Hubungan Internasional (HI) merupakan salah satu disiplin cabang dari ilmu politik. HI termasuk studi yang multidisipliner dan lahir di Barat – berimplikasi pada orientasinya yang cenderung didominasi oleh kepentingan Barat. Meski demikian, studi HI bukan merupakan disiplin ilmu yang berfokus pada urusan Barat semata.
Dominasi Barat kini sudah mulai meredup, seiring dengan dunia yang mulai beranjak ke multipolarisme. Akan tetapi, sebuah ilmu yang dianggap eksklusif hanya dapat terjadi di Barat tak ada bedanya dengan penjajahan ilmu pengetahuan; bak kolonialisme yang terjadi di masa lampau.
Pelbagai pandangan dalam studi HI pun muncul, mengupayakan pengayaan perspektif. Lebih dari itu, kebangkitan perspektif tersebut juga dimaksudkan dalam mengakomodir kepentingan yang sebelumnya belum pernah tersorot. Salah satu di antaranya adalah perspektif Islam.
Definisi Studi Hubungan Internasional (HI)
HI merupakan studi mengenai interaksi antar sejumlah aktor yang berpartisipasi dalam politik global; termasuk diantaranya negara, organisasi internasional (baik yang pemerintah maupun nonpemerintah), kesatuan subnasional semisal birokrasi dan pemerintah domestik, hingga individu.
HI juga dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari, menjabarkan, memprediksi, serta menjelaskan relasi antarmasyarakat hingga antarnegara. HI lahir dari pelbagai perspektif filosofis dan pendekatan multidisipliner. Kemunculan HI pun sedianya bermaksud menjadikan dunia lebih baik tanpa peperangan.
Sebagai sebuah studi yang muncul dari peradaban Barat, analisis serta teori-teori yang dikembangkan dalam HI jelas melekat dengan pengalaman, kebudayaan, logika, hingga pandangan umum masyarakat Barat. Hal ini dapat dilihat bahwa rujukan utama dari ilmu pengetahuan modern, termasuk HI, selalu dilekatkan dengan kebudayaan Yunani dan Romawi. Diskursus mengenai asal mula kodifikasi Ilmu HI selalu dikaitkan dengan tulisan sejarawan Romawi, Thucydides, melalui bukunya The History of the Peloponnesian War.
Usaha pengayaan perspektif non-Barat kian digiatkan. Hal ini didasarkan fakta historis bahwa banyak peradaban lain yang berkembang dan sebetulnya layak dijadikan rujukan, semisal di Tiongkok (strategi militer Sun Tzu), bumi Hindustan (seni perundingan Raja Chandragupta), hingga Babilonia (hukum Raja Hammurabi). Oleh sebab itu, terdapat indikasi adanya kecenderungan hegemoni kepentingan Barat dalam memonopoli perspektif dan metodologi keilmuan studi HI.
Relasi Nilai-Nilai Islam dan Studi HI
Integrasi Islam dalam Studi HI merupakan hal yang wajar dan sepatutnya dilakukan. Berdasarkan pandangan Islam, hubungan internasional tidaklah bebas nilai. Berbagai aktor – baik manusia, kelompok, hingga negara, mesti menyadari bahwa hubungan internasional dibangun dengan pengarusutamaan nilai-nilai ketuhanan juga kemanusiaan. HI diatur dalam sejumlah nilai dan norma yang dilandaskan pada landasan normatif – dalil syariat (al-Qur'an dan Sunnah), serta landasan praktis (kebijakan-kebijakan politik Nabi Muhammad SAW.) yang menjadi pertimbangan setiap aktor.
Tujuan praktisnya pun mesti berorientasikan pada kemaslahatan (mashalih) umat manusia.Terdapat delapan nilai yang mesti diatur dalam HI berdasarkan perspektif Islam: 1) tauhid; 2) khilafah; 3) ibadah; 4) ilmu; 5) halal dan haram; 6) keadilan; 7) istishlah (kemaslahatan); serta 8) ‘adam al-dhaya (pertimbangan keuntungan negara). Selain itu, terdapat tujuh norma dalam konsep hubungan internasional Islam: 1) solidaritas; 2) kesejahteraan; 3) zero discrimination; 4) antiintervensi; 5) nonblok; 6) kedaulatan; juga 7) kepatuhan hukum.
