Filsafat sebagai fondasi berpikir selalu menarik untuk diperbincangkan. Poros ilmu filsafat tidak hanya terfokus pada satu titik. Ada begitu banya titik poros ketika seseorang masuk pada satu idiom yang bernama filsafat. Dinamika inilah yang membuat filsafat menjadi fondasi dasar lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan.
Bertrand Russell (1946), dalam bukunya History of Western Philosophy, menjelaskan bahwa munculnya filsafat berasal dari bangsa Yunani. Kemunculan tersebut akibat kemahiran bangsa Yunani dalam merajut dan menyempurnakan peradaban besar lainnya pada saat itu seperti Mesir dan Mesopotamia. Tesis Russell juga sejalan dengan pandangan Van Peursen ketika membagi latar masalah kebudayaan manusia yang memiliki tiga ciri perkembangan khas, yaitu mitis, ontologis dan fungsional.
Sekitar abad ke-7 SM, di Yunani mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan dibanding masa-masa sebelumnya, yaitu pendekatan filsafat. Sejak saat itulah orang mulai mencari jawaban rasional tentang berbagai problem yang dihadapi, termasuk beragam masalah mengenai alam semesta. Sejak saat itu juga peran mitos, legenda, kepercayaan, dan agama telah tergantikan oleh fungsi logos (akal budi, rasio) dan berkembang sebagai sebuah khazanah ilmu pengetahuan.
Salah satu tokoh yang memiliki peranan penting dalam perkembangan filsafat adalah Socrates (469 SM-399 SM). Kehadiran Socrates sendiri berbarengan dengan merebaknya perang Peloponnesa selama tahun 420-an SM. Secara fisik, Socrates bukanlah sosok yang dibilang ideal. Posturnya pendek, gempal, berhidung pesek, dan tampangnya yang sedikit serampangan.
Ia tidak punya ketertarikan pada uang dan akan terkejut dengan gagasan meminta bayaran tertentu. Socrates sendiri merupakan putra dari seorang pemahat batu di Athena. Tetapi, ia mampu membeli senjata dan diterima menjadi tentara hoplite dan menjadi veteran perang Peloponnesa.
Meski keturunan rendahan, Socrates menarik sejumlah kecil murid dari keluarga-keluarga terbaik di Athena, yang terpikat padanya dan menghormatinya sebagai pahlawan filsafat. Tidak ada tulisan-tulisan yang ia tinggalkan. Karya-karya Socrates hanya direpresentasikan oleh salah seorang muridnya, Plato.
Socrates mau berbicara dengan siapa saja. Dia membutuhkan percakapan, namun ia juga mampu melakukan abstraksi yang luar biasa. Selama kampanye militer, dia pernah mengejutkan tentara-tentara hoplite karena berdiri mematung sepanjang malam. Ia bergulat dengan pergulatan intelektual.
Bagi teman-temannya, itu sudah menjadi kebiasaan Socrates. Bahkan ketika ia diundang untuk jamuan makan malam, ia tertinggal jauh dibelakang teman-temannya dan jatuh pada satu perenungan mendalam. Ia pun melewatkan malam itu sampai larut dan terdiam di beranda tetangga. Itu adalah kebiasaan yang unik, tapi Socrates yakin bahwa dia mempunyai misi membawa sesamanya di Athena menuju pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
Esensi berpikir yang dibawa Socrates adalah pemahaman tentang kebenaran. Konsepsi berpikir ini merupakan autokritik dari metode berpikir kaum Sofis kala itu. Bagi Socrates, apa itu kebenaran tidak berhujung pada kesimpulan mutlak. Kebenaran adalah proses pencaharian yang terus dituju. Tidak sedikit, perbincangan dengan Socrates membawa seseorang pada perbincangan yang menggelisahkan.
Siapapun yang merasakan keterikatan intelektual dengannya, ada kemungkinan terlibat dalam perdebatan dengannya. Apapun subjek yang diawalinya, dia akan terus membawanya ke mana pun dia pergi. Hal ini disampaikan salah seorang temannya bernama Niceas. Bahkan Niceas menambahkan hingga Socrates menemukan dia harus memberikan penjelasan tentang kehidupan masa lalu dan masa kininya; dan ketika sudah terlibat, Socrates tidak akan melepasnya sampai ia telah puas mendalaminya, (Benjamin Jowwet dan M.J. Knight, The Essential Plato,1871).
Tujuan Socrates bukanlah menanamkan informasi, melainkan mendekontruksi prakonsepsi orang-orang dan membuat mereka menyadari bahwa sesungguhnya mereka tidak mengetahui apa-apa. Pengetahuan sejati tidak diterima melalui tangan kedua. Pengetahuan sejati baru bisa ditemukan setelah perjuangan berat. Sebuah disiplin yang bukan sekedar penerimaan beberapa fakta atau ide, melainkan menguji diri dalam kehidupan masa silam dan masa kininya untuk menemukan kebenaran di dalam diri sendiri.
