Tidak jarang kita merasa kagum terhadap perilaku sesorang, kita merasa terpesona terhadap gaya bicara sesorang. Sikap itulah yang menyiratkan suatu kualitas tersendiri dalam diri masing-masing pribadi. 

Perasaan kita secara sadar atau tidak terarah pada kualitas baik yang ada di luar diri kita dan berharap untuk dapat menjadikan hal tersebut di dalam diri kita. Situasi inilah yang seringkali kita jumpai dalam hidup sehari-hari.

Mengidolakan atau mencita-citakan suatu hal yang baik bagi hidup kita merupakan langkah awal dalam membangun suatu disposisi diri untuk menjadi lebih baik dan berkualitas. Hal itu tentu diwujudkan melalui upaya latihan yang dilakukan secara terus menerus, berdasarkan pengalaman hidup orang lain sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan baik dalam diri kita.

Keutamaan rupanya menjadi suatu yang dikejar oleh semua orang demi mewujudkan hidup yang baik. Berangkat dari permenungan tersebut, penulis hendak menyajikan seorang tokoh yang menjadi salah satu teladan yang dapat kita contoh demi mengembangkan suatu kualitas moral dalam diri kita. Sosok tersebut adalah Jenderal Sastrodiharjo.

Jend. Soemitro Sastrodiharjo (Purn.) lahir di Probolinggo, Jawa Timur pada 13 Januari 1927. Ayahnya adalah seorang pekerja di PG Gending sebagai kasir, seorang aktivis PNI, sedangkan ibunya berperan sebagai ibu rumah tangga. Soemitro besar di lingkungan pondok pesantren.

Cita-citanya sebagai ABRI berawal dari ketidaksengajaannya ketika bermain dan memperoleh jawaban demikian dan Ia mempercayai hal tersebut. Ada momen di mana dibuka pendaftaran untuk menjadi prajurit pembantu, sehingga ia memutuskan untuk melamar ke PETA. Ia terkenal sebagai perwira yang nakal dan pelanggar aturan. Soemitro meninggal dunia di Jakarta, 10 Mei 1998 pada usia 71 tahun.

Sosok Soemitro

Soemitro dikenal sebagai pribadi yang tegas dan blak-blakan. ia adalah pribadi yang kuat dengan ideologi seorang nasionalis, sehingga ia berani menentang pemikiran Partai Nasional Indonesia pada zaman itu. Kecerdasan intelektualnya nampak dalam kegiatan diskusi, di mana ia mampu mengimbangi konsep-konsep pemikiran orang lain.

Di sisi lain, Soemitro dikenang sebagai seorang militer yang tidak galak, tetapi seorang cendekiawan yang luwes, lapang hati serta bersedia membantu para tahanan politik di Pulau Buru. Ia memeberi perhatian pada perkembangan intelektual dalam diri masyarakat Indonesia, ia memberikan mesin tik kertas serta kacamata bagi para tahanan untuk mengembangakan bakat tulis menulis.

Peristiwa MALARI

Malapetaka Lima Belas Januari 1974 merupakan suatu gerakan mahasiswa yang merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah terkait kerjasama dengan pihak asing. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa ini menyebabkan 11 orang meninggal, 75 luka berat, ratusan mobil dan motor rusak serta lebih dari 100 Gedung atau bangunan hangus terbakar dan 160 kg emas raib.

Sosok Soemitro sebagai Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban sungguh terlibat dalam peristiwa ini. Ia bergegas turun ke jalan, melakukan orasi untuk menghalau amuk massa yang semakin memanas. Keprihatinan Soemitro terhadap keadaan bangsa inilah yang tidak pernah pudar. 

Ia bersemangat untuk mebicarakan soal demokrasi dan perjuangan hak-hak asasi manusia. Harapan itu semua meletus saat peristiwa MALARI itu terjadi. Peristiwa ini mencatatkan Soemitro sebagai intelektual sipil. Ia merupakan putra Indonesia yang telah berupaya memerdekakan bangsa dan tanah airnya dari penjajah.

Keutamaan

Keutamaan merupakan suatu disposisi batin yang bersifat tetap sebagai hasil dari latihan dan kebiasaan untuk berbuat baik. Keutamaan-keutamaan merupakan suatu ciri keluhuran watak yang secara moral pantas untuk diupayakan dan di capai oleh manusia. Etika keutamaan seringkali dipersepsikan sebagai etika kewajiban, padahal antara keduanya sama sekali berbeda.

