"Hanya bangsa yang tahu menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar." - Ir. Soekarno
Dari kata bijak di atas seharusnya selalu kita pegang dan tidak boleh dilupakan dalam perjalanan bangsa ke depan. Dengan menengok ke belakang untuk melihat sejarah mengenai perjuangan para pahlawan-pahlawan Indonesia, sehingga dapat menjadi bangsa yang merdeka di atas penjajahan bangsa lain.
Perjuangan bangsa ini dibangun dengan prinsip persatuan dan kesatuan, sehingga dapat mengusir penjajah Kolonial Belanda hingga pendudukan Jepang dan itu adalah suatu cita-cita revolusi. 350 tahun bangsa Indonesia berada dalam genggaman penjajah, di mana nasib rakyat berada dalam hantu kemiskinan dan penindasan yang tidak manusiawi.
Hingga pada masanya 17 Agustus 1945, Indonesia berhasil mengibarkan bendera Merah Putih dan memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia di kediaman Soekarno Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta atas nama bangsa Indonesia Soekarno-Hatta.
Dengan melihat bagaimana para pahlawan Indonesia yang telah mengorbankan darah dan airmata untuk berjuang demi mewujudkan Indonesia Merdeka. Jeruji penjara dan pembuangan tentu sudah tidak asing bagi mereka.
Kita bisa melihat perjuangan sosok Cokroaminoto sebagai tokoh politik terkenal di masanya dan pimpinan tertinggi Sarekat Islam (SI). Perjuangan Tan Malaka dalam menggagas Republik Indonesia, peran Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan. Sampai pada Presiden Pertama Indonesia yakni Ir.Soekarno sebagai Panglima Besar Revolusi, Bapak Bangsa Indonesia dan Penggali Dasar Negara yakni Pancasila.
Dan masih banyak lagi para pahlawan-pahlawan bangsa kita ini, baik yang masih populer hingga saat ini maupun mereka yang terlupakan akibat derasnya pengaruh perkembangan zaman. Bahkan ada juga mereka yang terlupakan memang disengaja digelapkan kiprah dan jasa yang ia torehkan kepada bangsa Indonesia.
Dialektika perjalanan bangsa ini sering dihadapkan pada kepentingan dari berbagai kelompok-kelompok tertentu. Segala cara pun dilakukan untuk menghancurkan semua yang mengahambat keinginan mereka.
Salah satu dari sekian banyak problem yang bisa kita lihat adalah peristiwa G-30-S/PKI yang menua kontroversi. Telah terjadi pertentangan besar dalam lawan politik antara PKI dan Angkatan Darat pada waktu itu.
Dalam berbagai persepsi bahwa kejadian tersebut justru dimanfaatkan oleh Angkatan Darat sebagai jalan politik untuk menghancurkan PKI sampai pada akar-akarnya. Kematian enam Jenderal menjadi bahan propagandis untuk menghancurkan PKI. Di mana waktu itu, Angkatan Darat telah menguasai alat penyebaran informasi untuk melakukan propagandis.
Seperti yang ditulis JJ Rizal, di bawah komando Soeharto, Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 menyerang pasukan kecil pembunuh enam orang jenderal yang menguasai stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) dan Lapangan Merdeka, Jakarta. Mereka dibuat kocar-kacir dan lenyap sebelum sempat menjelaskan siapa sebenarnya dan apa yang diinginkan.
Angkatan Darat juga melarang semua surat kabar terbit kecuali Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Jelas peristiwa ini Angkatan Darat menjadi satu-satunya sumber penyebaran informasi terkait pembunuhan para Jenderal itu. [JJ Rizal, Soekarno: Cerita Tanpa Akhir Hantu Kudeta. Buku Prisma, Soekarno: Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar, hal. 217].
Kekacauan pun semakin menjadi-jadi, tuntutan kepada Soekarno untuk membubarkan PKI dan bertanggung jawab terhadap matinya para Jenderal terus mendesak.
Namun, Soekarno tidak secepat itu dalam mengambil keputusan. Soekarno masih sangat ingin mencari bukti nyata atas kejadian itu, dan akan mengadili bagi yang bersalah sesuai dengan hukum.
Namun, kekacauan pun semakin mendesak, akhirnya Soekarno mengeluarkan "Supersemar" yang dipercayakan kepada Jenderal Soeharto untuk mengamankan keadaan dan ketertiban, termasuk menjamin keselamatan Presiden dan keluarganya.
Akan tetapi, kepercayaan tersebut dikhianati dan dijadikan alat untuk menjatuhkan Soekarno. "Supersemar" sebagai senjata bukan hanya yang menghadapi Soeharto tetapi yang memberikannya juga. Program pun dijalankan untuk membubarkan PKI, menangkap 15 menteri yang loyal kepada Soekarno, membubarkan Tjakrawibawa dan Angkatan Darat mengontrol setiap media massa.
