Beberapa waktu yang lalu dunia maya sempat diramaikan dengan munculnya video seorang mahasiswa pascasarjana UI yang berbicara di depan gedung rektoratnya lengkap dengan jas almamater berwarna kuning, video tersebut bertajuk Tolak Ahok, Tolak Pemimpin Kafir.

Meskipun menuai perdebatan di kalangan netizen, kemunculan video-video serupa tidak berhenti sampai di situ. Seorang mahasiswa dari UNJ dan IPB melakukan langkah sejenis, tidak ketinggalan dengan mengenakan jas almamater mereka.

Bagi saya, konten video-video mereka sama sekali tidak asing. Sebagai lulusan salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung saya pernah berdiri dalam satu barisan bersama mereka. Meski bukan kader yang layak diperhitungkan sehingga diamanati untuk melakukan ‘pertunjukan’ seperti dalam video-video tersebut, tapi setidaknya saya cukup tahu tentang isi kepala mereka bahkan pernah memiliki isi kepala mereka sebagai isi kepala saya.

Para pembuat video ini tergabung dalam Gerakan Pembebasan yang berakar pada salah satu organisasi yang mengaku sebagai partai politik internasional non-parlementer[1] yang kiprahnya banyak menyebar di universitas-universitas negeri dan merekrut para mahasiswa.

Mereka yang biasa menyebut dirinya sendiri sebagai mahasiswa ideologis ini biasanya menyebarkan buletin berisi kritikan yang dilontarkan terhadap berbagai macam kebijakan pemerintah.

Organisasi ini seringkali melakukan pernyataan sikap anti demokrasi seperti yang disuarakannya dalam video-video berisi penolakan terhadap Ahok untuk kembali menjadi gubernur DKI Jakarta. Menurut mereka terpilihnya Ahok yang kafir sebab Indonesia menganut asas demokrasi, dimana suara mayoritas dapat memenangkan siapa saja untuk menjadi pemimpin terlepas apakah ia seorang muslim atau kafir.

Dalam video itu dijelaskan ada tujuh kriteria yang harus dipenuhi sehingga seseorang layak untuk dijadikan pemimpin. Tujuh kriteria itu adalah muslim, balig, laki-laki, merdeka, sehat secara mental, adil, dan mampu memimpin.

Mereka menyebutkan bahwa Ahok hanya lolos dua kriteria di atas, yaitu laki-laki dan balig. Ia bahkan tidak termasuk orang yang merdeka karena tidak terlepas dari kontrol dan berbagai kepentingan pihak lain atas terpilihnya ia sebagai gubernur, artinya Ahok masih memiliki ‘Tuan’, padahal dalam Islam sendiri yang dimaksud merdeka adalah mereka yang bukan budak, selama ia tidak menjadi budak maka ia merdeka lagipula perbudakan pada masa kini secara legal-formal telah dihapuskan.

Ahok seringkali berbicara kasar yang oleh mereka dianggap sebagai ketidaksehatan secara mental, padahal Islam tidak pernah menganggap orang yang berbicara kasar sebagai pengidap cacat mental. Kata-kata kasar bagi siapa pun tidak pernah berkaitan dengan kesehatan metal secara langsung, hanya saja kebanyakan orang melihat hal tersebut mengangkangi kesopanan dan etika berbicara.

Saya sendiri sukses dibuat bingung dengan definisi mereka terhadap merdeka dan sehat secara mental, pemahaman yang didapat dari mengunyah mentah-mentah doktrin organisasi mereka. Ajaibnya suara lantang menolak Ahok ini pasti dibarengi dengan tindakan golput dalam setiap pemilihan umum, termasuk saat pemilihan kembali gubernur DKI Jakarta kelak.

Tentu saja mereka memiliki argumen mengapa memilih golput dalam setiap pemilihan umum. Bagi mereka demokrasi adalah sistem kufur yang tidak sejalan dengan aturan Islam, sehingga atributnya seperti pemilihan umum tidak perlu diikuti karena satu-satunya sistem yang sah untuk mengangkat pemimpin adalah dengan berdirinya khilafah[2].

Pemikiran mereka sebenarnya menolak adanya pemilihan umum dengan seluruh calon-calonnya, demokrasi, dan negara. Lalu mengapa mereka masih peduli jika seorang Ahok terpilih kembali sebagai gubernur? Bukankah calon mana pun sebenarnya tidak pernah menyenangkan hati mereka, walaupun calon tersebut berasal dari partai Islam.

Organisasi yang berdiri di Palestina pada tahun 1953 M ini dilatarbelakangi oleh berakhirnya Khilafah Utsmani pada tahun 1924 M. Organisasi yang telah memiliki cabang di 40 negara ini bertujuan untuk mendirikan kembali khilafah dengan aturan Islam sebagai pondasinya. Mereka giat mengadakan berbagai diskusi dan konferensi seperti Muktamar Khilafah yang pernah diadakan di Gelora Bung Karno pada Minggu, 2 Juni 2013.

Selama nyaris dua tahun menjadi murid organisasi ini jawaban atas pertanyaan saya tidak pernah tuntas. Jika mereka ingin mendirikan kembali khilafah seperti risalah Rasulullah seharusnya berakhirnya khilafah pada catatan mereka bukanlah tahun 1924 M tetapi pada tahun 660 M yaitu ketika masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir, karena setelah itu khilafah[3] tak ubahnya seperti monarki dimana khalifah berikutnya adalah putra dari khalifah saat ini.

