Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) disebut juga Computer Based Test (CBT) adalah sistem pelaksanaan ujian nasional dengan menggunakan komputer sebagai media ujiannya. Dalam pelaksanaannya, UNBK berbeda dengan sistem ujian nasional berbasis kertas atau Paper Based Test (PBT) yang selama ini sudah berjalan.
UNBK pertama kali dilaksanakan pada 2014 secara online dan terbatas di SMP Indonesia Singapura dan SMP Indonesia Kuala Lumpur (SIKL). Penyelenggaraan UNBK di kedua sekolah tersebut cukup menggembirakan dan semakin mendorong untuk meningkatkan literasi siswa terhadap TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).
Selanjutnya, secara bertahap pada 2015 dilaksanakan rintisan UNBK dengan mengikutsertakan sebanyak 556 sekolah yang terdiri dari 42 SMP/MTs, 135 SMA/MA, dan 379 SMK di 29 provinsi dan luar negeri.
Sampai saat ini, berdasarkan laman resmi Kemdikbud soal UNBK, pelaksanaan UNBK 2018 SMA ini dibagi menjadi tiga sesi. Sesi pertama dilakukan pada pukul 07.30-09.30, sesi dua pada 10.30-12.30, dan sesi tiga pada 14.00-16.00.
Salah satu yang menjadi sorotan para siswa dalam pelaksanaan UNBK adalah implementasi soal-soal dengan tingkat kesulitan tinggi atau HOTS (High Order Thinking Skill).
Namun, selama pelaksanaan UNBK pada tahun ini berbagai permasalahan muncul, mulai dari gangguan server, kurang siapnya tim teknis UNBK, serta komputer yang tidak mencukupi. Sehingga dalam pelaksanaan ujian nasional, siswa dilanda kebingungan dan panik ketika mengalami permasalahan pada komputernya.
Sudah pusing menghadapi ujian, ditambah pusing ketika ada masalah disaat mengerjakan ujian nasional.
Selain permasalahan teknis dalam permasalahan UNBK, pelaksanaan UNBK di tingkat SMA, mendapatkan kritik dari peserta didik dikarenakan soal-soalnya dianggap sulit dan tidak sesuai dengan kisi-kisi yang diberikan guru dan pelajaran yang diterima di sekolah.
Penyebab tentunya, peserta didik merasa dirugikan karena, apa yang mereka pelajari selama tiga tahun tidak keluar pada saat UNBK. Pada hakikatnya tujuan dari ujian adalah mengukur kemampuan peserta didik, jadi bagaimana dapat mengetahui kemampuan peserta didik, jika soal yang keluar tidak sesuai apa yang dipelajari?
Dalam hal ini pemerintah terutama Kemendikbud sebagai penyelenggara pendidikan di Indonesia bertanggung jawab penuh terhadap permasalahan pendidikan, khususnya dalam pelaksanaan UNBK. Agar peserta didik tidak menjadi korban akibat kurangnya persiapan dalam menghadapi UNBK.
Tentunya, kejadian ini bisa dijadikan pembelajaran dan perbaikan, agar tidak terulang lagi pada saat pelaksanaan UNBK tahun depan. Tujuan dengan adanya UNBK ini untuk mempermudah dalam proses penilaian guru, menghemat biaya, serta dapat menghemat kertas.
Namun, pemerintah sebaiknya mempersiapkan dari mulai berbagai hal seperti, fasilitas komputer yang memadai, jaringan internet yang stabil, serta keadaan server yang aman. Sehingga peserta didik dapat mengerjakan soal dengan aman dan tidak mengalami permasalahan.
Kondisi ujian yang tegang, jika ditambah masalah teknis, akan menambah beban peserta didik. Bahkan di tahun 2019 akan mengalami peningkatan sekolah yang menerapkan UNBK.
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pelaksanaan UNBK memiliki beberapa kebijakan baru. Beberapa kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan RI terkait pelaksanaan UN, yaitu UN tetap dilaksanakan. UN tidak menentukan kelulusan.
Peserta didik yang berkebutuhan khusus tidak wajib mengikuti UN. Mutu Ujian Sekolah ditingkatkan menjadi USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) untuk beberapa mata pelajaran, menjadikan UNBK sebagai mainstream pelaksanaan UN.
Memang ini merupakan “kemauan baik” dan kebijakan Mendikbud yang layak disambut positif. Meskipun pada UN tahun lalu sudah diujicoba, tetapi pola implementasinya masih samar-samar. Melalui surat edaran itu, setidaknya sudah tergambar bagaimana desain implementasi UNBK pada tataran praksis. Nah, tulisan ini mencoba untuk menganalisis secara sederhana “terobosan” Mendikbud dari sisi plus dan minusnya.
Diakui atau tidak, selama ini sejarah UN Berbasis Kertas kerap menimbulkan kisah pahit, mulai kebocoran soal, mahalnya biaya, sindroma guru, hingga rendahnya kompetensi lulusan. Kisah itu selalu berulang hingga menjadi rutinitas peristiwa yang memilukan setiap tahun.
Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa UNBK bebas kekurangan. Setidaknya sekolah harus memiliki perangkat komputer dan server yang mampu melayani kepentingan siswa didik selama UN berlangsung.
Walaupun kebijakan UN sudah beberapa kali berubah, di antaranya UN bukan lagi sebagai satu penentu kelulusan tetapi hanya sebagai pemetaan saja dan UN dipermudah, siswa tetap mengerjakan tiga mata pelajaran wajib dan satu mata pelajaran pilihan, tetapi UN masih sakti mandraguna membuat pelaksananya harus mati-matian berjuang dalam menghadapinya.
Namun, pro dan kontra atas kebijakan pelaksanaan UNBK 2018 terus saja berlanjut. Mulai dari sarana dan prasarana di beberapa sekolah belum memadai dan terkesan dipaksakan, juga hasil yang didapatkan dari UN tersebut.
Negara perlu sebuah standar untuk melihat sejauh mana kemampuan anak-anak bangsa dalam hal pendidikan. Tanpa standarisasi, maka bisa dipastikan Indonesia akan tertinggal dengan negara-negara tetangga lainnya.