Indonesia merupakan negara kolonial negara-negara Eropa. Salah satu negara Eropa yang menjajah Indonesia adalah Belanda. Belanda juga negara yang dikatakan dalam sejarah sebagai negara terlama yang menjajah Indonesia.
Pada zaman kolonial, Indonesia mengalami berbagai penderitaan dalam bidang kehidupan akibat penjajahan Belanda karena adanya sistem dan aturan yang merugikan masyarakat Indonesia. Salah satunya pada pendidikan.
Zaman kolonial Belanda, masyarakat Indonesia sulit mendapatkan pendidikan yang adil. Hal ini dikarenakan pemerintah Belanda menerapkan sistem baru, yaitu politik etis.
Menurut Mulyono, politik etis dapat disebut politik haluan utama. Politik etis merupakan upaya pemerintah Belanda dalam memperbaiki masalah sosial maupun ekonomi. Dalam politik etis, ada beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Belanda, yaitu (edukasi), irigasi (pengairan), dan transmigrasi (perpindahan penduduk).
Kebijakan politik etis berupa pendidikan memberikan perubahan kondisi zaman kolonial tersebut. Adanya pendidikan membawa pengaruh terbentuknya beberapa organisasi pergerakan dalam bidang pendidikan, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan lain sebagainya.
Pada zaman itu juga muncul Balai Pustaka sebagai lembaga penyeleksi bacaan rakyat yang berada di bawah naungan kolonial Belanda. Balai Pustaka akan menolak terbit apapun bacaan liar yang dianggap merendahkan atau menjatuhkan kolonial Belanda. Salah satu bacaan yang sempat ditolak oleh Balai Pustaka adalah karya yang dibuat oleh Mas Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hidjo.
Novel Student Hidjo terbit pada tahun 1919 yang merupakan cerita bersambung dan menggunakan Ejaan Van Ophuijsen. Novel ini pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena dianggap dapat membnagkitkan semangat nasionaisme. Novel tersebut menceritakan seorang remaja yang berasal dari pribumi (timur) yang dapat menempuh pendidikan di sekolah Belanda (Barat).
Dalam novel ini diceritakan perjuangan ayah Hidjo, Raden Protonojo menyekolahkan Hidjo untuk mendapatkan gelar insinyur hingga ke negeri Belanda meskipun di tengah perjalanan Hidjo tidak melanjutkan lagi pendidikannya di Belanda.
Dalam novelnya dapat dilihat pada kutipan berikut:
“...Pikirkanlah, zaman sekarang ini, anak-anak lelaki harus mempunyai kepandaian yang sepantasnya. Sebab kalau tidak begitu, anakmu akan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Benar, Hidjo sudah tamat belajarnya di HBS, tetapi karena rupanya dia sangat maju dalam belajarnya dan pikirannya tajam, maka sebaiknya dia saya suruh meneruskan belajarnya agar menjadi ingenieur di negeri Belanda...” (halaman 1-2)
Kutipan novel di atas memberikan sedikit gambaran betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan. Dalam novel tersebut tujuan ayah Hidjo, Raden Protonojo semangat menyekolahkan Hidjo hingga menjadi insinyur adalah untuk meninggikan derajat keluarga agar tidak selalu dipandang rendah oleh orang lain.
Hal ini sesuai dengan bagaimana pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia dalam membangun masyarakat. Melalui pendidikan, masyarakat dapat melakukan transformasi budaya, menciptakan tenaga kerja, menciptakan alat kontrol sosial, dan sebagainya.
Perjuangan dan semangat Raden Protonojo dalam menyekolahkan Hidjo ke Belanda untuk menaikkan derajat keluarga dapat dilihat dalam kutipan novel berikut:
“Saya ini hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouverment. Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai gouverment, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar dan petani. Maksud saya mengirimkan Hidjo ke negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja.” (halaman 3)
Pada zaman kolonial sendiri, bangsa Indonesia sulit mendapatkan pendidikan yang sama seperti bangsa Belanda karena adanya tingkatan golongan yang dibuat oleh bangsa Belanda. Bagi bangsa Belanda, derajat pribumi harus berada di bawah bangsa Belanda. Oleh sebab itu, Mas Marco dalam novel Student Hidjo menafikkan bahwa pribumi juga bisa menempuh pendidikan yang tinggi meskipun banyak perjuangan yang harus dilewati.
Pendidikan pada masa kolonial Belanda merupakan salah satu bukti kemerdekaan Indonesia dalam bidang pendidikan. Proses pendidikan yang berlangsung pada zaman kolonial ini karena adanya ketidakpuasan bangsa Indonesia mendapatkan hak di bidang pendidikan.
Pada zaman kolonial, pendidikan memiliki tujuan untuk membuat bangsa Belanda semakin sejahtera meskipun ada beberapa pribumi terbatas bisa menempuh pendidikan. Oleh karena itu, tercipta kebijakan politik etis memberikan dampak bagi kemerdekaan bangsa Indonesia dalam mendapatkan pendidikan, meskipun ruang lingkupnya masih dibatasi.
Beberapa golongan atau kalangan dari Indonesia yang dianggap layak dapat bersekolah di sekolah Belanda. Pada masa itu, HBS adalah salah satu sekolah yang dianggap bisa menjadikan bangsa Indonesia (pribumi) menjadi seorang bangsawan (priyayi).
Pendidikan pada masa kolonial Belanda dalam novel Student Hidjo dapat dilihat pada kutipan berikut:“Apa masih perlu kita memikirkan hal itu, Kanda?” kata Raden Nganten. “Toh, Hidjo sudah cukup sekolahnya untuk bisa menjadi priyayi. Dan kalau saya pikir, kepandaiannya juga melebihi anak-anak pangeran dan regent...” (halaman 3)
Referensi:
Susilo, Agus. “Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya Pergerakan Bangsa Indonesia”, Jurnal Historia, Vol. 6, No.2, 2018.
Wayan, I Cong Sujana, “Fungsi dan Tujuan Pendidikan Indonesia”, Jurnal Pendidikan Dasar: Adi Widya, Vol. 4, No. 1, 2019.
Zikir, Nando Mahattir, dkk., “Resistensi dalam Novel Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo: Kajian Poskolonial”, Jurnal Semiotika, Vol. 22, No, 1, 2021.