Etika keutamaan berfokus pada kualitas watak seseorang, sedangkan etika kewajiban lebih berfokus pada prinsip-prinsip yang mendasari tindakan tersebut. Etika keutamaan secara hakiki memegang dalam dirinya sebuah pertanyaan “mau menjadi manusia macam apa aku ini?” dan bukan “apa yang harus atau wajib aku lakukan?” seperti apa yang di pegang oleh para pemikir etika kewajiban. 

Menurut Aristoteles, etika merupakan bidang kegiatan praktis untuk menjawabi pertanyaan dasar demi mewujudkan kesejahteraan hidup atau yang disebutnya sebagai eudaimonia

Kebahagiaan merupakan hasil dari hidup baik sesuai keutamaan yang diwujudkan. Kebahagiaan yang dicapai diwujudkan melalui upayanya untuk ambil bagian secara aktif dalam kehidupan berpolitik di masyarakat.

Aristoteles membedakan antara keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual secara garis besar merupakan hasil pengajaran, oleh karena itu memerlukan waktu dan pengalaman. Sedangkan keutamaan moral dihasilkan melalui kebiasaan. Keutamaan moral tidak bisa muncul secara alamiah tanpa adanya latihan untuk menjadi lebih daripada apa yang sudah tertanam di dalam kodratnya.

Kesimpulan

Keutamaan tidak begitu saja muncul secara alamiah dalam diri manusia, tetapi perlu suatu upaya untuk mengembangkan potensi dalam diri tersebut hingga menjadi suatu keutamaan. 

Dengan demikian keutamaan merupakan upaya yang dilakukan manusia secara terus menerus, mengalami proses belajar dan mempraktikannya sebagai bagian dari pembiasaan sehingga menjadi suatu keutamaan dalam diri manusia. 

Sosok Soemitro Sastrodiharjo hadir sebagai tokoh militer yang pemeberani sekaligus memiliki daya intelektual yang tinggi. Keutamaan-keutamaan tersebut ia olah terus menerus sepanjang perjalanan hidupnya, sejak kecil hidup dalam dunia pesantren, selama berkarir dalam dunia militer sampai puncak hidupnya sebagai warga sipil biasa.

Apa yang telah diperjuangkan oleh Soemitro sepanjang hidupnya menjadi suatu kekuatan baginya dalam melangkah untuk menghadapi kenyataan dunia yang tidak menentu dan beliau sudah mempersiapkan segalanya.

Perjuangannya dalam dunia ketentaraan merupakan buah hasil belajarnya selama karir-karir hidupnya. Soemitro menampakkan diri sebagai sosok yang integral. Ia memiliki kecerdasan luar dan dalam, tentu hal ini tidak muncul begitu saja tapi berkat proses pembentukan diri secara terus menerus sepanjang hidupnya. Hal ini tentu senada dengan apa yang di gagas oleh Aristoteles terkait dengan keutamaan hidup.

Aristoteles membedakan antara keutamaan intelektual dan moral. Dari sini kita dapat mengkaitkan antara keutamaan dari Soemitro degan pemikiran dari Aristoteles. Dari sudut pandang keutamaan intelektual, Soemitro mengalami proses pendidikan di pesantren. 

Dari sudut pandang keutamaan moral, Soemitro mengalami proses pembiasaan pertama-tama ketika hidup di pondok pesantren kemudian berkembang ketika ia menjalani proses pendidikan di AKABRI, itulah yang juga membentuk kondisi mental dari Soemitro.

Soemitro menghadirkan diri sebagai sosok yang berupaya mengolah keutamaan hidup dalam dirinya sehingga mengalami perkembangan yang lebih daripada apa yang telah ditanamkan di dalam kodratnya. 

Keutamaan tidak begitu saja muncul secara alamiah dalam diri manusia, tetapi perlu suatu upaya untuk mengembangkan potensi dalam diri tersebut hingga menjadi suatu keutamaan.

Dengan demikian keutamaan merupakan upaya yang dilakukan manusia secara terus menerus, mengalami proses belajar dan mempraktikannya sebagai bagian dari pembiasaan sehingga menjadi suatu keutamaan dalam diri manusia.