Perspektif Islam sudah selayaknya digalakkan menjadi perspektif alternatif dari pelbagai mazhab keilmuan dalam studi HI. Islam memiliki konsepnya yang tersendiri dengan mengutamakan perdamaian dan hanya berperang hanya dalam sikap defensif.
Perspektif Islam juga menekankan penghormatan pada duta atau diplomat negara lain serta menghormati perjanjian yang telah disepakati. Islam memiliki pandangan yang khas mengenai peperangan: hanya berperang apabila keberadaan Islam sudah terancam, serta berperang dengan tetap taat pada aturan (mirip dengan hukum perang modern).
Upaya Integrasi Perspektif Islam dalam Studi HI
Dalam paradigma Islam, Nabi Muhammad SAW. merupakan tokoh pemimpin agama sekaligus politik, utamanya di Jazirah Arab. Mengenai konteks politik internasional, zaman kepemimpinan Rasulullah SAW. juga ditandai dengan berbagai pencapaian politik terutama setelah terbentuknya Piagam Madinah hingga peristiwa Fathul Makkah.
Negara pimpinan Rasulullah SAW. tersebut juga berusaha membangun hubungan politik dengan Byzantium, Mesir, hingga Persia. Fakta sejarah tersebut menegaskan bahwasanya, dalam konteks politik, pelbagai pencapaian Rasulullah SAW. disebabkan ikhtiarnya dalam segi kepemimpinan, strategi, pemahaman geopolitik, hingga kemampuan diplomasi.
Kajian HI bertransformasi menjadi disiplin ilmu dengan cakupan yang lebih luas seiring waktu. Diskursus dalam HI tidak lagi hanya berbicara soal perang dan perdamaian, melainkan pula tentang budaya, masyarakat sipil, bahkan pendidikan. Selain cakupan bahasan, perkembangan dalam disiplin ilmu HI juga meliputi perluasan perspektif non-Barat dalam HI.
Akan tetapi, terdapat tantangan dalam upaya tersebut dikarenakan bentuk dari konsep non-Barat yang masih berserakan, tidak sistematis, serta sebagian besar tidak mudah diakses. Melalui berbagai produk keilmuan, akademisi berupaya untuk menyoal dominasi teori-teori Barat dalam studi HI dan mengenalkan tradisi keilmuan non-Barat kepada para penggiat studi HI di Barat.
Pengetahuan keislaman – khususnya dalam konteks integrasi dengan HI, mesti dipandang sebagai bagian dari warisan pengetahuan Islam terutama dalam bidang politik, sehingga wacana ini akan berkembang dan turut menyemarakkan proses kontekstualisasi diskursus dalam perdebatan mengenai HI.
Hal ini pula yang mendorong berdirinya berbagai program studi HI yang bernuansa khas keislaman di Indonesia, seperti di Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Darussalam (Unida), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan sebagainya. Beberapa program studi tersebut mendorong adanya internalisasi nilai-nilai keislaman dalam studi HI melalui kurikulum, diskusi ilmiah, konferensi, hingga publikasi penelitian.
Contoh lainnya adalah terbentuknya The Indonesian Islamic Studies and International Relations Association (Insiera); sebuah asosiasi warga akademik dari berbagai belahan Indonesia yang bertujuan untuk mendalami relasi dan kontribusi dirasah Islamiyah (studi keislaman) terhadap ilmu HI juga mempromosikan nilai-nilai dan perspektif Islam dalam studi HI di Indonesia.
Keberadaan wadah ini menunjukkan adanya peningkatan animo masyarakat akademik terhadap integrasi Islam dalam studi HI juga upaya dalam menyebarluaskannya ke khalayak. Manifestasi gagasan ini pula dapat ditemukan dari munculnya berbagai jurnal dan penelitian yang berfokus pada hubungan antara studi keislaman dan HI.
Untuk meringkasnya, Islam dalam HI adalah perspektif yang unik. Menurut Islam, HI tidaklah bebas nilai, melainkan diatur dalam sejumlah nilai dan norma yang didasarkan pada landasan normatif serta praktis. Tujuan pelaksanaannya pun mesti berorientasikan pada kemaslahatan (mashalih) umat manusia secara umum.