Pernah nggak teman-teman terpekur diam karena lidah kelu ketika disalahkan oleh orang lain? Celakanya, apa yang dianggap keliru dari ucapan atau perbuatan teman-teman sebenarnya dilakukan oleh orang yang menyalahkan itu.
Pernah? Sangking bingungnya, kita sampai tak bisa berucap apa-apa, sampai menelaah kata demi kata, kalimat demi kalimat, atau memutar ulang dalam ingatan tiap perbuatan yang pernah dilakukan, hanya demi memastikan apa sih yang salah dalam ucapan dan perbuatan kita.
Kok kita yang disalahkan? Kok orang lain yang berbuat sama tidak diprotes? Kok dia yang menyalahkan nggak kena? Kok dia bisa seenak jidatnya saja menyalahkan orang, tapi kalau kita tunjukkan ucapan/perbuatan dia, malah membela diri?
Nah teman-teman, itulah yang namanya standar ganda. Sering kan mendengar istilah ini? Sering kan mengucapkannya? Menurut kamus Merriam-Webster (yang saya terjemahkan dengan teramat sangat bebas), standar ganda berarti prinsip yang dimiliki oleh seseorang tentang hal tertentu yang diterapkan dengan sangat keras untuk situasi/kelompok/orang tertentu tapi tidak pada kelompok lainnya.
Misalnya ada bapak-bapak yang marah-marah ketika melihat pengendara sepeda motor lain melanggar lampu lalu lintas, eh tapi ketika bapak itu melanggar lampu lalu lintas dan ditilang polisi, keluarlah seribu satu alasan mengapa dia harusnya tidak ditilang.
Contoh lain, ada seseorang yang membahas tentang tidak etisnya mencela orang lain di media sosial, tapi tak lama kemudian dia sendiri melontarkan rentetan ejekan pada orang yang dia tidak suka.
Saya sendiri sering berusaha mengingat (berhubung saya amat pelupa) ucapan dan perbuatan yang pernah saya lakukan, khawatir sering melakukan atau mengucapkan hal-hal yang terkategorikan ke dalam perbuatan standar ganda. Untuk tidak berstandar ganda seutuhnya sebenarnya tidak mudah.
Seringkali kita berstandar ganda dalam memandang sesuatu karena memang sudah dibiasakan seperti itu. Karena pola asuh dalam keluarga, pola didikan di sekolah, pola pergaulan dengan kawan-kawan sepermainan, semua itu membentuk cara kita berpikir dan bersikap.
Bayangkan bila bertahun-tahun ter'latih' untuk berstandar ganda, tentunya akan sulit melihat bahwa apa yang kita lakukan itu keliru.
Timbul pertanyaan dalam diri saya, mengapa kita bisa berstandar ganda? Setelah berseluncur di internet (karena tak mungkin ketemu jawabannya bila berseluncur di laut), saya menemukan sebuah artikel yang mencoba menjawab hal ini. Ada lima alasan yang diajukan untuk menjelaskan mengapa begitu banyak orang memiliki standar ganda.
Pertama, kebanyakan dari kita sengaja mencari alasan untuk membenarkan apa yang kita lakukan. Misalnya tadi, A membahas tentang betapa tidak eloknya mencela orang lain, tapi ketika dia dikonfrontasi karena dia sendiri mengejek orang yang dia tidak suka, A akan membela diri dengan mengatakan bahwa orang tersebut memang pantas untuk dicela.
Kedua, ada faktor emosi yang terlibat ketika kita berstandar ganda. Untuk orang-orang yang kita kagumi, kita akan cenderung permisif terhadap kekeliruan yang diperbuat. Tapi coba kekeliruan yang sama dilakukan oleh orang yang kita tidak suka. Jeng jeng!! Habislah dia kita caci maki, hina dina, dan kita cela. Kadang-kadang tanpa ampun sama sekali.
Alasan banyak orang berstandar ganda yang ketiga adalah kita sedang membohongi diri sendiri. Yup! Orang berbohong pada diri sendiri tujuannya sesederhana agar dapat memegang teguh apa yang dipercayai. Kayak gimana maksudnya?
Alkisah, Pak Kosim yakin Bapak J yang kaya raya itu pelitnya luar biasa. Terbukti dari sedikitnya sumbangan yang diberikan Bapak J untuk acara perayaan Maulid Nabi di kompleks. Pak Kosim sibuk ngegosipin Bapak J ke semua orang yang mau mendengar.
Suatu hari, Kang Dede bilang ke Pak Kosim, kalau Bapak J itu rajin menyumbang ke beberapa panti asuhan di kota mereka. Apakah Pak Kosim percaya? Tentu tidak! Pak Kosim akan membuat teori-teori dan celaan-celaan baru bagi Bapak J.