Socrates menggambarkan dirinya seperti seorang bidan bersalin. Ia sedang membantu kelahiran kebenaran di dalam diri lawan bicaranya. Biasanya percakapan dimulai dengan ide yang jelas dan tetap dengan topik yang didiskusikan. Salah satu perbincangan menarik terjadi antara Socrates, Laches, dan Nicheas yang merupakan para jenderal tentara.
Laches yakin bahwa keberanian merupakan sifat yang mulia. Namun, Socrates mengemukakan, sebuah perbuatan yang berani sering kali konyol dan bodoh. Nicheas memasuki percakapan mereka. Ia menyarankan bahwa keberanian membutuhkan kecerdasan untuk menaksir ketakutan, karenanya hewan-hewan dan anak-anak yang tak berpengalaman tentang bahaya situasi tidak bisa disebut berani.
Socrates menjawab bahwa sesungguhnya hal-hal terburuk yang kita takutkan terdapat di masa depan. Dengan demikian, tidak bisa diketahui baik buruknya masa depan hanya berdasarkan pengetahuan baik buruknya masa kini dan masa silam.
Keberanian menurut Socrates hanyalah salah satu kebajikan, tetapi siapapun yang gagah berani mesti pula memiliki sifat sabar, adil, bijaksana, dan kebaikan yang amat penting bagi keberanian. Pada dasarnya, sebuah kebajikan seperti keberanian meski identik dengan semua yang lain.
Di akhir percakapan, para jenderal itu belum cukup mampu mendefinisikan keberanian. Mereka belum menemukan apa keberanian itu, tidak bisa memutuskan apa yang membedakannya dari kebajikan lain, dan merasa sangat kebingungan. Mereka tidak tau dan seperti anak-anak, perlu kembali ke sekolah.
Socrates telah menemukan dialektika, sebuah dialog ketat yang dirancang untuk mengungkap keyakinan palsu dan mengeluarkan kebenaran. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan menganalisis implikasi jawabannya, Socrates menemukan kelemahan dan ketidakkonsistenan yang ada di dalam setiap sudut pandang.
Definisi demi definisi ditolak, dan sering kali diakhir dialog, para partisipan merasa pusing dan terdiam sebagaimana Laches dan Nicheas. Tujuan Socrates bukanlah menghasilkan sebuah solusi yang cerdas atau memuaskan secara intelektual. Pergulatan itu mengantarkan pada penerimaan bahwa tidak ada satu jawaban pun, dan penemuan ini jauh lebih penting daripada kesimpulan yang apik.
Socrates tidak pernah bisa menunjukkan kebenaran secara tegas. Pengetahuan adalah moralitas. Jika seseorang mengerti esensi kebaikan maka ia akan bertindak dengan benar.
Bagi Socrates, tujuan filsafat bukanlah untuk menghasilkan teori-teori tentang kosmos. Filsafat adalah soal belajar cara untuk hidup. Banyaknya kejahatan di dunia disebabkan orang tidak memiliki ide yang memadai tentang hidup dan moralitas.
Sulit mengetahui secara persis apa yang dimaksudkan oleh Socrates. Ia mungkin pernah berharap maju lebih jauh daripada kebingungan dan kerumitan yang menandai akhir setiap diskusinya. Menggunakan logos secara ketat, ia menemukan transendensi yang ia pandang penting bagi kehidupan manusia
Dialektika Socrates bukanlah penggunaan otak murni. Ini merupakan inisiasi. Kisah-kisahnya diliputi emosi yang luar biasa yang menyusupi ide-ide di setiap tahap perdebatan.
Namun tidak semua orang satu pemahaman dengan jalan pikir Socrates. Ia bahkan dituduh mengingkari dewa-dewa negara, memperkenalkan dewa-dewa baru, dan merusak kaum muda.
Socrates diadili di pengadilan. Ia dijatuhi hukuman mati di usia 70 tahun. Namun ia tidak memandang vonis ini dengan kemarahan dan menyalahkan. Walau vonis ini dipandang sebagai sesuatu yang tidak adil. Hal ini disampaikan Plato muda yang hadir dipersidangan.
Tetapi pembelaan itu tidaklah kuat. Socrates tetap divonis bersalah atas tindakannya yang kufur terhadap kepercayaan saat itu dan merusak generasi.
Teman-temannya berkumpul di sekitar tempat tidurnya saat Socrates harus meminum racun yang sudah ditentukan. Sebelum ia meneguk racun hemlock, Socrates membersihkan badannya agar tidak merepotkan para wanita saat kematiannya.
Dia mampu menatap kematiannya dengan tenang hati, melarang sahabat-sahabatnya untuk berkabung. Tak ada duka mendalam yang merusak, hanya suasana teduh dan penerimaan yang damai. Socrates memperlihatkan bahwa adalah mungkin bagi manusia untuk menikmati kententraman yang mentrandensi keadaannya di tengah derita dan kepedihan.