Mereka berpendapat yang terpenting adalah diterapkannya aturan Islam dalam bernegara, meskipun terdapat putra mahkota dalam khilafah maka hal tersebut bukanlah masalah yang besar selama aturan Islam dapat ditegakkan.

Alasan mengapa harus aturan Islam adalah karena hanya aturan Islam-lah yang mampu menyelesaikan setiap permasalahan negara seperti korupsi, kemiskinan, dominasi asing, dan rendahnya penguasaan sains dan teknologi.

Lalu mengapa mereka selalu berfokus pada pendirian khilafah bukan melakukan langkah konkret dengan turut aktif berpolitik dalam sistem apapun agar dapat memperjuangkan aturan-aturan yang baik dan menguntungkan masyarakat, bangsa, dan negara? Aturan-aturan yang positif tentu saja akan sesuai dengan nilai-nilai dari agama dan kepercayaan mana pun.

Organisasi ini mengalami pertumbuhan pesat setelah reformasi justru karena kerangkeng kebebasan berpendapat di negeri ini dilepaskan. Namun hal ini justru akan bertentangan dengan aturan khilafah versi mereka yaitu khilafah akan belajar dari kesalahan Khilafah Utsmani, yang mengizinkan berdirinya Universitas Kristen di Beirut.

Universitas ini telah menjadi pusat gerakan separatis dan misionaris Kristen dan penyebaran paham-paham yang bertentangan dengan Islam. Maka sekolah, universitas, atau lembaga seperti ini tidak boleh ada di dalam wilayah khilafah (Mulyana, 2016).

Lebih jauh lagi nasionalisme bahkan dianggap sebagai salah satu paham yang berbahaya karena khilafah mereka kelak akan memiliki peraturan bahwa individu atau kelompok mana pun yang menjadi agen asing yang menyerukan ide kafir seperti sekularisme dan nasionalisme dapat dijatuhi hukuman mati dan setelah itu jenazahnya disalib di pinggir jalan (Mulyana, 2016). Jadi jika mereka mengkiritik kebijakan pemerintah atau mengutuk gerakan separatis maka hal tersebut dapat dinilai standar ganda.

Sikap standar ganda ini juga dapat dilihat dari cara mereka memandang bela negara. Dalam salah satu artikel yang diunggah pada web-nya salah satu kader mereka berceloteh mengenai Program Bela Negara yang digagas oleh Kementerian Pertahanan dan Keamanan RI dan bertujuan untuk menguatkan semangat nasionalisme, seperti yang saya kutip berikut ini,

“Program bela negara yang diinisiasi Kementerian Pertahanan dikhawatirkan banyak pihak sebagai upaya untuk mencegah kritik masyarakat terhadap Pemerintah. Para pengamat menilai, program bela negara dengan pelatihan ala militerisme lebih bertujuan untuk mendoktrin warga negara agar siap bertempur menghadapi berbagai ancaman negara. Dikhawatirkan, pelatihan tersebut justru mengubah cara pandang warga negara. Bela negara memiliki konsep sangat luas. Kritik korupsi, kritik terhadap penyalahgunaan wewenang juga disebut bela negara. Jangan-jangan orang yang mengkritik pemerintah nantinya malah dianggap melawan negara” (Syarifudin, 2016).

Merujuk pada buku mereka yang berjudul Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia, dikatakan bahwa khilafah kelak tidak akan menganut politik minimum deterrence seperti dianut oleh  kebijakan militer Indonesia yang memiliki prinsip pertahanan defensif dengan pengurangan kekuatan militer sampai batas cukup untuk bertahan.

Minimum deterrence dianggap sebagai produk ideologi kapitalisme sehingga khilafah justru akan mengupayakan kekuatan militer secara penuh (Hizbut Tahrir Indonesia, 2009). Melalui hal ini sudah dapat diketahui bahwa adanya standar ganda dalam pemikiran-pemikiran politik mereka.

Pemahaman-pemahaman seperti ini sebenarnya justru merupakan tantangan bagi mahasiswa selaku generasi muda untuk berpikir lebih kritis. Memilah pemikiran mana saja yang patut diadopsi dan memiliki solusi nyata dalam menghadapi permasalahan-permasalahan bangsa dan negara. Mahasiswa selaku agent of change seharusnya memiliki pemikiran yang dinamis dan tidak picik dalam menilai politik praktis negeri ini.

Memilih golput dalam pemilihan umum karena alasan ketidakpercayaan dan penerapan sistem yang tidak sesuai sesungguhnya merupakan cara pandang yang sangat disayangkan. Demokrasi juga memiliki kontrol terhadap penguasa maka mahasiswa sebagai iron stock diharapkan mampu menganalisis dan memberikan masukan terhadap segala hambatan yang sedang dihadapi pemerintah saat ini sehingga di masa depan akan mampu meneruskan estafet politik negeri ini.

***

[1] Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia, hal. 67

[2] Negara dengan aturan Islam sebagai dasar.

[3] Pemimpin tertinggi Negara khilafah.

REFERENSI

Hizbut Tahrir Indonesia. 2009. Manifestasi Hizbut Tahrir Indonesia untuk Indonesia. Hizbut           Tahrir Indonesia

Mulyana, Budi. 2016. https://hizbut-tahrir.or.id/2016/08/24/bela-negara-menurut-islam/       diakses pada tanggal 3 Oktober 2016

Syarifudin, Umar. 2016. https://hizbut-tahrir.or.id/2016/08/24/salah-kaprah-bela-negara/   diakses pada tanggal 3 Oktober 2016.

#LombaEsaiPolitik