Setelah Soeharto resmi diangkat sebagai Presiden Kedua Indonesia, roda pemerintahan dan wajah politik Indonesia berubah. Sistem otoriter diterapkan untuk membasmi kepada semua yang menghalanginya. Kemudian politik de-Soekarnoisasi dengan menggelapkan kiprah dan perjuangan Bung Karno terhadap bangsa Indonesia.
Sadisnya, ruang politik dan pemikiran Soekarno dihabiskan serta ingin dilenyapkan. Sampai Seokarno wafat dengan kondisi yang mengenaskan, ia dijatuhi status sebagai tahanan politik. Sangat tidak wajar orang yang berjasa seperti Bung Karno mendapatkan perlakuan seperti itu.
Kebenaran tetap menjadi keinginan manusia. Walaupun berbagi upaya rezim Orde Baru menghilangkan jasa Bung Karno terhadap Indonesia, namun nyatanya pemikiran dan namanya tetap menjadi bahan diskusi terpopuler bagi rakyat Indonesia. Soekarno dan jasanya tidak akan pernah mati-mati, begitu pun dengan penggaliannya terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara.
Sejarah Seokarno menjadi pelajaran sangat berharga. Bukan berarti pahlawan yang lain tidak berharga dan tidak penting, semuanya telah menorehkan jasa-jasanya terhadap bangsa ini sesuai dengan zaman dan porsinya masing-masing. Sebagaimana dikatakan oleh Tilak bahwa "Tokoh sejarah tidak akan selamanya lenyap".
Namun, saya akan mengutip perkataan Soekarno ke dalam tulisan ini, pada otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams:
"Kuminta kepadamu, pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih dari bahasa kata-kata yang ditulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk-hati. Buku ini ditulis tidak untuk mendapatkan simpati atau meminta setiap orang suka padaku. Harapan hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Soekarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia tercinta". [Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia].
Dari segala peristiwa yang melanda bangsa ini tentu perlu memakai kacamata secara objektif untuk memandangnya. Melihat berdasarkan fakta agar tidak menjadi korban sejarah yang nantinya akan berdampak besar pada perkembangan bangsa ke depan.
"Jangan sekali-kali melupakan sejarah", amanat Presiden Soekarno pada ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1966 di Jakarta. Soekarno mengingatkan untuk kembali menengok ke belakang. Bagaimana hebatnya peristiwa Gestok dengan godaan yang dapat menghantam kesatuan badan dan jiwa. Bung Karno mengatakan bahwa revolusi Indonesia dihadapkan pada crucial period yang dapat memecah persatuan dan masa berbahaya.
Kemudian, Soekarno juga mengingatkan bahwa Indonesia harus mawas diri setelah lepas dari penjajahan Belanda tahun 1950. Bahwa pertentangan tidak ada habis-habisnya antara pemerintah dan oposisi, antara ideologi partai dengan partai, antara golongan dengan golongan. Itulah mengapa perlu untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. [DBR Jilid II, Cetakan Ke-2 hal. 427].
Ditengah kondisi bangsa ini yang sudah beberapa hari telah memperingati momentum hari Kemerdekaan Indonesia. Merdeka diatas penjajahan bangsa lain secara kolonialisme hingga akhirnya bangsa ini juga dapat mengibarkan bendera merah putih dan menyatakan kemerdekaan.
Namun, arti kemerdekaan masih menjadi kontroversi. Yang dimana telah dicampuradukan antara kemerdekaan secara khusus dan umum, kemerdekaan antara pribadi dengan kelompok dan kemerdekaan antara satu bangsa dengan bangsa lain.
Kemerdekaan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan ini masih menjadi tanda tanya besar. Apakah rakyat Indonesia mendapatkan haknya dibandingkan dengan para penguasa dan pemangku kebijakan?. Apakah rakyat tidak hanya dijadikan objek mengeksploitasi rakyat hanya untuk kepentingan penguasa saja?.
Problem pada bangsa ini telah terjadi kritikan dimana-mana. Lihat saja RUU Omnibus Law (Cipta Lapangan Kerja) yang sangat ingin secepatnya disahkan oleh pemerintah, padahal itu sangat merugikan kaum buruh dan membuka ruang investor saja. Sementara RUU PKS yang urgen untuk disahkan justru di cabut dari Prolegnas. Seakan ini hanyalah sandiwara semata dan permainan pemangku kebijakan semata.
Perjuangan memang belum selesai, kemerdekaan hanyalah "jembatan emas". Dari jembatan itulah seharusnya dapat menyusun Indonesia yang berkeadilan. Tetapi, tampaknya telah dikhianati para penguasa hari ini yang bersembunyi diatas singgasana kekuasaan.
Cita-cita para pendahulu bangsa ini mesti dipegang dan terus diperjuangkan. Pondasi dan gagasan para pendahulu kita mesti menjadi prinsip hidup. Bukan hanya dijadikan konsep secara teks saja, tetapi teraktualisasi dalam kehidupan. Terutama bagi para pemimpin yang telah diberikan kepercayaan oleh rakyat Indonesia untuk tetap melindungi dan keberpihakan hanya pada rakyat kecil semata.