Sebagai seorang yang bekerja di sektor kesehatan, beberapa kali saya terpapar informasi kesehatan yang menyentil diri sebagai ibu rumah tangga. Salah satunya pertemuan yang membahas tingginya kejadian pernikahan usia anak di Kota Yogyakarta tahun 2022 sejumlah 71 pasangan di mana 93% dari keseluruhan kasus dispensasi pernikahan disebabkan kejadian hamil di luar nikah.
Usia anak di sini sesuai Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 adalah pria dan wanita yang berusia kurang dari 19 tahun. Pasal 7 menyebutkan “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.
Tingginya kejadian ini membuat saya ingin melirik kasus global di Indonesia secara umum, dan mendapatkan data bahwa Badan Peradilan Agama mencatat pernikahan anak di Indonesia pada tahun 2018 sejumlah 13.489, tahun 2019 naik menjadi 23.145, tahun 2020 melonjak menjadi 63.382, tahun 2021 turun tipis 61.449 dan tahun 2022 50.673.
Dari data ini, secara kasat mata, pandangan orang awam pun tentu bisa mengambil kesimpulan bahwa penggunaan gawai secara kontinue (tak terkontrol) akan langsung dituding sebagai pemicu tidak langsung dari tingginya kejadian pernikahan usia anak.
Memang dispensasi menikah ini sudah diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun tentu sangat disayangkan jika anak yang sedang produktif dan harusnya difase berjuang untuk menggapai mimpi, malah berakhir di rumah dengan seabrek tanggung jawab yang mengiringi keputusan menikah.
Dimasa sekolah offline, orang tua sangat bisa mengelola pemakaian gawai sebagai reward/refreshing dengan pembatasan waktu. Namun sejak pandemi melanda, dengan alasan agar tidak ketinggalan materi pendidikan di sekolah dan demi social distancing, anak-anak seakan mendapat legitimasi untuk menggunakan gawai sebagai sarana wajib sehari-hari.
Apa yang ada dalam bayangan orangtua ketika anaknya nugas?
Awalnya mungkin mengikuti kelas, mengerjakan aneka tugas online. Berapa lama kira-kira anak memiliki komitmen memakai alat komunikasi itu sebagai sarana belajar?
Sejam? Dua jam? Tiga jam?
Setelah selesai zoom, membuka Learning Management System (LMS) untuk mengerjakan tugas, lama-lama akan berpindah menjadi install aplikasi games. Terutama anak laki-laki, mayoritas sangat menyukai game online meskipun tidak menutup kemungkinan anak perempuan pun ikut asyik bermain.
Beberapa kali saya sempat "mengintip" saat anak sedang aktif nge game. Karakter seksi dan iklan-iklan menggoda, bahkan maaf semacam adegan suami istri. Link semacam ini sangat mudah di klik oleh anak-anak disela –sela waktu bermain. Astaghfirulloh.
Upaya menurunkan angka pernikahan usia anak, tentu saja membutuhkan kerjasama seluruh pihak. Mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, wilayah, dinas terkait.
Keluarga sebagai benteng utama dan pertama bagi anak-anak, tentu saja memiliki pengaruh yang sangat dominan. Bagaimana orangtua mendidik setiap hari, pembiasaan ibadah secara konsisten, memilihkan lingkungan sekolah yang baik, dan yang paling penting komunikasi intens. Jangan sampai ketika anak memiliki masalah, atau penasaran dengan suatu hal, larinya pada teman yang salah atau hal-hal negative.
Orangtua harus peka jika ada perubahan kebiasaan pada anak yang mengarah pada hal negative, segera mendekati dan mendampingi serta mencarikan pertolongan apabila dibutuhkan. Tak perlu malu untuk mengajak anak ke Psikolog sekedar untuk “bercerita”, agar terurai benang-benang kusut di pikirannya.
Di beberapa wilayah, sudah ada psikolog di masing-masing Puskesmas, bisa didatangi masyarakat umum dengan biaya terjangkau. Salah satu contoh di Kota Yogyakarta, cukup dengan 22 ribu biaya registrasi dan 7 ribu biaya konsultasi, sudah bisa mendapatkan layanan dari Psikolog. Biaya itu bahkan bisa gratis dicover BPJS, apabila Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) 1 nya di Puskesmas tersebut.
Sekolah sebagai institusi pendidikan dimana sebagian besar waktu anak dihabiskan disana, memiliki andil cukup dominan. Pihak sekolah wajib menyelenggarakan system dan lingkungan yang ramah anak. Peduli dengan trend pada murid didiknya, dan bijaksana dalam menyikapi “kerikil-kerikil” pada usia anak/remaja.
Pendidikan kesehatan reproduksi dan perkembangan psikologi pada anak dapat disampaikan melalui agenda kelas bersama, berkolaborasi dengan Puskesmas wilayah setempat, baik untuk bantuan narasumber, maupun skrining kesehatan mental dan fisik siswa.
Pemerintah sendiri melalui Dinas terkait, perlu bersegera menyiapkan rangkaian kebijakan untuk mendukung Kota Layak Anak (KLA) yaitu kota yang mampu merencanakan, menetapkan, serta menjalankan seluruh program pembangunan dengan orientasi hak dan kewajiban anak. Hal ini dimaksudkan agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Segigih apapun usaha, jika tidak serempak dilakukan bisa jadi akan berakhir sia-sia.
Sebagai contoh sekolah mengajarkan adab baik, pergaulan secara agamis namun apabila anak tinggal di keluarga yang membebaskan pemakaian HP tanpa kontrol, lengah membentengi keimanan dihati mereka maka bisa dibayangkan akibatnya.
Sekarang, pilihan ada di tangan kita kedua orangtuanya, sebagai penulis di lembar putih anak-anak kita.