Pokoknya supaya keyakinan diri Pak Kosim bahwa Bapak J itu pelit, dia akan mengeluarkan berbagai teori. Agak delusional ya? Lama kelamaan orang berstandar ganda yang hardcore emang sepertinya akan menjurus ke arah delusi.
Apa lagi yang menyebabkan orang berstandar ganda? Alasan keempat, orang bisa berstandar ganda adalah karena faktor penampilan! Tunggu, tunggu, gimana maksudnya? Jadi begini, marilah saya berikan sebuah ilustrasi. Ada dua orang mbak-mbak berargumen tentang perempuan.
Mbak Agnes mengatakan perempuan jangan cuma dandan melulu, harus cerdas juga. Ketika Mbak Agnes mengatakan hal ini, terdengarlah suara keprokan dari sekelilingnya. Banyak yang mengamini. Tak berapa lama kemudian, Mbak Monica bilang dengan nada sinis kalau perempuan jangan kebanyakan protes kalau dicela laki-laki/perempuan lain karena hanya sibuk mikirin dandanan.
Apa yang terjadi pada Mbak Monica? Mbak Monica malah jadi sasaran celaan dan diprotes sana-sini. Loh kenapa? Usut punya usut, ternyata Mbak Agnes memiliki penampilan yang lebih menarik ketimbang Mbak Monica.
Jadi, banyak hal yang dilakukan Mbak Agnes akan disetujui, sementara bila hal yang sama dilakukan oleh Mbak Monica, yang ada malah diprotes. Kok lebay banget sih? Oh, tidak! Beberapa kali saya amati kejadian standar ganda, ternyata memang begitu.
Seperti pada alasan kedua, orang-orang memiliki kecenderungan untuk lebih permisif pada kekeliruan dari orang yang dianggap berpenampilan menarik, atau terhadap orang yang dikagumi. Kalau sudah begitu, standar ganda kadang tak dapat dihindari.
Nah, alasan terakhir ini yang sebenarnya saya rasa jadi kunci kenapa kebanyakan kita memiliki standar ganda. Kita ingin dianggap benar. Rasa ingin benar itu sangat kuat sehingga kita akan melakukan apapun, berargumen apapun untuk mengabaikan kekeliruan yang kita lakukan.
Rasa ingin benar ini juga yang membuat seseorang dengan mudah menilai tindak-tanduk orang lain yang tidak disukai hanya agar dapat membuktikan bahwa dirinya sendiri bersikap benar. "Pokoknya lu salah, gue bener! Mau lu nyumbang satu trilyun ke orang miskin, itu pasti Cuma pencitraan aja. Hih!" Kira-kira begitu lah yang ada di kepala.
Bagaimana dengan saya? Bagaimana dengan teman-teman? Duh, rasanya saya masih berstandar ganda, meskipun sudah saya usahakan agar berkurang. Ada konsep yang menarik yang ditawarkan beberapa kenalan, yaitu 'adil sejak dalam pikiran'.
Standar ganda itu tentunya lahir dalam pikiran kita masing-masing, maka konsep 'adil sejak dalam pikiran' adalah cara untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan berstandar ganda. Bagaimana sih caranya agar bisa adil sejak dalam pikiran?
Barangkali begini, sebelum menilai atau menuding orang lain, ada baiknya kita diam dulu sejenak dan bertanya pada diri sendiri, apakah ada perbuatan/perkataan kita yang kira-kira sejenis? Kalau kita melakukan hal yang sama, bagaimana kita menilai diri kita sendiri?
Apakah perbuatan tersebut keliru karena memang perbuatannya keliru atau karena kita tidak menyukai orang yang melakukannya? Apakah kita membela seseorang karena apa yang dia lakukan atau karena kita kagum berlebihan pada orang itu?
Saya akui, menjadi adil sejak dalam pikiran yang seutuhnya akan sangat sulit dicapai. Tapi, tidak ada salahnya kita mencoba untuk bersikap adil. Saya dan juga teman-teman semuanya. Barangkali dengan begitu, interaksi antarkita akan lebih baik.
Barangkali dengan berusaha bersikap adil, kita akan lebih fokus pada penyelesaian masalah ketimbang pada hal-hal tidak penting yang menyelimuti masalah tersebut. Barangkali dengan mengurangi sikap standar ganda, kita akan lebih rendah hati mengakui kekurangan-kekurangan dan bersama-sama membenahinya. Siapa tahu, kan? Saya rasa itu semua harapan kita.
Saya meyakini satu hal, tak pernah ada standar ganda yang baik, kecuali keberadaan standar ganda pada sepeda motor Anda.
sumber gambar:
http://cdn1.theodysseyonline.com/files/2015/07/19/635729248848114460-1944150600_Double-Standards.png