Pada abad ke-3 SM, Zeno dari Citium mencetuskan suatu ide besar yang bisa dikatakan sebagai antitesis dari overthinking. 

Ide itu oleh orang Yunani disebut "Stoa" atau Stoikisme. Stoikisme dalam hal ini adalah satu dari sekian banyak aliran atau mazhab didalam Filsafat Yunani Kuno.

Stoikisme selalu bergerak di dalam hal menyangkal keterpurukan, dengan rasionalitas yang kuat yang dengan logikanya membagi beberapa hal ke dalam dua dimensi, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal.

Kedua dimensi ini masing-masing mengandung mengandung beberapa hal yang sifatnya selalu bertolakbelakang.

Dimensi internal adalah tempat bagi hal-hal yang terkontrol oleh diri sendiri , seperti: keputusan untuk melakukan sesuatu dan tingkah laku.

Sedangkan dimensi eksternal adalah sebaliknya, ia adalah lokasi bersemayamnya hal-hal yang tidak dapat dikontrol oleh diri sendiri, contoh dari hal tersebut adalah: tanggapan dan pendapat orang lain mengenai kita sebagai individu yang menjalani hidup.

Dari dua dimensi tersebut kita dapat menarik suatu kesimpulan, bahwa tanggapan miring dari orang lain mengenai cara hidup yang kita jalani tidak perlu dipedulikan.

Karena pada dasarnya hal itu adalah kandungan dari dimensi eksternal yang oleh kita sendiri tidak dapat dikontrol.

Lalu yang dapat dikontrol adalah tingkah laku kita, agar sejalan dengan prinsip tidak peduli terhadap tanggapan orang lain, kita juga harus bertingkah laku baik agar tidak merugikan orang lain, hal inilah yang ada di dalam dimensi internal.

Tidak peduli dengan tanggapan miring dari orang lain karena kita tidak membuat ia rugi adalah suatu keuntungan.

Dari banyak hal yang dapat kita lakukan setiap hari, tentu harus berdampak baik bagi diri sendiri.

Stoikisme menganjurkan kita untuk menyelami diri dan pikiran sendiri lebih dalam, agar nantinya yang dapat dilakukan tidak menjadi "Boomerang" bagi diri sendiri.

Atau agar "Senjata tidak makan tuan." dari hal ini kita melihat bahwa: berpikir sebelum bertindak adalah salah satu bukti dari rasionalisme kaum Stoa.

Kaum Stoa sangat menyadari hal itu. Dimana sadar diri adalah hal penting. Dulu, orang paling berkuasa di Kekaisaran Romawi, yakni: Marcus Aurelius akan dengan patuh meluangkan waktu untuk mencatat pengamatan dan perasaannya baik dalam perang maupun dalam damai, guna mengingat diri sendiri, hal ini kemudian kita kenal sebagai 'Meditasi'.

Keterangan di atas adalah tindakan refleksi diri. Tindakan ini juga dapat membuat kita lebih banyak bersyukur, karena dari tindakan inilah kita memahami bahwa Tuhan itu maha baik.

Stoikisme juga mengajarkan kita untuk dapat menerima kenyataan pahit. Dengan cara berpikir membayangkan sesuatu yang buruk bisa saja terjadi.

Dari cara berpikir ini kemudian kita dapat menerima kenyataan yang pahit atau buruk dan jika yang datang adalah kenyataan yang baik, maka disitulah kebahagiaan sejati terjadi.

Keterpurukan adalah musuh sejati dari Stoikisme, maka dari itulah terlalu ambisius atau terlalu optimis adalah hal yang dilarang oleh Stoikisme.

Karena dapat mengakibatkan keterpurukan yang teramat sakit dengan waktu yang teramat lama, karena sesuatu yang diimpikan tidak dapat dicapai.

Pada dasarnya manusia itu terbatas dan tidak dapat sama persis dengan manusia lain, maka dari itu iri adalah penyakit bagi Stoik dan Stoik juga menganjurkan untuk tidak ber- ekspektasi terlalu tinggi atau berharap secara berlebihan.

Karena alam telah memberikan segala hal baik dengan porsi masing-masing, dan segala hal buruk sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Stoikisme selalu percaya bahwa segala sesuatu itu bersifat fana dan kapan saja bisa hilang bahkan lepas genggaman. 

Stoikisme sadar hidup itu fana, maka stoikisme ada sebagai pedoman bagi manusia agar tidak berlebihan dalam menikmati kesenangan.

"Cukuplah aku hidup dengan bumi, langit, dan sebuah jubah." Semboyan kesederhanaan Epictetus ini menggambarkan bahwa hidup yang ideal adalah hidup yang dijalani dengan apa adanya atau secukupnya.

Semboyan Epictetus tersebut seolah mengucapkan bahwa hidup dengan sederhana atau secukupnya adalah pilihan yang layak daripada menjadi seorang yang hedonis.

Seneca pernah berkata: "Yang miskin bukanlah ia yang memiliki terlalu sedikit, tetapi ia yang menginginkan lebih." 

Dari perkataan Seneca itu, kita dapat menyerap hal-hal baik, bahwa secukupnya itu wajar dan ketamakan harus dihindari.

Seneca beranggapan bahwa kekayaan itu tidak lagi mengenai sedikit atau banyaknya jumlah harta yang kita miliki, tapi tentang seberapa bersyukurnya kita dengan harta yang kita miliki.

Karena selalu ada manusia yang dengan harta berlimpah tidak hidup bahagia dan adapula yang sebaliknya, yang dengan harta pas-pasan ia mampu merasa cukup.

Itu semua kembali kepada diri sendiri, karena Anda atau Saya mempunyai opsi untuk memiliki harta yang berlimpah atau harta yang secukupnya.

Namun yang paling penting adalah kemampuan untuk mengelola rasa agar tetap bersyukur atas apapun yang dimiliki saat ini.

Dari hal tersebutlah kita dapat memahami bahwa Stoikisme mengharuskan manusia untuk menjadi individu yang otonom, yang tetap bersyukur dalam segala hal.

Maka jalanilah yang terbaik dan siap menghadapi yang terburuk. Dan perlu diingat: sederas apapun hujan bunga tetap tumbuh.