Kata spasial (spatial) sering dipahami sebagai ruang dalam bahasa Indonesia. Tetapi secara bahasa, kata “ruang” dalam Bahasa Inggris dapat diartikan sebagai “room”. 

Penggunaan kata spasial lazim dipakai dalam ilmu geografi, yang memiliki makna berbeda dengan ruang dalam konteks arti “room” (Bahasa Inggris). Pemilihan kata “spatial” menjadi “spasial” (Bahasa Indonesia) adalah supaya tidak ada kerancuan pengertian.

Makna spasial tidak terbatas pada ruang sempit, tetapi menjangkau ruang lebih luas. Penggunaan kata ruang, selanjutnya pada tulisan ini disebut spasial, sering untuk menunjukkan suatu tempat dengan segala isinya yang memiliki fungsi tertentu. Misal ruang kelas: di dalam kelas terdapat kursi-meja, lemari, papan tulis, dan benda lainnya. 

Keberadaan spasial menunjukkan dan dapat dilihat dari semua unsur yang memberikan identitas terhadap keberadaan ruang tersebut. Ada identitas pada spasial yang dimaksud. 

Konteks lebih luas: ruang pedesaan. Di sana dapat dilihat identitas sumber daya manusia-sumber daya alam. Tidak terbatas pada yang ada di dalamnya melainkan termasuk aktivitas manusia; struktur alam–dan termasuk hubungan (interaksi) manusia dan alam.

Bisa dikatakan sebenarnya kata spasial sudah tidak asing bagi masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, pemahaman spasial sering diimplementasikan dalam tujuan tertentu. 

Sebagai contoh, dalam memilih tempat duduk kuliah, seorang mahasiswa akan memilih tempat duduk yang menciptakan suasana psikologis yang paling menguntungkan bagi dirinya. Ada yang ingin selalu bersebelahan, ada pula yang ingin selalu di belakang yang lainnya, dan ada pula yang ingin selalu di belakang, di depan atau dekat pintu.

Implementasi pemilihan spasial konteks memilih tempat duduk tersebut bisa dikatakan penerapan Hukum Geografi Pertama "Tobler" mengatakan: “Setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan lebih dari lainnya.” Contoh ini menggambarkan bahwa setiap orang lebih dipengaruhi oleh lingkungan terdekatnya disbanding orang lain.

Begitu pula dengan spasial. Semua unsur yang ada di dalamnya erat hubungannya dengan manusia: Manusia dengan alam; alam dengan manusia. Baik maupun jelek suatu ruang bergantung unsur atau elemen (sumber daya) yang tersedia dan terlebih, bagaimana aktivitas manusianya.

Kita tentu memahami setidaknya mengetahui bahwa sumber daya alam tersebar secara tidak merata di permukaan bumi ini. Persebaran: Subur tidak subur, bergantung karakteristik; banyak faktor –letak absolut maupun relatif. Sumber daya alam tersebut umumnya bersifat  "melekat" pada lokasi dan tidak mudah dan hampir tidak mungkin memindahkannya.

Pada saat kita menentang sifat-sifat alam di dalam melakukan aktivitas kehidupan kita, maka kita akan menghadapi permasalahan lingkungan. Namun demikian, aktivitas manusia di atas bumi memiliki kecenderungan alamiah. Meski sebetulnya memindahkan aktivitas manusia lebih mudah dari pada memindahkan sumber daya fisik (alam). Seperti yang kita ketahui, ternyata manusia juga bukanlah makhluk yang mudah diatur dan dipindah-pindah.

Bila dalam kehidupan ini kita menentang kecenderungan alam akan menghadapi permasalahan lingkungan. Pada saat kita menentang kecenderungan- kecenderungan manusia di dalam memilih tempat untuk aktivitas kehidupannya, maka kita akan menghadapi permasalahan- permasalahan sosial.

