“Indonesia Terserah” bergema. Oknum masyarakat dinilai keras kepala memaksakan diri untuk keluar, berkumpul, dan bepergian. Banyak pula yang kecewa dengan kelonggaran aturan mobilitas warga. Penindakannya pun tak jelas. Terkesan seperti setengah hati memang. Kita memang berhak marah.
Namun apakah kita murni marah karena semua hal itu atau jangan-jangan kita hanya frustrasi dan mencari kambing hitam atas tidak selesai-selesainya wabah Covid-19 ini? Bukankah kita sadar bahwa kita tak tahu kapan wabah ini akan berakhir? Bukankah pula kita tahu bahwa banyak masyarakat kita yang kelaparan dan terpaksa harus kembali beraktivitas demi menghidupi keluarganya?
Situasi ini tidak sesederhana gambar 2 dimensi, melainkan multidimensi, bahkan hingga dimensi dunia lain. Bayangkan mulai dari rumah ibadah hingga di kuburan pun wabah ini selalu membuat masalah. Maka menilai dan menyelesaikan masalah ini pun tak bisa dari satu perspektif saja. Banyak analogi yang bisa digunakan untuk menggambarkan situasi dilematis ini, namun saya coba memberikan ilustrasi dalam praktik kedokteran sehari-hari.
Untuk mengobati suatu penyakit infeksi kaki diabetik, tak jarang kita harus menggunakan obat antibiotik golongan aminoglikosida, baik karena pertimbangan efektifitasnya maupun karena ketersediaan obat yang ada di rumah sakit. Obat ini kita berikan terus-menerus pada pasien hingga dijumpai penyembuhan. Namun sayangnya obat ini memiliki efek samping terhadap ginjal, yang disebut dengan istilah nephrotoxic.
Lebih sial lagi bahwa penyakit diabetes yang menjadi penyebab utama kondisi ini juga turut secara langsung merusak ginjal. Sehingga yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi efek penggunaan obat antibiotik tersebut.
Jika dalam perjalanannya dijumpai penurunan fungsi ginjal, maka kita harus segera menghentikan penggunaan obat tersebut karena meskipun infeksi di kakinya sembuh. Namun jika ternyata ginjalnya menjadi rusak, maka kualitas hidupnya akan buruk bahkan membahayakan nyawa pasien tersebut.
Nah, apakah kita menyalahkan dokter tersebut jika ia harus menghentikan pemberian antibiotik tersebut?
Tentu sekadar menghentikan antibiotik tersebut adalah tindakan yang keliru bila tidak disertai usaha-usaha lain. Maka tentu yang harus dilakukan adalah menggunakan jenis antibiotik lain, yang meskipun efektifitasnya tidak sebaik obat sebelumnya namun memiliki efek samping ke ginjal yang lebih minimal.
Selain itu juga, dimaksimalkan upaya-upaya penyembuhan lainnya, seperti perawatan luka dan pengobatan untuk mengendalikan kadar gula darah yang menjadi penyebab dasarnya. Mempertimbangkan manfaat dan mudarat dari suatu pengobatan merupakan hal yang prinsipil yang harus diterapkan oleh seorang dokter kepada pasiennya.
Demikian halnya situasi kita hari ini dengan wabah Covid-19. Kita telah mencoba memberikan “obat antibiotik” kuat golongan social distancing bernama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sayangnya, obat ini memiliki efek samping economy-toxic. Celaka, Covid-19 sendiri secara langsung juga merusak ekonomi meski tanpa intervensi PSBB sekalipun.
Langkah "pengorbanan" ini pun tetap coba dilakukan dengan harapan kurva melandai dan wabah ini segera hilang. Namun ternyata penularan virus ini tak henti-henti dan kesimpulan pahit harus ditelan: wabah ini akan terus ada hingga vaksin-nya ditemukan. Penggunaan vaksin ini pun diperkirakan paling cepat terjadi dalam 2 tahun. Itu pun kalau berhasil dalam uji cobanya.
Kita harus jujur, bahwa bangsa kita tidak mungkin bertahan dengan perut lapar selama setidaknya 2 tahun.
Pada akhirnya kita harus menemukan cara untuk tetap sehat dan melanjutkan hidup secara bersamaan. Napas harus lebih panjang. Ini bukan lari jarak pendek, melainkan maraton yang butuh teknik khusus dan stamina yang besar. Adaptasi menjadi keharusan.
Hal ini bukanlah suatu pernyataan menyerah, melainkan justru upaya perjuangan untuk tak mau kalah dari wabah Covid-19, baik dari segi kesehatan maupun dari segi ekonomi. Dalam hidup berdampingan bersama virus, kita tidak dalam posisi berteman, melainkan bermusuhan sepanjang masa. Oleh karena itu, kita harus senantiasa melengkapi diri kita dengan banyak senjata untuk melawannya setiap saat.
Ya, banyak senjata. Kita sebenarnya memiliki banyak senjata untuk melawan Covid-19 ini. Sehingga saya secara pribadi kurang sependapat dengan narasi yang terlalu menempatkan PSBB sebagai senjata utama, seolah-olah PSBB yang paling bertanggung jawab atas tinggi dan rendahnya kasus Covid-19.
Padahal banyak negara lain yang mampu menekan kasus ini tanpa lockdown, misalnya Swedia, Taiwan, dan Korea Selatan. Bahkan, menurut saya, lockdown atau PSBB ini adalah cara yang paling “malas” untuk mengendalikan wabah. Namun saya pun tak setuju jika PSBB ini dilonggarkan tanpa membenahi dan menguatkan strategi lainnya. Bisa meledak kasus Covid-19 nantinya.
Saya ingin mengilustrasikan senjata-senjata itu sebagai infinity stones dalam film-film Marvel, di mana masing-masing batu ini memiliki kekuatan hebat, dan jika digabungkan akan menjadi senjata dengan kekuatan maha dahsyat. Saya akan memperkenalkannya satu per satu melalui tulisan-tulisan saya berikutnya.