah saya benar-benar ada?
Saya memang pernah dirindukan oleh seorang kakek dan juga seorang nenek
Hingga japa mantra mengalun merdu di setiap jengkal tanah leluhur
Sampai harapan menjadi nyata
Menyambut kehadiran janin suci dalam rahim seorang perempuan
Yang katanya adalah ibu saya
Langit bersorak dan gelegar petir bersahut-sahutan dengan gegap gempita
Tanda bahwa alam pun turut bahagia menyambut kehadiran saya
Sebahagia kicau burung di pagi hari
Ketika langit menawarkan kehangatan sinar sang surya
Dan sedamai senja kala menyuguhkan romantisnya keindahan alam
Di antara puing-puing luka dua anak manusia yang telah kembali merajut asa
Yang mengantarkan kehadiran saya ke hadapan Ibu Pertiwi
Namun, tetap saja saya bertanya dan terus bertanya
Tentang siapakah sejatinya saya
Siapakah saya? Apakah saya benar-benar ada?
Karena ketika saya dilahirkan tak seorang pun mengenali saya
Bahkan sampai raga ini berusia empat tahun
Tak ada satu pun yang mengenali saya
Saya sendiri pun juga tidak tahu siapa saya
Sampai Sang Suksma Kawekas mengirimkan Suksma Sejati
Membisikkan sebuah nama untuk saya
Kepada tangan lembut seorang pelindung
Yang katanya adalah ayah saya yang sejati
Ingatan demi ingatan akhirnya kembali bermunculan
Malam-malam menjadi begitu mencekam disergap kenangan
Kesunyian pun tiba-tiba tercipta dengan sempurna
Dan sekeping hati dalam genggaman masih begitu lembut untuk dilepaskan
Ketika sang pelindung menghilang dari tatapan mata
Hati menjerit dan air mata berlinangan memecah keheningan malam
Ketika itu raga ini berusia empat tahun
Mata-mata misterius datang mengintai dari balik kabut senja sejak saat itu
Waktu itu akhir April menjemput paksa setiap angan
Yang tercipta dari seorang bocah perempuan
Yang harus merelakan mimpi tak berujung nyata di pagi hari
Namun seulas senyum akhirnya mengembang tatkala sang pelindung pulang
Datang kembali mendekap jiwa yang hampa
Dengan membawa sebuah nama untuk dikenali
Tembang Jawa pun kemudian mengalun merdu menyambut kehadiran saya
Dalam balutan kain emas pada raga gadis kecil berusia empat tahun
Meskipun sudah terlalu tua di raga yang mungil
Dengan riasan ringan dan pulasan gincu warna merah
Akhirnya saya pun mulai mencoba mengenali diri saya yang sejati
Namun mimpi bertemu ibu tetap saja datang
Kepada sang pelindung saya sering menanyakan keberadaannya
Dan berakhir penyesalan yang tak berujung
Dalam topeng wajah lugu seorang bocah kecil
Suara hati saya tercekat menyesali pertanyaan itu keluar dari mulut saya
Jelas-jelas ibu sedang bekerja di negeri orang
Entah berapa lama waktu akan membawanya menghilang
Dari mimpi-mimpi di waktu malam
Dan entah mengapa saya selalu saja menanyakan sosok ibu
Yang seharusnya menemani saya
Menggenggam sekeping hati yang terluka tanpa tahu alasannya
Sekeping hati yang selalu menangis
Di tengah malam-malam sunyi dengan sembunyi-sembunyi
Suara hati saya memang selalu terdengar oleh ayah saya
Mungkin karena saya memiliki wajah kejujuran
Yang terkadang malah menyiksa saya
Saya juga tidak pernah bisa berbohong kepada ayah saya
Karena sorot matanya yang begitu lembut
Dan tak mungkin pula saya mendustainya
Karena saya tahu itu akan melukai hatinya