Kita tidak bisa memungkiri hubungan manusia dan alam sangat erat. Ada hubungan saling terkait antara manusia dengan habitatnya. Tidak bijak pula, misal, memukimkan masyarakat pedalaman Kalimantan (Suku Dayak) ke wilayah-wilayah dataran pesisir.

Maka, baik perencana wilayah kota atau dalam menganalisis spasial perlu menempatkan kebijakan, misal, perencanaan infrastruktur fisik (bangunan, jalan, jembatan, dll) ditempatkan pada lokasi-lokasi terbaik sesuai dengan daya dukung lahan –Mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas berdasarkan analisis sosial-ekonomi suatu ruang tersebut.

Tidak berhenti pada hal tersebut, juga perlu proyeksi data statistik. Hal ini untuk memperkirakan pertumbuhan penduduk setiap tahun dan selanjutnya berdasarkan aspek-aspek pertumbuhan ekonomi dapat dilihat kecenderungan pertumbuhan perluasan wilayah permukiman dan kebutuhan areal permukiman di suatu wilayah. 

Kondisi ini untuk menunjang pembangunan kawasan permukiman, perindustrian, pusat jasa, maupun kawasan pertanian maka diperlukan juga pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, terminal, dsb.  Semua aktivitas tersebut memerlukan tempat atau tapak tanah.  Prinsip kesesuaian lahan dan analisis lokasi menjadi alat yang penting untuk menetapkan lokasi-lokasi terbaik.

Sebagai contoh perencanaan pembangunan kawasan pertanian. Pengambil kebijakan seyogianya tidak hanya mampu berperan dalam menyiapkan dan mengelola lahan-lahan pertanian, namun juga untuk kegiatan-kegiatan pertanian. Dalam hal ini perlu memerhatikan karakteristik sosial-budaya-ekonomi masyarakat yang ada pada ruang setempat. Tidak sekadar memerhatikan aspek fisik: Mempersiapkan lahan pertanian.

Perencanaan (pemanfaatan) spasial perlu bersama-sama: Pemerintah-masyarakat dengan memperhatikan karakteristik fisik dan sosial-budaya-ekonomi. Tidak sekadar tujuan aspek ekonomi semata. Sebagai contoh, misal masyarakat dibiarkan mengikuti naluri ekonominya secara sendiri-sendiri maka yang terjadi adalah kesemrawutan, kemacetan (bila berjualan di pinggir jalan), pencemaran, dan pada akhirnya akan mengurangi keuntungan ekonomi dari masyarakat itu sendiri.

Untuk mengoptimalkan pembangunan wilayah yang terhindar dari berbagai masalah lingkungan dan sosial, serta memaksimalkan manfaat ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat maka mau tidak mau diperlukan suatu pengaturan bersama.  Dengan memperhatikan aspek sosial-fisik –Dengan tujuan menyediakan sumber daya saat ini dan generasi mendatang.

Kesadaran spasial dalam pembangunan (daerah) akan menghadirkan pembagian “pekerjaan” yang berarti menghasilkan spesialisasi (unggulan daerah) dan menghasilkan interdependensi –interaksi antar daerah untuk kepentingan pertukaran barang dan jasa. Dan, tentu penghargaan atau pandangan budaya atas bumi akan berorientasi pada minimalisasi eksploitasi alam.

Berprinsip ada pendekatan (kesadaran) spasial, konteks pembangunan daerah lebih luas jangkauan: Membangun Indonesia, pastilah tidak akan terjadi kebijakan perencanaan pembangunan yang akan merusak (men-disrupsi) tatanan: Sumber daya manusia maupun alam yang tersedia di wilayah tersebut. 

Sebagai contoh, pembukaan lahan pertanian di Papua. Seperti yang kita ketahui, karakteristik sosial-budaya (makanan pokok) di sana adalah sagu. Proyek semacam ini contoh nyata: Spasial Disruptif, adalah perencanaan pembangunan yang abai dengan pendekatan spasial.