Kumenunggumu di sini, berabad-abad lalu.
Sepi

Dan menjelang lapuk tubuhku hingga anak-anak cucuku menemukanku.
Mendekapku dan memapahku kembali berdiri.

Tegak diriku kini jadi saksi betapa berubah dedaunan, rumput dan ilalang yang dulu menemaniku.
Jengkerik dan kunang-kunang ke manakah mereka?

Mengapa kudengar dentum dan bising bunyi dan suara-suara. Suara apakah itu?
Mengapa pula kerlip kunang yang teduh kini jadi beraneka sorot warna yang menyilaukan?

Aku memang telah tegak berdiri. Tapi di bawah langit yang muram dan kerap menangis.
Deras air matanya tak terbendung oleh janji setia batu dan akar pohon.

Ambrol!
Gubuk dan rumah yang hanyut menularkan air matamu menjadi lautan duka dan sendu di pelupuk mata pewaris pusaka di tanah tempat dulu raja, pande dan pujangga bercancut tali wanda.

Aku memang telah berdiri kembali.
Tapi tanpa asap dupa dan doa-doa pemuja aku batu-batu yang kehilangan sukma.
Menunggu kepastian untuk kembali lapuk dan terkapar tanpa tahu. Mungkinkah aku bangkit berdiri atau dibangkitkan lagi.

Candi Ijo

Sleman, 1 Februari 2017