Munculnya pandemi Covid-19 di Indonesia dua tahun lalu, cukup mempererat tali silaturahmi antara teknologi dengan pendidikan. Termasuk di perguruan tinggi. Intensitas penggunaan aplikasi pembelajaran daring oleh mahasiswa semakin meningkat, setelah disokong kebijakan pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri No. 01/KB/2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah selama karantina.

Perkuliahan daring atau juga dikenal dengan e-learning secara teknis merupakan pendistribusian materi kuliah lewat jalur internet. Dalam buku E-Learning; Konsep dan Aplikasinya, Kadek Suartama menyebut bahwa e-learning bertujuan untuk mewujudkan ekosistem pembelajaran yang lebih flexible dan distributed. Dengan kata lain, tujuannya ialah agar materi perkuliahan dapat disalurkan dengan baik serta mudah dipahami oleh mahasiswa.

Kendala yang dihadapi Mahasiswa

Akan tetapi, target pembelajaran daring itu sendiri ternyata belum sesuai dengan harapan. Masih banyak mahasiswa yang belum siap menerapkan konsep e-learning ini. Mereka lebih memilih perkuliahan luring daripada daring.

Hasil survei Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2020 lalu menyatakan bahwa mayoritas mahasiswa di Indonesia merasa kesulitan menjalani kuliah daring. Survei yang melibatkan 230 ribu responden dari 32 provinsi itu, mengungkap sekitar 60 persen mahasiswa tidak siap kuliah daring karena terkendala jaringan internet.

Selain masalah jaringan, mahasiswa juga kerap mengeluhkan kemampuan dalam mengakses e-learning. Di Kota Tual, Provinsi Maluku sendiri, aplikasi macam Google Classroom, Zoom, Spreadsheet, dan sejenisnya, masih belum bisa dioperasikan dengan baik. Masalah ini saya rasakan sendiri ketika melaksanakan proses belajar mengajar secara daring bersama mahasiswa.

Pada mulanya, pembelajaran memang berjalan secara luring di kelas. Namun, setelah dua kali pertemuan tatap muka, saya harus ke luar kota untuk tugas belajar. Maka suka atau tidak, saya perlu mendesain kelas baru yang modelnya daring. Dari situlah awal mula perkuliahan ditempuh secara jarak jauh.

Perubahan tersebut ternyata berimplikasi terhadap penurunan semangat belajar mahasiswa. Kondisi ini dipertegas lagi dengan penurunan kuota peserta di kelas. Jumlah peserta yang ikut belajar di kelas daring, tidak pernah lebih dari 15 orang. Padahal, jumlah keseluruhan  mahasiswa dalam satu kelas mencapai 30 orang.

Respons Mahasiswa

Setelah merasa ada yang mesti diperbaiki, maka di pertemuan terakhir perkuliahan, saya lantas melalukan evaluasi pembelajaran dengan meminta feedback atau respons dari mahasiswa.

Evaluasi pembelajaran penting untuk dilakukan, seperti yang disebut Anas Sudiono dalam Bukunya Pengantar Evaluasi Pendidikan, bahwa evaluasi pembelajaran bertujuan untuk menilai proses belajar mengajar yang telah berjalan melalui pengukuran secara kualitatif atau kuantitatif. Saya bertanya langsung kepada mahasiswa seputar pengalaman mereka mengikuti perkuliahan daring ini.

Hasil evaluasi pembelajaran yang saya peroleh dari mahasiswa, setelah mengikuti sekitar 9 pertemuan daring kemarin, memang masih tergolong fundamental. Masalah yang dialami mahasiswa adalah mengenai kurangnya kemampuan penyesuaian diri dengan metode perkuliahan daring dan masalah penggunaan e-learning.

Mereka merasa belum terbiasa dengan perkuliahan daring, sehingga butuh lebih banyak waktu untuk menyesuaikan pemahamannya dengan materi yang dijelaskan dosen. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerja sama yang baik dalam hal komunikasi dua arah antara dosen dengan mahasiswa yang intens.

Kemudian, menyoal kendala kemampuan penggunaan e-learning. Hal seperti ini juga kerap dialami peserta kuliah daring kategori pemula. Namun, mengingat bahwa program e-learning ini sangat penting dalam pemanfaatan teknologi pembelajaran daring, maka baik dosen maupun mahasiswa harus terus meningkatkan kemampuan pengoperasiannya.

S. O. Kosassy dalam penelitiannya yang berjudul Model Pembelajaran Kobeko Berbasis Web Blog (Balada Pendidikan Tinggi di Masa Kepungan Wabah Covid-19) menuturkan bahwa, aplikasi pembelajaran daring tetap dibutuhkan di masa seperti sekarang. Tinggal bagaimana menentukan metode yang tepat untuk diajarkan kepada mahasiswa saja.

Strategi untuk Mengatasi Masalah

Problem penyesuaian metode belajar serta kemampuan mengakses e-learning, bisa diatasi dengan prosedur yang sistematis, komprehensif, dan sustainable. Maksudnya adalah pelaksanaan pembelajaran daring yang didukung regulasi kampus, didukung fasilitas penunjang, dan didukung dengan pembinaan rutin berkelanjutan.

Regulasi disiapkan untuk dosen yang ditunjuk sebagai pelaksana teknis dalam melakukan penelitian dan pengembangan pembelajaran daring di kampus. Tugas dari tim ini adalah mendesain sistem atau metode yang relevan bagi mahasiswa dalam penyesuaian pembelajaran daring, khususnya pada kemampuan pemanfaatan e-learning.

Selanjutnya adalah menyiapkan fasilitas pendukung yang layak untuk mendukung proses pembelajaran daring ini. Misalnya dengan peningkatan kapasitas jaringan internet kampus serta pembaharuan prasarana laboratorium komputer, sehingga mahasiswa tidak lagi kesulitan mengakses kelas daring di kampus.

Terakhir, yakni pembinaan rutin dan berkelanjutan kepada dosen dan mahasiswa. Pelatihan bisa difokuskan pada konsep, metode, hingga persiapan penerapan pembelajaran berbasis e-learning. Pelatihan ini juga meliputi pengenalan fitur terbaru dari aplikasi pembelajaran seperti yang ada pada Google Classroom, Zoom, Spreadsheet, dan lain-lain.

Perlu diperhatikan bahwa proses belajar mengajar menggunakan e-learning harus terus dibiasakan. Mengingat saat ini kita sudah hidup dalam era keterbukaan informasi. Cepat atau lambat, semua manusia pasti membutuhkan teknologi sebagai instrumen dalam membantu menyelesaikan pekerjaannya. Ini bukan soal bisa atau tidaknya seseorang mengakses teknologi, melainkan siapa yang paling cepat beradaptasi dengan pelbagai perangkat mainstream saat ini.

AR Renhoran Akademisi dan Penulis Lepas.