Banyak orang mengira Tiktok adalah aplikasinya orang alay atau orang suka joget joget gak jelas. Tapi semenjak kreator konten edukasi dan SJW hadir, semuanya berubah.  Sekarang kita akan menemui di FYP kita banyak berisi tentang SJW yang baru memulai perjalanan aktivis sosmednya.  Dulu SJW banyak di Twitter tapi sekarang sudah mulai masuk ke aplikasi Tiktok.

Kebanyakan dari SJW di Tiktok adalah mereka adalah anak SMA atau Kuliahan. Sangat belia memang untuk memulai sebuah aksi membela keadilan, tentu resiko mereka besar, mungkin setelah membela kebenaran yang telah mereka yakini mereka jadi kehilangan waktu dalam mengerjakan tugas sekolah mereka. PR jadi mangkrak, Tugas praktek penjas terbengkalai, dan ketika disuruh emaknya beli gula jadi ketunda. Wow berbahaya sekali bukan.

Beberapa dari mereka masih memperdebatkan masalah yang sudah selesai. Mungkin ini juga bagus karena mereka berarti mempunyai daya kritis,dan tidak asal terima saja (Taken for granted).

Dalam perdebatan itu mereka argumennya bisa dibilang valid, tapi kurang dalem. Kenapa?, ya karena argumen yang mereka dapat berasal dari Google yang kemudian mereka screenshoot untuk dijadikan konten video 1 menit. Jadi gak perlu lagi tuh pakek paper kayak dosen kalau lagi debat sesama dosen.

Didalam video para SJW ini mereka selalu menggunkan bahasa inggris yang keren. kayak, “Correct me if im wrong”. biasanya dipakai pada saat kehabisan amunisi data untuk berdebat. Padahal istilah ini malah menimbulkan keraguan. Tapi gapapa, karena pakai istilah bahasa inggris, jadinya keren.

 “In my opinion” padahal ada bahasa kita yang lebih singkat, padat, jelas “menurutku”. ”NO Offense” maksudnya “jangan tersinggung” sebuah mantra yang menunjukan kebalikan maknanya justru. “Prefer” biasanya dipakai pas dia  menyatakan kesukaannya tapi yang agak geli ada tambahan kata “lebih” jadi “aku lebih prefer kalau pakek buku ini sih”. Padahal prefer itu artinya lebih suka. Dan lebih banyak lagi kata western yang mereka pakai.

Mereka juga terbiasa berlindung dibalik kata open minded untuk menyerang orang yang berbeda pendapat dari mereka, seperti yang terjadi baru baru ini. Ada seorang remaja putri yang mungkin berumur belasan tahun mengkritik hukum cambuk terhadap oknum LGBT disana. Dengan nada sok inggris mereka mereka menilai bahwa yang dilakukan oleh warga aceh terhadap pelaku LGBT tersebut tidak berperikemanusiaan, padahal sebagaimana yang kita tahu warga aceh memang punya hukum adat tersendiri karena disana merupakan daerah otonomi khusus, lagipula kalau jadi lgbt ngapain diaceh, kan udah tahu kalau disana hukumnya kayak gimana, mending kalau mau berlgbt tuh ke Bali, kan enak disono, mau ngelakuin hal senonohpun gak bakal digrebek ormas (fans Real Madrid). Uups.

Sepertinya memang SJW bocil yang ada ditiktok harus banyak belajar dengan SJW senior yang ada di Twitter. Dari segi kedewasaan dan referensi SJW bocil Tiktok memang masih kalah dengan seniornya yang ada di Twitter. SJW di Twitter kalau dilihat punya spek pengetahuan yang luas. itu tentu didapat dari membaca banyak referensi. Terutama membaca buku, agar pengetahuan yang didapat bisa mendalam dan tidak menggantung.

Tapi juga harus diakui menjadi SJW di Tiktok itu lebih sulit daripada menjadi SJW Twitter. Kenapa? Karena jika anda menjadi SJW di Twitter jika ingin menyalurkan pendapat sangat gampang dan tidak perlu banyak tenaga, cukup dengan memencet tombol retwet kemudian anda tinggal menuliskan pikiran anda disitu tidak perlu memperlihatkan wajah. Apabila menjadi SJW tiktok paling tidak harus menstich video orang lain, dengan begitu orang akan melihat batang hidung anda, mendengarkan suara anda. Iya kalau orang yang nglihat itu seneng. Kalau itu orang yang membenci bagaimana.  Siapkah kalau wajah anda akan dijadikan guyonan, dijadikan bahan meme yang kemudian disebar digrup grup Facebook.

SJW Tiktok mesti lebih moderat dari SJW Twitter karena resiko mentalnya tinggi. Jangan terlalu frontal seperti SJW Twitter yang suka mempermasalahkan hal sepele, kayak ngributin sedotan stainlees steel yang nggak ramah lingkungan, atau mempermasalahin orang yang ngejokes bahas makanan pakai bahasa China dibilang rasis.

Bagus sih niatnya. Tapi apakah bisa diterima oleh banyak pihak? Belum. Karena orang yang tadinya menerima ide ini malah jadi risih karena ulah SJW yang rewel terus. Sama kayak orang kehausan dikasih air, kalau ngasihnya ditimpuk kekepala orangnya juga sakit.

Dan dengan nanti moderatnya SJW di Tiktok diharapkan lalulintas FYP di Tiktok tidak adalagi keributan yang tidak penting dan tiktok akan menjadi platform yang ayem tentrem gemah ripah loh jinawi, guyub rukun karto raharjo. Jika Twitter isinya orang yang pintar, mari kita isi tiktok berisi orang yang bijak.