Maka, wajah kejujuran ini akan selalu menjadi berkat bagi saya
Hadiah terindah untuk saya dan juga untuk ayah saya
Penjaga hati yang paling murni dari Sang Suksma Kawekas
Dan saya harus menyadarinya di sepanjang perjalanan waktu
Setiap saat penuh kesadaran dan penuh kesadaran setiap saat
Agar dapat selalu mengukir kisah indah
Antara saya dan ayah saya
Angin segar akhirnya mulai saya rasakan sejak saat itu
Semua memang menjadi berbeda
Ketika orang-orang tercinta mulai mengenali saya
Dan seorang kakek yang tak lagi menatap kehangatan senja
Pada akhirnya mengenali diri saya yang sejati setelah berada di Nirwana
Karena kata ayah saya, saya adalah melati yang terlempar dari Nirwana
Hadir membawa kehangatan untuk semesta
Dengan keharuman yang menawan
Bagai senja dengan warna jingganya
Saya masih menggenggam sekeping hati ini dengan hati-hati
Agar hati tidak mengkhianati nurani
Sampai kecemasan dan ketakutan tak lagi menghantui
Hingga luka-luka batin lebur di dalam keikhlasan
Oleh penyembuh-penyembuh dari dalam diri
Yakni keberanian mengakui dengan jujur, apa adanya, dan tanpa pamrih
Mengakui pesona yang ada dan juga kelemahan yang menyertai
Kini saya telah menyadari tentang sesuatu
Ternyata ada sebuah kunci menuju jalan yang indah untuk saya
Tatkala hati mengkhianati nurani
Tatkala ada pertentangan antara hitam dan putih di dalam diri
Kunci itu adalah cermin
Cermin yang dapat menunjukkan wajah kejujuran
Yang telah menjaga saya selama ini
Wajah kejujuran kini tak lagi menyiksa
Tatkala saya menyadari bahwa itu adalah sebuah berkat
Yang tak hanya sekadar mengungkap kejujuran
Namun rasa syukur yang tak terkira
Yang telah mengukir kisah indah antara saya dan ayah saya
Yang selalu meminta saya bercermin semasa saya kecil
Tiap kali hati mengalami kegundahan
Dan tentang ibu saya
Kuhormati ia sebagai sesama ciptaan
Hitam dan putihnya pun telah lebur di dalam keikhlasan
Tak seharusnya saya menuntutnya untuk selalu hadir
Menemani saya menggenggam sekeping hati ini
Menjaganya agar tidak mengkhianati nurani
Ternyata saya salah...
Ibu telah menemani saya
Ibu telah memelihara dan merawat saya
Bahkan telah memberi kekuatan kepada tangan saya
Untuk dapat menjaga hati suci di dalam genggaman
Karena kata ayah saya
Sejatinya ibu saya adalah Alam
Dan saya menyebutnya dengan Ibu Pertiwi
Mata-mata masih mengintai dari balik tirai kabut senja
Keikhlasan dan tahu diri itu ternyata lekat bagai hati dan empedu
Kini saya akan menjaga Ibu dengan sepenuh hati
Ibu Pertiwi yang telah tanpa pamrih memelihara segenap yang hidup
Setelah jiwa dan raga ini telah selaras
Di bawah naungan kesadaran murni
Untuk memayu hayuning diri
Memayu hayuning kaluwarga
Memayu hayuning sesama
Dan memayu hayuning bawana
Hari ini ribuan senja telah berlalu dan wajah kejujuran masih di sini
Memberi kekuatan melepas sekeping hati dari genggaman
Karena ia telah utuh untuk kembali ke semesta
Ketika jiwa dan raga telah nyawiji
Sukmo adalah nama saya, jiwa dari raga putri Ibu Pertiwi
Saya adalah jiva
Saya adalah benih kehidupan
Yang terlahir baru disaksikan mata-mata indah
Dari balik tirai kabut senja gunung Sakya
Selamat Hari Bumi
Bandungan, 22 April 2023